Kalau Mau, Pasti Tidak Impor Beras - Muhammad Ikhwan
Tren akhir tahun muncul lagi, impor beras. Walau yang menentang tidak sedikit, kebijakan ini jalan terus. Bahkan telah menjadi siklus tahunan. Babak impor beras 210.000 ton segera digelar Oktober nanti, dengan pelaku tender siap; dana Rp. 390 miliar siap; dan mekanisme distribusi hampir 100 persen paten.
Pondasi impor beras
Di balik itu, rakyat meradang—terutama petani. Kebijakan impor beras, mementahkan semua anggapan bahwa pemerintah negara ini menghargai petaninya. Di luar kasus impor beras, misalnya, gabah petani yang diserap pemerintah via Bulog tak terwujud. Di sentra-sentra surplus padi seperti Karawang, Pantura, hingga Sulawesi Selatan, gabah petani tak lebih dari 50 persen yang dibeli. Apalagi dengan impor?
Ada beberapa pondasi kebijakan impor beras—yang anehnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, bukan Menteri Pertanian—yang kemudian diidentifikasi ulang oleh organisasi tani. Pertama, masalah stok. Klasik seperti di atas, praktek di lapangan menunjukkan daerah-daerah yang surplus beras—ya memang berlimpah. Tapi, stok pemerintah melalui perpanjangan tangan Bulog-lah yang sesungguhnya bermasalah, bukan stok beras secara keseluruhan. Bayangkan, dengan produksi berlebih dari tahun 2004 hingga sekarang (data BPS), Bulog selalu kesulitan membeli gabah dari petani.
Produksi gabah tahun ini diperkirakan sekitar 54,7 juta ton gabah kering giling (GKG) atau meningkat 600 ribu ton (1,11 persen) dibandingkan angka produksi padi 2005. Ini setara dengan 34.461 juta ton beras (faktor konversi 63 persen). Dikurangi konsumsi per tahun, kita masih surplus 113 ribu ton beras. Walaupun data masih simpang siur, tak ada jaminan bahwa data yang mengatakan Indonesia kekurangan beras pun akurat.
Kedua, masalah harga. Kenaikan harga di beberapa daerah, terutama di daerah perkotaan, sudah mencekik konsumen. Ini juga patut dipertanyakan, karena perbedaan harga gabah dan beras terlalu mengerikan jika dirunut. Gabah dijual sekitar Rp 2.000 rata-rata saat ini, dan harga beras sudah mencapai Rp 4.500. Perlu dicatat, dalam rantai perdagangan beras, sebagian besar petani menjual gabah, bukan beras. Jadi yang mengkonversi Rp 2.000 menjadi Rp 4.500 adalah pedagang. Berdasarkan hasil penelitian di Sumatera Utara, ditemukan delapan rantai tengkulak yang mengambil rente hingga ke level harga tersebut.
Harga beras, selain menyusahkan konsumen perkotaan, juga petani yang merupakan 60 persen rakyat Indonesia—karena petani hanya produsen gabah, namun konsumen beras. Stok dan harga beras jadi mainan pedagang, dan pemerintah menutup mata akan fenomena ini. Kebijakan impor beras diambil sebagai jalan pintas untuk menutup stok dan mekanisme stabilisasi harga. Impor beras juga dikaitkan sebagai jalan pintas untuk menutup borok ekonomi makro—yaitu inflasi—sehingga rapor pemerintah akan tetap terlihat mulus.
Ketiga, masalah dana. Pemerintah bilang, jika membeli langsung dari petani menyebabkan ekonomi biaya tinggi, karena harga sudah naik. Untuk menambah stok di Bulog, diperlukan sekitar Rp 390 miliar. Menurut Komisi IV DPR, dana tersebut padahal sudah ada di APBN-P 2006 dan bisa dialokasikan untuk membeli beras dari petani. Impor beras kembali dicurigai sebagai proses mencari rente, karena ada perbedaan jauh dari harga beras lokal dengan harga beras internasional.
Keempat, masalah regulasi. Pemerintah terlalu bergantung kepada Inpres 13/2005. Bahkan, Bulog menjadikannya tameng untuk ketidakmampuan membeli gabah dari petani. Padahal, harga gabah kering panen Rp 1.730 dinilai tak lagi relevan dengan ongkos produksi, apalagi dengan kenaikan BBM sebesar 126 persen akhir tahun lalu. Pembelian gabah dari petani dengan ceiling price (harga tertinggi), juga perlu diubah sistemnya. Hal ini menyebabkan Bulog tidak mau membeli gabah jika harga sudah di atas harga yang ditetapkan. Akan lebih baik jika ada alokasi dana (misalnya Rp 3 trilyun) kepada Bulog untuk membeli gabah dari petani dengan harga yang berpihak pada mereka. Dengan ini fungsi Public Service Obligation (PSO) Bulog bisa dikembalikan, selain regulasi pemerintah tentang perberasan memang harus segera diubah.
Political will
Masalah-masalah mendasar di atas sebenarnya bisa diatasi dengan political will pemerintah. Nihilnya keinginan untuk mewujudkan kebijakan yang berpihak pada petani, adalah masalah terbesar di negeri ini. Di bidang pertanian pada umumnya, dan sektor beras pada khususnya, tidak ada cetak biru (blue print) strategi pemerintah yang jelas untuk memajukan petani Indonesia. Padahal, dengan 60 persen keseluruhan rakyat dan 46 persen angkatan kerja yang bergerak di bidang pertanian, sektor ini berpotensi besar dalam pengurangan angka kemiskinan. Kita lihat nasib revitalisasi pertanian, yang seperti kebijakan-kebijakan sebelumnya, hanya jadi lip service semata.
Untuk memantapkan produksi, tak pelak kita membutuhkan tambahan sawah. Merupakan cerita lama di Indonesia, kalau petani padi pasti gurem, hanya punya tanah di bawah 0.5 ha. Hal ini membuat rentannya posisi petani, jika harga bergoyang sedikit saja—apalagi dengan isu impor (entah bagaimana jika beras impornya nanti sudah masuk), harga gabah kini telah turun — kerugian petani bisa bertumpuk-tumpuk.
Kebijakan besar untuk memecahkan masalah ini sebenarnya sudah ada di undang-undang RI, yakni UU Pokok Agraria 1960. Namun, hingga kini, pemerintah masih tak mau melaksanakan UU ini dengan benar. Dengan penerapan pembaruan agraria, sumber-sumber agraria bisa dimiliki petani dengan kearifan lokalnya. Tidak seperti sekarang yang hanya menempatkan petani sebagai end-user: dari mulai bibit, pupuk, pestisida, hingga teknologi harus beli. Padahal, banyak tradisi lokal yang bisa melestarikan sumber agraria yang bisa meminimalisasi input pertanian, juga memaksimalkan hasilnya.
Kedaulatan pangan rakyat juga harus ditegakkan, dengan penekanan pada swasembada lalu, melipatgandakan hasil pertanian dari ketahanan pangan. Hal ini terkait dengan seluruh rantai perdagangan, regulasi, dan badan yang mengatur beras. Rantai perdagangan harus ditinjau ulang, karena terlalu menguntungkan mafia perdagangan beras. Perlu strategi pasar yang lebih direct sehingga, menguntungkan petani sebagai produsen dan konsumen. Dalam hal ini, sebenarnya Bulog bisa berpera. Syaratnya, perannya yang dikebiri IMF dan WTO pada 1998 dan 2003, dikembalikan menjadi fungsi pelayanan publik.
Kasarnya, seperti petani bilang, “Sebenarnya kalau pemerintahnya mau, ya pasti tidak impor beras...”
Penulis saat ini menjabat sebagai Staf Pengkajian Kebijakan dan Kampanye di Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), juga merupakan pengamat ekonomi politik internasional yang berhubungan dengan liberalisasi perdagangan.
Tren akhir tahun muncul lagi, impor beras. Walau yang menentang tidak sedikit, kebijakan ini jalan terus. Bahkan telah menjadi siklus tahunan. Babak impor beras 210.000 ton segera digelar Oktober nanti, dengan pelaku tender siap; dana Rp. 390 miliar siap; dan mekanisme distribusi hampir 100 persen paten.
Pondasi impor beras
Di balik itu, rakyat meradang—terutama petani. Kebijakan impor beras, mementahkan semua anggapan bahwa pemerintah negara ini menghargai petaninya. Di luar kasus impor beras, misalnya, gabah petani yang diserap pemerintah via Bulog tak terwujud. Di sentra-sentra surplus padi seperti Karawang, Pantura, hingga Sulawesi Selatan, gabah petani tak lebih dari 50 persen yang dibeli. Apalagi dengan impor?
Ada beberapa pondasi kebijakan impor beras—yang anehnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, bukan Menteri Pertanian—yang kemudian diidentifikasi ulang oleh organisasi tani. Pertama, masalah stok. Klasik seperti di atas, praktek di lapangan menunjukkan daerah-daerah yang surplus beras—ya memang berlimpah. Tapi, stok pemerintah melalui perpanjangan tangan Bulog-lah yang sesungguhnya bermasalah, bukan stok beras secara keseluruhan. Bayangkan, dengan produksi berlebih dari tahun 2004 hingga sekarang (data BPS), Bulog selalu kesulitan membeli gabah dari petani.
Produksi gabah tahun ini diperkirakan sekitar 54,7 juta ton gabah kering giling (GKG) atau meningkat 600 ribu ton (1,11 persen) dibandingkan angka produksi padi 2005. Ini setara dengan 34.461 juta ton beras (faktor konversi 63 persen). Dikurangi konsumsi per tahun, kita masih surplus 113 ribu ton beras. Walaupun data masih simpang siur, tak ada jaminan bahwa data yang mengatakan Indonesia kekurangan beras pun akurat.
Kedua, masalah harga. Kenaikan harga di beberapa daerah, terutama di daerah perkotaan, sudah mencekik konsumen. Ini juga patut dipertanyakan, karena perbedaan harga gabah dan beras terlalu mengerikan jika dirunut. Gabah dijual sekitar Rp 2.000 rata-rata saat ini, dan harga beras sudah mencapai Rp 4.500. Perlu dicatat, dalam rantai perdagangan beras, sebagian besar petani menjual gabah, bukan beras. Jadi yang mengkonversi Rp 2.000 menjadi Rp 4.500 adalah pedagang. Berdasarkan hasil penelitian di Sumatera Utara, ditemukan delapan rantai tengkulak yang mengambil rente hingga ke level harga tersebut.
Harga beras, selain menyusahkan konsumen perkotaan, juga petani yang merupakan 60 persen rakyat Indonesia—karena petani hanya produsen gabah, namun konsumen beras. Stok dan harga beras jadi mainan pedagang, dan pemerintah menutup mata akan fenomena ini. Kebijakan impor beras diambil sebagai jalan pintas untuk menutup stok dan mekanisme stabilisasi harga. Impor beras juga dikaitkan sebagai jalan pintas untuk menutup borok ekonomi makro—yaitu inflasi—sehingga rapor pemerintah akan tetap terlihat mulus.
Ketiga, masalah dana. Pemerintah bilang, jika membeli langsung dari petani menyebabkan ekonomi biaya tinggi, karena harga sudah naik. Untuk menambah stok di Bulog, diperlukan sekitar Rp 390 miliar. Menurut Komisi IV DPR, dana tersebut padahal sudah ada di APBN-P 2006 dan bisa dialokasikan untuk membeli beras dari petani. Impor beras kembali dicurigai sebagai proses mencari rente, karena ada perbedaan jauh dari harga beras lokal dengan harga beras internasional.
Keempat, masalah regulasi. Pemerintah terlalu bergantung kepada Inpres 13/2005. Bahkan, Bulog menjadikannya tameng untuk ketidakmampuan membeli gabah dari petani. Padahal, harga gabah kering panen Rp 1.730 dinilai tak lagi relevan dengan ongkos produksi, apalagi dengan kenaikan BBM sebesar 126 persen akhir tahun lalu. Pembelian gabah dari petani dengan ceiling price (harga tertinggi), juga perlu diubah sistemnya. Hal ini menyebabkan Bulog tidak mau membeli gabah jika harga sudah di atas harga yang ditetapkan. Akan lebih baik jika ada alokasi dana (misalnya Rp 3 trilyun) kepada Bulog untuk membeli gabah dari petani dengan harga yang berpihak pada mereka. Dengan ini fungsi Public Service Obligation (PSO) Bulog bisa dikembalikan, selain regulasi pemerintah tentang perberasan memang harus segera diubah.
Political will
Masalah-masalah mendasar di atas sebenarnya bisa diatasi dengan political will pemerintah. Nihilnya keinginan untuk mewujudkan kebijakan yang berpihak pada petani, adalah masalah terbesar di negeri ini. Di bidang pertanian pada umumnya, dan sektor beras pada khususnya, tidak ada cetak biru (blue print) strategi pemerintah yang jelas untuk memajukan petani Indonesia. Padahal, dengan 60 persen keseluruhan rakyat dan 46 persen angkatan kerja yang bergerak di bidang pertanian, sektor ini berpotensi besar dalam pengurangan angka kemiskinan. Kita lihat nasib revitalisasi pertanian, yang seperti kebijakan-kebijakan sebelumnya, hanya jadi lip service semata.
Untuk memantapkan produksi, tak pelak kita membutuhkan tambahan sawah. Merupakan cerita lama di Indonesia, kalau petani padi pasti gurem, hanya punya tanah di bawah 0.5 ha. Hal ini membuat rentannya posisi petani, jika harga bergoyang sedikit saja—apalagi dengan isu impor (entah bagaimana jika beras impornya nanti sudah masuk), harga gabah kini telah turun — kerugian petani bisa bertumpuk-tumpuk.
Kebijakan besar untuk memecahkan masalah ini sebenarnya sudah ada di undang-undang RI, yakni UU Pokok Agraria 1960. Namun, hingga kini, pemerintah masih tak mau melaksanakan UU ini dengan benar. Dengan penerapan pembaruan agraria, sumber-sumber agraria bisa dimiliki petani dengan kearifan lokalnya. Tidak seperti sekarang yang hanya menempatkan petani sebagai end-user: dari mulai bibit, pupuk, pestisida, hingga teknologi harus beli. Padahal, banyak tradisi lokal yang bisa melestarikan sumber agraria yang bisa meminimalisasi input pertanian, juga memaksimalkan hasilnya.
Kedaulatan pangan rakyat juga harus ditegakkan, dengan penekanan pada swasembada lalu, melipatgandakan hasil pertanian dari ketahanan pangan. Hal ini terkait dengan seluruh rantai perdagangan, regulasi, dan badan yang mengatur beras. Rantai perdagangan harus ditinjau ulang, karena terlalu menguntungkan mafia perdagangan beras. Perlu strategi pasar yang lebih direct sehingga, menguntungkan petani sebagai produsen dan konsumen. Dalam hal ini, sebenarnya Bulog bisa berpera. Syaratnya, perannya yang dikebiri IMF dan WTO pada 1998 dan 2003, dikembalikan menjadi fungsi pelayanan publik.
Kasarnya, seperti petani bilang, “Sebenarnya kalau pemerintahnya mau, ya pasti tidak impor beras...”
Penulis saat ini menjabat sebagai Staf Pengkajian Kebijakan dan Kampanye di Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), juga merupakan pengamat ekonomi politik internasional yang berhubungan dengan liberalisasi perdagangan.
Title : Kalau Mau, Pasti Tidak Impor Beras ► SEOer Mendem ►
URL : https://seomendem.blogspot.com/2006/10/kalau-mau-pasti-tidak-impor-beras_4.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Kalau Mau, Pasti Tidak Impor Beras ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.