"Good Governance”: Jawaban Pengentasan Kemiskinan? - Martin Manurung
Bank Dunia (WB) kembali merilis laporan kajiannya tentang kemiskinan di Indonesia. Kali lalu, lembaga itu mengaitkan fenomena kemiskinan dengan kenaikan harga beras. Awal bulan ini, dalam laporannya berjudul “ uhuk="http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0,,contentMDK:21151819%7EmenuPK:224605%7EpagePK:64027988%7EpiPK:64027986%7EtheSitePK:226309,00.html">Making the New Indonesia Work for the Poor” (dalam edisi Indonesia berjudul “Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia”), WB memperluas penjelasannya mencakup kaitan kemiskinan dengan berbagai masalah kelembagaan (institusi) publik, seperti pelayanan publik, reorientasi belanja negara, implementasi kebijakan, dan reformasi birokrasi.
Gambaran kemiskinan yang dipotret oleh WB cukup ironis. Disebutkan, 49 persen dari total populasi Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan (vulnerable) menjadi miskin. Kelompok masyarakat ini hidup di bawah 2 dollar AS per hari. Angka ini cukup berbeda jauh dengan laporan Badan Pusat Statistik yang mengatakan bahwa proporsi penduduk miskin adalah 17,75 persen dengan ukuran garis kemiskinan sebesar 1,55 dollar AS. Artinya, apabila garis kemiskinan “digeser” 0,45 dollar AS saja, maka jumlah orang miskin akan bertambah drastis sebesar 113,22 juta orang. Perbedaan ini melukiskan betapa rentannya penduduk miskin di Indonesia, sehingga perubahan pendapatan yang sedikit saja akan membawa banyak orang jatuh ke jurang kemiskinan.
Satu hal yang menarik dari rilis WB tersebut adalah penekanannya pada aspek pembenahan institusi, atau secara umum disebut “good governance” (tata kelola yang baik, disingkat GG), sebagai jawaban bagi pengentasan kemiskinan. Kendati sepintas lalu terkesan relevan, namun patut dipertanyakan klaim tentang GG sebagai obat mujarab (panacea) itu.
Permasalahannya adalah; apa tujuan dan siapakah sasaran GG tersebut? Dalam laporan WB, walaupun tema pembahasannya adalah tentang kemiskinan, namun secara umum tujuannya adalah untuk membuat “pasar bebas” bekerja. Hal itu dapat dilihat dari berbagai rekomendasinya, antara lain; penghapusan larangan impor beras, kontinuitas penghapusan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), dan perbaikan infrastruktur untuk mendorong investasi.
Rekomendasi itu mengingatkan kembali pada dogma neoliberalisme yang memandang pasar sebagai instrumen yang sempurna dan netral. Ia bukan lagi hanya tempat/situasi terjadinya transaksi, melainkan juga secara gaib turut melakukan alokasi sumber daya secara efisien. Hal itu lazim dikenal dengan istilah “invisible hands”.
Padahal, satu karakter utama kemiskinan adalah ketimpangan struktur kepemilikan kapital yang disebabkan ketidaknetralan pasar. Sistem ekonomi Indonesia yang mengarah pada liberalisme telah menciptakan kelas kapitalis baru yang lebih kuat dan bebas melakukan akumulasi modal. Sementara itu, selain mengalami kesulitan dalam memperoleh akses terhadap modal, masyarakat miskin juga semakin terpinggirkan akibat penghentian dan pengurangan berbagai program sosial sebagai konsekuensi dari pemotongan subsidi dan reformasi struktural yang didogmakan oleh neoliberalisme. Dalam politik, mereka pun tak dapat bersuara dan mempengaruhi pengambilan keputusan yang penting bagi kehidupannya.
Karena itu, kemiskinan bukan sesederhana hanya sebagai masalah pasar. Ia mencakup ketidakberdayaan (powerlessness) dalam aspek sosial, politik, budaya, rasa aman (security) dan hak-hak azasi manusia (World Development Report 2001, Attacking Poverty).
Pengkultusan pasar telah lama dikritik secara luas. Selain dari berbagai organisasi non-pemerintah, pandangan yang berbeda juga datang dari para ekonom. Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi 2001, berulang kali menegaskan bahwa asimetri informasi yang secara alamiah terjadi di pasar menyebabkan ketidaksempurnaan pasar. Dengan demikian, posisi negara yang aktif adalah krusial untuk memberikan arah dan sinyal pada pasar agar alokasi sumber daya menjadi lebih baik dan mendukung tujuan-tujuan sosial negara.
Pada perspektif itulah, GG yang ditujukan semata-mata demi bekerjanya pasar menjadi salah sasaran. Lalu, apakah GG merupakan jawaban bagi pengentasan kemiskinan? Jawabnya bisa “ya”, atau “tidak”. Bila GG ditujukan untuk menjadikan negara sebagai institusi yang kuat dan efektif untuk mengkoreksi ‘kebutaan’ pasar atas tujuan-tujuan sosial, maka GG dapat menjadi syarat penting (necessary condition) bagi pengentasan kemiskinan.
Bank Dunia (WB) kembali merilis laporan kajiannya tentang kemiskinan di Indonesia. Kali lalu, lembaga itu mengaitkan fenomena kemiskinan dengan kenaikan harga beras. Awal bulan ini, dalam laporannya berjudul “ uhuk="http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0,,contentMDK:21151819%7EmenuPK:224605%7EpagePK:64027988%7EpiPK:64027986%7EtheSitePK:226309,00.html">Making the New Indonesia Work for the Poor” (dalam edisi Indonesia berjudul “Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia”), WB memperluas penjelasannya mencakup kaitan kemiskinan dengan berbagai masalah kelembagaan (institusi) publik, seperti pelayanan publik, reorientasi belanja negara, implementasi kebijakan, dan reformasi birokrasi.
Gambaran kemiskinan yang dipotret oleh WB cukup ironis. Disebutkan, 49 persen dari total populasi Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan (vulnerable) menjadi miskin. Kelompok masyarakat ini hidup di bawah 2 dollar AS per hari. Angka ini cukup berbeda jauh dengan laporan Badan Pusat Statistik yang mengatakan bahwa proporsi penduduk miskin adalah 17,75 persen dengan ukuran garis kemiskinan sebesar 1,55 dollar AS. Artinya, apabila garis kemiskinan “digeser” 0,45 dollar AS saja, maka jumlah orang miskin akan bertambah drastis sebesar 113,22 juta orang. Perbedaan ini melukiskan betapa rentannya penduduk miskin di Indonesia, sehingga perubahan pendapatan yang sedikit saja akan membawa banyak orang jatuh ke jurang kemiskinan.
Satu hal yang menarik dari rilis WB tersebut adalah penekanannya pada aspek pembenahan institusi, atau secara umum disebut “good governance” (tata kelola yang baik, disingkat GG), sebagai jawaban bagi pengentasan kemiskinan. Kendati sepintas lalu terkesan relevan, namun patut dipertanyakan klaim tentang GG sebagai obat mujarab (panacea) itu.
Permasalahannya adalah; apa tujuan dan siapakah sasaran GG tersebut? Dalam laporan WB, walaupun tema pembahasannya adalah tentang kemiskinan, namun secara umum tujuannya adalah untuk membuat “pasar bebas” bekerja. Hal itu dapat dilihat dari berbagai rekomendasinya, antara lain; penghapusan larangan impor beras, kontinuitas penghapusan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), dan perbaikan infrastruktur untuk mendorong investasi.
Rekomendasi itu mengingatkan kembali pada dogma neoliberalisme yang memandang pasar sebagai instrumen yang sempurna dan netral. Ia bukan lagi hanya tempat/situasi terjadinya transaksi, melainkan juga secara gaib turut melakukan alokasi sumber daya secara efisien. Hal itu lazim dikenal dengan istilah “invisible hands”.
Padahal, satu karakter utama kemiskinan adalah ketimpangan struktur kepemilikan kapital yang disebabkan ketidaknetralan pasar. Sistem ekonomi Indonesia yang mengarah pada liberalisme telah menciptakan kelas kapitalis baru yang lebih kuat dan bebas melakukan akumulasi modal. Sementara itu, selain mengalami kesulitan dalam memperoleh akses terhadap modal, masyarakat miskin juga semakin terpinggirkan akibat penghentian dan pengurangan berbagai program sosial sebagai konsekuensi dari pemotongan subsidi dan reformasi struktural yang didogmakan oleh neoliberalisme. Dalam politik, mereka pun tak dapat bersuara dan mempengaruhi pengambilan keputusan yang penting bagi kehidupannya.
Karena itu, kemiskinan bukan sesederhana hanya sebagai masalah pasar. Ia mencakup ketidakberdayaan (powerlessness) dalam aspek sosial, politik, budaya, rasa aman (security) dan hak-hak azasi manusia (World Development Report 2001, Attacking Poverty).
Pengkultusan pasar telah lama dikritik secara luas. Selain dari berbagai organisasi non-pemerintah, pandangan yang berbeda juga datang dari para ekonom. Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi 2001, berulang kali menegaskan bahwa asimetri informasi yang secara alamiah terjadi di pasar menyebabkan ketidaksempurnaan pasar. Dengan demikian, posisi negara yang aktif adalah krusial untuk memberikan arah dan sinyal pada pasar agar alokasi sumber daya menjadi lebih baik dan mendukung tujuan-tujuan sosial negara.
Pada perspektif itulah, GG yang ditujukan semata-mata demi bekerjanya pasar menjadi salah sasaran. Lalu, apakah GG merupakan jawaban bagi pengentasan kemiskinan? Jawabnya bisa “ya”, atau “tidak”. Bila GG ditujukan untuk menjadikan negara sebagai institusi yang kuat dan efektif untuk mengkoreksi ‘kebutaan’ pasar atas tujuan-tujuan sosial, maka GG dapat menjadi syarat penting (necessary condition) bagi pengentasan kemiskinan.
Title : "Good Governance”: Jawaban Pengentasan Kemiskinan? ► SEOer Mendem ►
URL : https://seomendem.blogspot.com/2006/12/governance-jawaban-pengentasan_9.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel "Good Governance”: Jawaban Pengentasan Kemiskinan? ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.