Industrialisasi Nasional dan Cita-cita Kemakmuran - Dominggus Oktavianus
Cukup lama sudah ekonomi nasional berjalan di atas realitas yang mengancam. Indonesia sekedar menjadi pasar, sasaran eksploitasi alam, dan sasaran eksploitasi tenaga kerja murah bagi kemajuan negeri-negeri kapitalis maju. Produktivitas rata-rata masih sangat rendah sementara, konsumtivisme dipaksa menjadi budaya dominan. Pengangguran semakin banyak, kemiskinan bertambah, dan praktek percaloan bukan sekadar budaya di sektor ekonomi tapi, juga melanda sektor politik dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Karenanya, merupakan kebutuhan obyektif untuk memberi penjelasan dari sudut alternatif anti-neoliberal beserta solusinya termasuk, cita-cita alternatif seperti apa yang hendak dituju. Tanpa bermaksud menghadirkan determinisme sempit, ajuan gagasan industrialisasi nasional sebagai jawaban alternatif patut mendapat sambutan. Jawaban ini, tentu saja, menyertakan perubahan pada dimensi sosial lain seperti pada bidang politik, sosial-budaya, birokrasi, pertahanan-keamanan, lingkungan hidup, dll.
Cita-cita industrialisasi nasional adalah menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat, dalam pengertian; kebutuhan barang dan jasa tercukupi, masyarakat punya daya beli, karena penghasilan yang layak disertai produktivitas tinggi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang maju secara adil dan merata. Berdiri sejajar dengan itu, industrialisasi juga bermakna membangun ketahanan ekonomi nasional, sehingga kedaulatan sebagai negara-bangsa nyata terwujud. Gambaran tersebut tidak lantas mengisolir perekonomian nasional sebagaimana kerap dicurigai sebagian kalangan. Kerja sama dengan negeri-negeri lain di seluruh dunia, tentu sangat penting sehingga perlu dipererat. Namun kerja sama tersebut bukan dalam bentuk hubungan yang eksploitatif tapi, hubungan yang setara dan saling memajukan. Bahkan, apabila kedaulatan dan kemajuan berhasil dicapai, akan semakin membuka potensi kita memajukan negeri-negeri terbelakang lain yang saat ini masih senasib.
Cakupan Industrialisasi Nasional
Makna praktis industrialisasi adalah memajukan tenaga produktif menjadi lebih modern, dapat diakses secara massal, dan tinggi kualitas. Tanpa kemajuan tenaga produktif, negeri ini tidak akan punya ketahanan ekonomi menghadapi gempuran neoliberalisme. Tanpa ketahanan ekonomi, kedaulatan negeri ini - terutama kedaulatan rakyatnya - berhenti sebatas cita-cita.
Menjelaskan program industrialisasi nasional secara konkret, baik rangkaian transaksi maupun variabel-variabelnya, bukan perkara sederhana. Sebabnya, transaksi dan variabel industrialisasi merupakan peta jalan, menuju cita-cita industrialisasi nasional yang berhubungan dengan rincian dalam aspek mikro maupun makro ekonomi. Tapi, di sini saya coba mengurai dalam batasan secara umum, dengan berangkat dari apa yang ada, serta menghadirkan apa yang seharusnya sudah ada tapi belum ada, dalam syarat sebagai negeri modern dan berkeadilan sosial. Karenanya, saya akan sangat berterimakasih apabila tulisan ini dapat dikritisi dan atau dilengkapi oleh siapa saja yang berkenan melakukannya.
Terdapat tiga variabel kerja pokok yang saling berhubungan dalam batasan tersebut: pertama, mengapa dan bagaimana program industrialisasi nasional dapat melindungi industri yang ada, sehingga tidak semakin hancur karena kalah bersaing di tingkat global, regional, maupun lokal (terhadap industri negeri-negeri yang lebih maju); kedua, mengapa dan bagaimana program industrialisasi nasional dapat mengambil-alih atau melakukan proses transfer kepemilikan atas sumber daya produksi vital, energi, teknologi dan ilmu pengetahuan, yang masih dikontrol oleh korporasi asing ke dalam kontrol negara (meski tidak harus berbentuk BUMN, melainkan lewat pengetatan kebijakan ekonomi); ketiga, mengapa dan bagaimana program industrialisasi nasional dapat menciptakan dan mengembangkan sumber daya produksi baru. Pada tahap awal (sumber daya produksi baru tersebut), diciptakan dan dikembangkan menurut kebutuhan memajukan sektor-sektor produksi vital yang masih tertinggal dari segi teknologi dan sistem produksi seperti, tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan.
Imperialisme dan Masalah Ketergantungan
Mungkin bagi sebagian pembaca, persoalan imperialisme atau neoliberalisme sebagai bentuk mutakhir imperialisme, sudah sering ditelaah. Namun, pengantar pada dua sub judul berikut sengaja ditampilkan untuk mengerucutkan masalah.
Menilik pada sejarah kehadirannya, seluruh industri termaju di Indonesia saat ini tidak berdiri di atas kebutuhan ekonomi dalam negeri, melainkan atas permintaan dan kebutuhan ekspansi modal asing. Bila dibandingkan, sistem yang berjalan sekarang hanya kelanjutan dari sistem ekonomi kolonial, yang sempat terinterupsi sejenak di masa revolusi kemerdekaan dan separuh masa pemerintahan nasionalis Soekarno. Latar belakang sebagai negeri yang perekonomiannya bergantung pada asing ini, membawa kerawanan yang sudah diramalkan sedari awal.
Akhir 1960-an sampai dekade 1970-an, industri tambang menjadi primadona dengan sebagian besar hasil eksploitasi dibawa ke luar negeri, baik barang dagangan maupun akumulasi keuntungannya. Pada dekade 1980-an industri manufaktur mulai berkembang, sebagai akibat kebijakan deregulasi pada sektor finansial. Deregulasi sendiri merupakan hasil desakan ekspansi finance capital yang dispekulasikan atau diutangkan di beberapa negeri berkembang—karena akumulasi keuntungan sudah tidak dapat diinvestasikan lagi pada sektor produktif di negeri-negeri asal (kapitalis maju). Peran finance capital ini, selain melahirkan pembangunan jalan raya, pelabuhan, bendungan, infrastruktur lainnya, dan industri manufaktur, juga melahirkan praktek rente besar-besaran. Selain oleh utang luar negeri, praktek rente juga kian disuburkan oleh kredit-kredit yang begitu mudahnya dikeluarkan oleh bank-bank dalam negeri. Utang-utang tersebut, kini menjadi jerat atau dijadikan instrumen untuk mengendalikan kebijakan ekonomi sesuai kehendak korporasi internasional. Selain itu masih harus dibayar oleh negara dengan pemotongan terhadap hak-hak rakyat akan jaminan kesejahteraan.
Modal yang masuk dalam bentuk utang dan spekulasi tadi, baik pada sektor pertambangan, manufaktur maupun yang sekedar berputar di pasar modal, tidak memberi landasan bagi industri yang mandiri, dan tanpa arah strategis yang jelas. Sampai saat ini, Indonesia masih harus membeli bahan baku setengah jadi hasil olah teknologi dari luar. Contohnya, hasil pertambangan bauksit masih harus dikirim ke Jepang untuk dapat diolah menjadi alumunium, dan banyak contoh lainnya. Mesin-mesin juga masih didatangkan dari luar, karena investasi yang masuk tidak berkepentingan memroduksi mother machine (induk mesin/mesin pencetak mesin). Satu-satunya perusahaan di Indonesia yang pernah memiliki induk mesin adalah PT. Texmaco Engeneering, namun tidak berlangsung lama karena bangkrut (dibangkrutkan?). Ketergantungan lainnya adalah terhadap pasar (dengan semboyan: orientasi ekspor), sementara seringkali kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi.
Dalam penetrasi modal demikian, sektor pertanian menjadi sasaran praktek eksploitasi kota terhadap desa. Saat industri manufaktur tumbuh pesat pada dekade 80-an dan 90-an awal, tenaga produktif pertanian sama sekali tidak berkembang. Industri hanya menyentuh sektor pertanian sebagai pasar, sehingga proyek-proyek di pedesaan pun dilakukan semata untuk memuluskan tujuan tersebut. Bila dilihat sekilas, pembangunan infrastruktur jalan raya, bendungan, pengenalan terhadap bibit dan pupuk jenis baru, tampak menguntungkan masyarakat desa. Namun, karena tujuannya bukan untuk memajukan pertanian maka, dampak yang dihasilkan pun merugikan dalam jangka panjang. Misalnya, dampak penggunaan pupuk pada kesuburan tanah, dsb.
Ciri lain industri yang tumbuh saat itu adalah rendah teknologi sehingga, tidak membutuhkan tenaga kerja yang berketerampilan. Bidang pendidikan menerima ekses lanjutan dengan lemahnya perkembangan ilmu pengetahuan serta sistem pendidikan yang sama sekali tidak mengembangkan cara berpikir kritis.
Kelemahan dalam perkembangan tenaga produktif (teknologi dan sumber daya manusia), mengakibatkan rendahnya produktivitas serta penghasilan yang diterima buruh. Sebagai contoh, industri manufaktur menengah dan besar, hanya mempekerjakan empat juta tenaga kerja atau sekitar empat persen dari total 91 juta tenaga kerja. Perusahaan yang mempekerjakan 500 buruh ke atas mempekerjakaan sepertiga dari (kurang lebih 30 juta) tenaga kerja, memproduksi 80 persen dari nilai tambah manufaktur. Sementara dua pertiga (60 juta) tenaga kerja berada di perusahaan menengah dan kecil, yang mempekerjakan antara 5 sampai 99 buruh, serta industri rumah tangga yang mempekerjakan 1-4 buruh. Dua kategori yang disebut terakhir ini hanya menghasilkan nilai tambah manufaktur sebesar 5-6 persen. Sedangkan masalah penghasilan, menurut data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 85 persen buruh berpenghasilan di bawah 2 juta rupiah per bulan.
Dampak Dalam Pusaran Neoliberal
Industri yang bergantung seperti dipaparkan tadi, mulai menerima kehancuran saat integrasi ke dalam ekonomi global semakin dalam. Banyak tenaga produktif yang tersia-siakan atau bahkan sengaja dihancurkan. Pabrik-pabrik ditutup, pengangguran meningkat, lahan pertanian produktif diserahkan/dirampas untuk industri yang sama sekali tidak menopang pertanian sementara, sektor jasa (terutama pemasaran) merebak lampaui sektor produksi. Merebaknya industri pemasaran (ritel, mini market, dsb.,) bukan disebabkan oleh meningkatnya produksi dalam negeri, melainkan dampak dibukanya keran impor dalam agenda perdagangan bebas.
Peran negeri-negeri dunia ketiga dalam integrasi tersebut, direduksi sekedar sebagai penyedia buruh murah, bahan mentah (terutama kekayaan hutan dan tambang), serta pasar bagi produk negeri-negeri induk kapitalisme. Dalam kerangka tiga tujuan pokok itu, paket liberalisasi ekonomi dijadikan strategi. Sementara instrumennya adalah negara dan lembaga-lembaga ekonomi internasional (IMF, WB, & WTO).
Industri nasional kian menghadapi persoalan konkret sejak pemerintah menandantagni nota kesepahaman (Letter of Intent) dengan IMF tahun 1998. Butir-butir kesepahaman itu misalnya, liberalisasi ekspor yang berakibat pemenuhan energi dan bahan baku industri semakin sulit. Bila pun sanggup dipenuhi, harus diperoleh dengan harga tinggi sehingga biaya produksi melonjak. Masalah ini, misalnya, tampak pada industri kayu, keramik, pupuk, dll. Dalam hal sumber energi, sebagian besar hasil eksploitasi sumber energi seperti minyak, gas, dan batubara dijual ke luar negeri. Sekitar 90 persen dari total produksi gas nasional di ekspor ke luar negeri, sementara batubara mencapai 70 persen. Industri nasional juga menghadapi persoalan liberalisasi impor yang berdampak pada kalahnya produk dalam negeri dibanding produk impor yang lebih murah dan berkualitas. Persoalan lainnya adalah liberalisasi investasi yang mengakibatkan modal dapat berpindah dalam waktu singkat tanpa memperhatikan kebutuhan pembangunan jangka panjang.
Pemerintah Indonesia berharap liberalisasi akan membawa modal masuk dan ditanamkan pada sektor riil. Lebih jauh lagi, mereka berharap investasi asing yang masuk akan membawa teknologi sehingga daya saing di pasar global meningkat. Sama seperti ketika proses deregulasi tahun 1980-an yang menghasilkan sejumlah kemajuan (tapi semu) pada industri manufaktur. Karena alasan ini pula, pemerintahan sekarang mempertahankan politik upah murah sebagai daya tarik, yang dipermanis dengan kelenturan pasar tenaga kerja (Labour Market Flexibility).
Namun harapan itu tidak terwujud karena, kecenderungan global akumulasi modal bukan dilakukan melalui investasi produksi tapi, melalui spekulasi saham yang jumlahnya ratusan persen lebih besar dari nilai aset riil. Selain itu, lebih dari 80 persen modal sebenarnya tetap terkonsentrasi di negeri-negeri maju. Kalaupun modal tersebut keluar, maka negeri-negeri seperti Cina, India, dan Vietnam yang baru membuka perekonomiannya lebih menjadi pilihan. Negeri-negeri ini juga menyediakan pasar tenaga kerja yang murah, dan ditunjang oleh infrastruktur yang lebih memadai.
Langkah-langkah Industrialisasi
Secara garis besar, persoalan-persoalan yang dihadapi tersebut di atas kurang lebih dapat diatasi lewat langkah-langkah industrialisasi sebagai berikut:
1. Negara harus menjamin tersedianya sumber energi yang memadai untuk seluruh jenis industri. Korporasi-korporasi penghasil energi (minyak, gas, dan batu bara) harus diambil-alih kepemilikan ke tangan negara untuk memastikan tercukupinya kebutuhan energi dalam negeri. Sebaliknya, kerja sama energi dengan negeri-negeri seperti Venezuela dan Iran perlu ditingkatkan. Sejalan dengan itu, pemboyongan sumber energi ke luar harus dihentikan atau dibatasi.
2. Sebagai antisipasi jangka panjang, dibutuhkan kajian-kajian strategis terhadap sumber energi alternatif dengan dampak negatif seminim mungkin terhadap lingkungan hidup.
3. Negara harus menjamin tersedianya bahan baku yang cukup untuk seluruh jenis industri penyedia kebutuhan primer masyarakat (sandang, pangan, papan). Perlu segera memperhatikan pengadaan sumber bahan baku yang sampai saat ini masih diimpor, seperti kapas untuk industri tekstil, dan juga sebagian produk pertanian (mengenai pertanian terdapat poin tersendiri). Larangan ekspor dikenakan terhadap jenis bahan baku yang menjadi basis bagi produksi kebutuhan primer masyarakat, sejauh tidak terdapat surplus yang bisa dipasarkan ke luar negeri.
4. Kebijakan strategi industri dengan sektor swasta harus menghasilkan pembangunan industri pengolahan bahan baku menjadi bahan baku setengah jadi. Termasuk di dalamnya, membangun industri induk mesin, industri kimia, industri baja olahan, alumunium, dan lain sebagainya. Transfer teknologi dilakukan melalui kerja sama investasi dengan negeri yang memiliki teknologi lebih maju, atau ‘mengadopsi’ teknologi yang dipelajari dari luar negeri (Jerman, Jepang, Rusia, Cina, dll).
5. Negara menjamin tersedianya pasar bagi industri yang masih membutuhkan proteksi dengan pengenaan pajak atau cukai yang tinggi terhadap komoditi sejenis, yang diimpor dari luar negeri. Untuk jenis komoditi tertentu, perlu disediakan jalur distribusi yang dapat diakses oleh masyarakat luas dengan harga yang disubsidi.
6. Tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam konteks ini, pendidikan dan kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh negara. Jaminan penyediaan gizi bagi masyarakat, tidak dipandang sebagai program belas kasihan untuk sebagian rakyat miskin (seperti program BLT atau raskin yang dilakukan pemerintah saat ini). Kebutuhan yang sangat mendasar tersebut harus diberlakukan secara umum sehingga, dapat diakses oleh seluruh warga negara. Pengecualian hanya berlaku bagi warga negara yang memiliki kemampuan lebih sehingga, memilih akses terhadap pendidikan dan kesehatan di luar fasilitas yang disediakan oleh negara.
7. Memajukan tenaga produktif pertanian dengan cara: a) mengalokasikan kredit yang memadai dengan jaminan oleh pemerintah dan bunga rendah kepada petani melalui bank pertanian; b) mobilisasi potensi seluruh lembaga riset pertanian untuk mengembangkan teknologi pertanian yang sesuai dengan karakter geografis dan sosial-budaya Indonesia. Pengembangan tersebut meliputi masalah pembibitan, mekanisasi proses tanam dan panen, pengairan, listrik, serta infrastruktur lainnya; c) mendorong terbangunnya contoh pertanian kolektif dengan pengolahan lahan bersama serta penerapan teknologi yang lebih maju. Penggarapan ini dilakukan secara demokratis dengan melibatkan petani dalam mengambil keputusan, baik saat proses produksi maupun pemasaran; d) mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian dalam setiap batasan teritori tertentu sesuai dengan komoditi pertanian yang diproduksi. Perlu dijelaskan, program teknologisasi pertanian ini tidak akan menciptakan pengangguran baru, sebaliknya akan membuka lapangan kerja. Karena dari setiap pengembangan tenaga produktif akan membutuhkan tenaga-tenaga kerja baru.
8. Ijin operasi industri hulu harus disertai syarat pembangunan industri pengolahan sehingga bahan mentah ekstraktif tidak langsung dijual ke luar negeri. Dengan pengolahan tersebut, selain akan meningkatkan nilai tambah, juga akan meningkatkan produktivitas masyarakat lewat industri-industri pengolahan yang terbangun. Misalnya; hasil tambang bauksit yang diolah menjadi alumunium, bijih besi menjadi baja, baja menjadi mesin, dsb-dst.
9. Memberikan perhatian terhadap industri kecil dan menengah dengan sarana dan kemudahan akses terhadap kredit mikro, bahan baku produksi yang murah, serta jaminan ketersediaan pasar.
Program Pembiayaan Industrialisasi Nasional
Sudah tentu, program industrialisasi akan berhadapan pada masalah modal. Masalah ini juga merupakan kunci politik bagi berjalannya program industrialisasi, karena sarat dengan muatan kepentingan kelas elit yang selama ini mengambil untung dari masing-masing masalah. Sejauh mana strategi industrialisasi mampu dijalankan akan ditentukan oleh kemampuan pembiayaan, dukungan sumber daya manusia, serta mobilisasi politik dan pengembangan budaya produktif sebagai aspek non ekonomis terpenting.
Setidaknya terdapat lima masalah besar sehubungan dengan sumber pembiayaan yang mesti diatasi, yaitu: utang luar negeri, pengolahan sumber daya alam, dana obligasi perbankan, persoalan korupsi, serta sistem kredit perbankan. Masalah-masalah tersebut harus disusun menjadi program-program sebagai berikut: Pertama, mengatasi masalah utang luar negeri yang total jumlahnya mencapai seribu enam ratus triliun rupiah. Anggaran negara setiap tahun untuk membayar utang, seperti yang diketahui bersama, mencapai separuh dari total anggaran pembiayaan. Jumlah utang yang sangat besar tersebut, tidak lain merupakan hasil praktek rente bisnis perbankan internasional. Program kita adalah mengambil sikap tegas dengan menolak pembayaran utang. Atau pada tingkat yang paling konservatif, menuntut moratorium tanpa bunga selama jangka waktu tertentu (misalnya; lima belas sampai dua puluh tahun).
Kedua, eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam harus dipastikan pengawasan dan kontrolnya oleh negara. Langkah nasionalisasi atas industri pertambangan adalah salah satu opsi meningkatkan penghasilan negara. Bentuk lain yang merupakan capaian kompromi adalah memperbaharui kontrak karya dengan korporasi-korporasi pertambangan, yang notabene mayoritas berasal dari luar negeri. Bila ditelusuri jumlah keuntungan yang dikeruk melalui berbagai industri tambang, sudah lebih dari cukup untuk membiayai program pendidikan dan kesehatan. Contohnya, Exxon-Mobill Oil, Ltd. yang setiap tahun mampu membawa pulang puluhan miliar US dollar, hanya dari satu blok di Cepu. Atau PT. Newmont di NTB yang menurut laporan resmi, membawa pulang 9,1 triliun rupiah setiap tahun.
Ketiga, dana obligasi rekapitalisasi perbankan sebesar 600 triliun rupiah yang dikeluarkan pemerintah untuk menjamin keberlangsungan bank-bank swasta. Dana ini telah dimanfaatkan oleh sebagian pengusaha yang terjerat kredit macet untuk menalangi utang mereka. Negara dibebani uang puluhan triliun rupiah setiap tahun untuk membayar bunga obligasi.
Keempat, kebocoran anggaran negara yang sangat besar harus diatasi dengan cara yang efektif. Kuncinya adalah tidak menggunakan perangkat birokrasi untuk mengatasi korupsi di jajaran birokrasi. Lembaga semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu dibangun sampai ke tingkat lokal, disertai mekanisme transaparansi dan pertanggungjawaban kepada rakyat.
Kelima, sistem perbankan saat ini lebih memprioritaskan pinjaman kepada sektor konsumsi. Kredit yang diberikan kepada industri menengah dan kecil sangat minim, terutama di sektor-sektor yang masih tertinggal. Perubahan kebijakan dapat dimulai dengan jaminan yang lebih besar oleh negara untuk pengucuran kredit mikro oleh perbankan.***
Dominggus Oktavianus, Ketua Pengurus Pusat FNPBI, dan Dewan Pimpinan Pusat PAPERNAS
Cukup lama sudah ekonomi nasional berjalan di atas realitas yang mengancam. Indonesia sekedar menjadi pasar, sasaran eksploitasi alam, dan sasaran eksploitasi tenaga kerja murah bagi kemajuan negeri-negeri kapitalis maju. Produktivitas rata-rata masih sangat rendah sementara, konsumtivisme dipaksa menjadi budaya dominan. Pengangguran semakin banyak, kemiskinan bertambah, dan praktek percaloan bukan sekadar budaya di sektor ekonomi tapi, juga melanda sektor politik dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Karenanya, merupakan kebutuhan obyektif untuk memberi penjelasan dari sudut alternatif anti-neoliberal beserta solusinya termasuk, cita-cita alternatif seperti apa yang hendak dituju. Tanpa bermaksud menghadirkan determinisme sempit, ajuan gagasan industrialisasi nasional sebagai jawaban alternatif patut mendapat sambutan. Jawaban ini, tentu saja, menyertakan perubahan pada dimensi sosial lain seperti pada bidang politik, sosial-budaya, birokrasi, pertahanan-keamanan, lingkungan hidup, dll.
Cita-cita industrialisasi nasional adalah menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat, dalam pengertian; kebutuhan barang dan jasa tercukupi, masyarakat punya daya beli, karena penghasilan yang layak disertai produktivitas tinggi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang maju secara adil dan merata. Berdiri sejajar dengan itu, industrialisasi juga bermakna membangun ketahanan ekonomi nasional, sehingga kedaulatan sebagai negara-bangsa nyata terwujud. Gambaran tersebut tidak lantas mengisolir perekonomian nasional sebagaimana kerap dicurigai sebagian kalangan. Kerja sama dengan negeri-negeri lain di seluruh dunia, tentu sangat penting sehingga perlu dipererat. Namun kerja sama tersebut bukan dalam bentuk hubungan yang eksploitatif tapi, hubungan yang setara dan saling memajukan. Bahkan, apabila kedaulatan dan kemajuan berhasil dicapai, akan semakin membuka potensi kita memajukan negeri-negeri terbelakang lain yang saat ini masih senasib.
Cakupan Industrialisasi Nasional
Makna praktis industrialisasi adalah memajukan tenaga produktif menjadi lebih modern, dapat diakses secara massal, dan tinggi kualitas. Tanpa kemajuan tenaga produktif, negeri ini tidak akan punya ketahanan ekonomi menghadapi gempuran neoliberalisme. Tanpa ketahanan ekonomi, kedaulatan negeri ini - terutama kedaulatan rakyatnya - berhenti sebatas cita-cita.
Menjelaskan program industrialisasi nasional secara konkret, baik rangkaian transaksi maupun variabel-variabelnya, bukan perkara sederhana. Sebabnya, transaksi dan variabel industrialisasi merupakan peta jalan, menuju cita-cita industrialisasi nasional yang berhubungan dengan rincian dalam aspek mikro maupun makro ekonomi. Tapi, di sini saya coba mengurai dalam batasan secara umum, dengan berangkat dari apa yang ada, serta menghadirkan apa yang seharusnya sudah ada tapi belum ada, dalam syarat sebagai negeri modern dan berkeadilan sosial. Karenanya, saya akan sangat berterimakasih apabila tulisan ini dapat dikritisi dan atau dilengkapi oleh siapa saja yang berkenan melakukannya.
Terdapat tiga variabel kerja pokok yang saling berhubungan dalam batasan tersebut: pertama, mengapa dan bagaimana program industrialisasi nasional dapat melindungi industri yang ada, sehingga tidak semakin hancur karena kalah bersaing di tingkat global, regional, maupun lokal (terhadap industri negeri-negeri yang lebih maju); kedua, mengapa dan bagaimana program industrialisasi nasional dapat mengambil-alih atau melakukan proses transfer kepemilikan atas sumber daya produksi vital, energi, teknologi dan ilmu pengetahuan, yang masih dikontrol oleh korporasi asing ke dalam kontrol negara (meski tidak harus berbentuk BUMN, melainkan lewat pengetatan kebijakan ekonomi); ketiga, mengapa dan bagaimana program industrialisasi nasional dapat menciptakan dan mengembangkan sumber daya produksi baru. Pada tahap awal (sumber daya produksi baru tersebut), diciptakan dan dikembangkan menurut kebutuhan memajukan sektor-sektor produksi vital yang masih tertinggal dari segi teknologi dan sistem produksi seperti, tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan.
Imperialisme dan Masalah Ketergantungan
Mungkin bagi sebagian pembaca, persoalan imperialisme atau neoliberalisme sebagai bentuk mutakhir imperialisme, sudah sering ditelaah. Namun, pengantar pada dua sub judul berikut sengaja ditampilkan untuk mengerucutkan masalah.
Menilik pada sejarah kehadirannya, seluruh industri termaju di Indonesia saat ini tidak berdiri di atas kebutuhan ekonomi dalam negeri, melainkan atas permintaan dan kebutuhan ekspansi modal asing. Bila dibandingkan, sistem yang berjalan sekarang hanya kelanjutan dari sistem ekonomi kolonial, yang sempat terinterupsi sejenak di masa revolusi kemerdekaan dan separuh masa pemerintahan nasionalis Soekarno. Latar belakang sebagai negeri yang perekonomiannya bergantung pada asing ini, membawa kerawanan yang sudah diramalkan sedari awal.
Akhir 1960-an sampai dekade 1970-an, industri tambang menjadi primadona dengan sebagian besar hasil eksploitasi dibawa ke luar negeri, baik barang dagangan maupun akumulasi keuntungannya. Pada dekade 1980-an industri manufaktur mulai berkembang, sebagai akibat kebijakan deregulasi pada sektor finansial. Deregulasi sendiri merupakan hasil desakan ekspansi finance capital yang dispekulasikan atau diutangkan di beberapa negeri berkembang—karena akumulasi keuntungan sudah tidak dapat diinvestasikan lagi pada sektor produktif di negeri-negeri asal (kapitalis maju). Peran finance capital ini, selain melahirkan pembangunan jalan raya, pelabuhan, bendungan, infrastruktur lainnya, dan industri manufaktur, juga melahirkan praktek rente besar-besaran. Selain oleh utang luar negeri, praktek rente juga kian disuburkan oleh kredit-kredit yang begitu mudahnya dikeluarkan oleh bank-bank dalam negeri. Utang-utang tersebut, kini menjadi jerat atau dijadikan instrumen untuk mengendalikan kebijakan ekonomi sesuai kehendak korporasi internasional. Selain itu masih harus dibayar oleh negara dengan pemotongan terhadap hak-hak rakyat akan jaminan kesejahteraan.
Modal yang masuk dalam bentuk utang dan spekulasi tadi, baik pada sektor pertambangan, manufaktur maupun yang sekedar berputar di pasar modal, tidak memberi landasan bagi industri yang mandiri, dan tanpa arah strategis yang jelas. Sampai saat ini, Indonesia masih harus membeli bahan baku setengah jadi hasil olah teknologi dari luar. Contohnya, hasil pertambangan bauksit masih harus dikirim ke Jepang untuk dapat diolah menjadi alumunium, dan banyak contoh lainnya. Mesin-mesin juga masih didatangkan dari luar, karena investasi yang masuk tidak berkepentingan memroduksi mother machine (induk mesin/mesin pencetak mesin). Satu-satunya perusahaan di Indonesia yang pernah memiliki induk mesin adalah PT. Texmaco Engeneering, namun tidak berlangsung lama karena bangkrut (dibangkrutkan?). Ketergantungan lainnya adalah terhadap pasar (dengan semboyan: orientasi ekspor), sementara seringkali kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi.
Dalam penetrasi modal demikian, sektor pertanian menjadi sasaran praktek eksploitasi kota terhadap desa. Saat industri manufaktur tumbuh pesat pada dekade 80-an dan 90-an awal, tenaga produktif pertanian sama sekali tidak berkembang. Industri hanya menyentuh sektor pertanian sebagai pasar, sehingga proyek-proyek di pedesaan pun dilakukan semata untuk memuluskan tujuan tersebut. Bila dilihat sekilas, pembangunan infrastruktur jalan raya, bendungan, pengenalan terhadap bibit dan pupuk jenis baru, tampak menguntungkan masyarakat desa. Namun, karena tujuannya bukan untuk memajukan pertanian maka, dampak yang dihasilkan pun merugikan dalam jangka panjang. Misalnya, dampak penggunaan pupuk pada kesuburan tanah, dsb.
Ciri lain industri yang tumbuh saat itu adalah rendah teknologi sehingga, tidak membutuhkan tenaga kerja yang berketerampilan. Bidang pendidikan menerima ekses lanjutan dengan lemahnya perkembangan ilmu pengetahuan serta sistem pendidikan yang sama sekali tidak mengembangkan cara berpikir kritis.
Kelemahan dalam perkembangan tenaga produktif (teknologi dan sumber daya manusia), mengakibatkan rendahnya produktivitas serta penghasilan yang diterima buruh. Sebagai contoh, industri manufaktur menengah dan besar, hanya mempekerjakan empat juta tenaga kerja atau sekitar empat persen dari total 91 juta tenaga kerja. Perusahaan yang mempekerjakan 500 buruh ke atas mempekerjakaan sepertiga dari (kurang lebih 30 juta) tenaga kerja, memproduksi 80 persen dari nilai tambah manufaktur. Sementara dua pertiga (60 juta) tenaga kerja berada di perusahaan menengah dan kecil, yang mempekerjakan antara 5 sampai 99 buruh, serta industri rumah tangga yang mempekerjakan 1-4 buruh. Dua kategori yang disebut terakhir ini hanya menghasilkan nilai tambah manufaktur sebesar 5-6 persen. Sedangkan masalah penghasilan, menurut data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 85 persen buruh berpenghasilan di bawah 2 juta rupiah per bulan.
Dampak Dalam Pusaran Neoliberal
Industri yang bergantung seperti dipaparkan tadi, mulai menerima kehancuran saat integrasi ke dalam ekonomi global semakin dalam. Banyak tenaga produktif yang tersia-siakan atau bahkan sengaja dihancurkan. Pabrik-pabrik ditutup, pengangguran meningkat, lahan pertanian produktif diserahkan/dirampas untuk industri yang sama sekali tidak menopang pertanian sementara, sektor jasa (terutama pemasaran) merebak lampaui sektor produksi. Merebaknya industri pemasaran (ritel, mini market, dsb.,) bukan disebabkan oleh meningkatnya produksi dalam negeri, melainkan dampak dibukanya keran impor dalam agenda perdagangan bebas.
Peran negeri-negeri dunia ketiga dalam integrasi tersebut, direduksi sekedar sebagai penyedia buruh murah, bahan mentah (terutama kekayaan hutan dan tambang), serta pasar bagi produk negeri-negeri induk kapitalisme. Dalam kerangka tiga tujuan pokok itu, paket liberalisasi ekonomi dijadikan strategi. Sementara instrumennya adalah negara dan lembaga-lembaga ekonomi internasional (IMF, WB, & WTO).
Industri nasional kian menghadapi persoalan konkret sejak pemerintah menandantagni nota kesepahaman (Letter of Intent) dengan IMF tahun 1998. Butir-butir kesepahaman itu misalnya, liberalisasi ekspor yang berakibat pemenuhan energi dan bahan baku industri semakin sulit. Bila pun sanggup dipenuhi, harus diperoleh dengan harga tinggi sehingga biaya produksi melonjak. Masalah ini, misalnya, tampak pada industri kayu, keramik, pupuk, dll. Dalam hal sumber energi, sebagian besar hasil eksploitasi sumber energi seperti minyak, gas, dan batubara dijual ke luar negeri. Sekitar 90 persen dari total produksi gas nasional di ekspor ke luar negeri, sementara batubara mencapai 70 persen. Industri nasional juga menghadapi persoalan liberalisasi impor yang berdampak pada kalahnya produk dalam negeri dibanding produk impor yang lebih murah dan berkualitas. Persoalan lainnya adalah liberalisasi investasi yang mengakibatkan modal dapat berpindah dalam waktu singkat tanpa memperhatikan kebutuhan pembangunan jangka panjang.
Pemerintah Indonesia berharap liberalisasi akan membawa modal masuk dan ditanamkan pada sektor riil. Lebih jauh lagi, mereka berharap investasi asing yang masuk akan membawa teknologi sehingga daya saing di pasar global meningkat. Sama seperti ketika proses deregulasi tahun 1980-an yang menghasilkan sejumlah kemajuan (tapi semu) pada industri manufaktur. Karena alasan ini pula, pemerintahan sekarang mempertahankan politik upah murah sebagai daya tarik, yang dipermanis dengan kelenturan pasar tenaga kerja (Labour Market Flexibility).
Namun harapan itu tidak terwujud karena, kecenderungan global akumulasi modal bukan dilakukan melalui investasi produksi tapi, melalui spekulasi saham yang jumlahnya ratusan persen lebih besar dari nilai aset riil. Selain itu, lebih dari 80 persen modal sebenarnya tetap terkonsentrasi di negeri-negeri maju. Kalaupun modal tersebut keluar, maka negeri-negeri seperti Cina, India, dan Vietnam yang baru membuka perekonomiannya lebih menjadi pilihan. Negeri-negeri ini juga menyediakan pasar tenaga kerja yang murah, dan ditunjang oleh infrastruktur yang lebih memadai.
Langkah-langkah Industrialisasi
Secara garis besar, persoalan-persoalan yang dihadapi tersebut di atas kurang lebih dapat diatasi lewat langkah-langkah industrialisasi sebagai berikut:
1. Negara harus menjamin tersedianya sumber energi yang memadai untuk seluruh jenis industri. Korporasi-korporasi penghasil energi (minyak, gas, dan batu bara) harus diambil-alih kepemilikan ke tangan negara untuk memastikan tercukupinya kebutuhan energi dalam negeri. Sebaliknya, kerja sama energi dengan negeri-negeri seperti Venezuela dan Iran perlu ditingkatkan. Sejalan dengan itu, pemboyongan sumber energi ke luar harus dihentikan atau dibatasi.
2. Sebagai antisipasi jangka panjang, dibutuhkan kajian-kajian strategis terhadap sumber energi alternatif dengan dampak negatif seminim mungkin terhadap lingkungan hidup.
3. Negara harus menjamin tersedianya bahan baku yang cukup untuk seluruh jenis industri penyedia kebutuhan primer masyarakat (sandang, pangan, papan). Perlu segera memperhatikan pengadaan sumber bahan baku yang sampai saat ini masih diimpor, seperti kapas untuk industri tekstil, dan juga sebagian produk pertanian (mengenai pertanian terdapat poin tersendiri). Larangan ekspor dikenakan terhadap jenis bahan baku yang menjadi basis bagi produksi kebutuhan primer masyarakat, sejauh tidak terdapat surplus yang bisa dipasarkan ke luar negeri.
4. Kebijakan strategi industri dengan sektor swasta harus menghasilkan pembangunan industri pengolahan bahan baku menjadi bahan baku setengah jadi. Termasuk di dalamnya, membangun industri induk mesin, industri kimia, industri baja olahan, alumunium, dan lain sebagainya. Transfer teknologi dilakukan melalui kerja sama investasi dengan negeri yang memiliki teknologi lebih maju, atau ‘mengadopsi’ teknologi yang dipelajari dari luar negeri (Jerman, Jepang, Rusia, Cina, dll).
5. Negara menjamin tersedianya pasar bagi industri yang masih membutuhkan proteksi dengan pengenaan pajak atau cukai yang tinggi terhadap komoditi sejenis, yang diimpor dari luar negeri. Untuk jenis komoditi tertentu, perlu disediakan jalur distribusi yang dapat diakses oleh masyarakat luas dengan harga yang disubsidi.
6. Tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam konteks ini, pendidikan dan kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh negara. Jaminan penyediaan gizi bagi masyarakat, tidak dipandang sebagai program belas kasihan untuk sebagian rakyat miskin (seperti program BLT atau raskin yang dilakukan pemerintah saat ini). Kebutuhan yang sangat mendasar tersebut harus diberlakukan secara umum sehingga, dapat diakses oleh seluruh warga negara. Pengecualian hanya berlaku bagi warga negara yang memiliki kemampuan lebih sehingga, memilih akses terhadap pendidikan dan kesehatan di luar fasilitas yang disediakan oleh negara.
7. Memajukan tenaga produktif pertanian dengan cara: a) mengalokasikan kredit yang memadai dengan jaminan oleh pemerintah dan bunga rendah kepada petani melalui bank pertanian; b) mobilisasi potensi seluruh lembaga riset pertanian untuk mengembangkan teknologi pertanian yang sesuai dengan karakter geografis dan sosial-budaya Indonesia. Pengembangan tersebut meliputi masalah pembibitan, mekanisasi proses tanam dan panen, pengairan, listrik, serta infrastruktur lainnya; c) mendorong terbangunnya contoh pertanian kolektif dengan pengolahan lahan bersama serta penerapan teknologi yang lebih maju. Penggarapan ini dilakukan secara demokratis dengan melibatkan petani dalam mengambil keputusan, baik saat proses produksi maupun pemasaran; d) mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian dalam setiap batasan teritori tertentu sesuai dengan komoditi pertanian yang diproduksi. Perlu dijelaskan, program teknologisasi pertanian ini tidak akan menciptakan pengangguran baru, sebaliknya akan membuka lapangan kerja. Karena dari setiap pengembangan tenaga produktif akan membutuhkan tenaga-tenaga kerja baru.
8. Ijin operasi industri hulu harus disertai syarat pembangunan industri pengolahan sehingga bahan mentah ekstraktif tidak langsung dijual ke luar negeri. Dengan pengolahan tersebut, selain akan meningkatkan nilai tambah, juga akan meningkatkan produktivitas masyarakat lewat industri-industri pengolahan yang terbangun. Misalnya; hasil tambang bauksit yang diolah menjadi alumunium, bijih besi menjadi baja, baja menjadi mesin, dsb-dst.
9. Memberikan perhatian terhadap industri kecil dan menengah dengan sarana dan kemudahan akses terhadap kredit mikro, bahan baku produksi yang murah, serta jaminan ketersediaan pasar.
Program Pembiayaan Industrialisasi Nasional
Sudah tentu, program industrialisasi akan berhadapan pada masalah modal. Masalah ini juga merupakan kunci politik bagi berjalannya program industrialisasi, karena sarat dengan muatan kepentingan kelas elit yang selama ini mengambil untung dari masing-masing masalah. Sejauh mana strategi industrialisasi mampu dijalankan akan ditentukan oleh kemampuan pembiayaan, dukungan sumber daya manusia, serta mobilisasi politik dan pengembangan budaya produktif sebagai aspek non ekonomis terpenting.
Setidaknya terdapat lima masalah besar sehubungan dengan sumber pembiayaan yang mesti diatasi, yaitu: utang luar negeri, pengolahan sumber daya alam, dana obligasi perbankan, persoalan korupsi, serta sistem kredit perbankan. Masalah-masalah tersebut harus disusun menjadi program-program sebagai berikut: Pertama, mengatasi masalah utang luar negeri yang total jumlahnya mencapai seribu enam ratus triliun rupiah. Anggaran negara setiap tahun untuk membayar utang, seperti yang diketahui bersama, mencapai separuh dari total anggaran pembiayaan. Jumlah utang yang sangat besar tersebut, tidak lain merupakan hasil praktek rente bisnis perbankan internasional. Program kita adalah mengambil sikap tegas dengan menolak pembayaran utang. Atau pada tingkat yang paling konservatif, menuntut moratorium tanpa bunga selama jangka waktu tertentu (misalnya; lima belas sampai dua puluh tahun).
Kedua, eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam harus dipastikan pengawasan dan kontrolnya oleh negara. Langkah nasionalisasi atas industri pertambangan adalah salah satu opsi meningkatkan penghasilan negara. Bentuk lain yang merupakan capaian kompromi adalah memperbaharui kontrak karya dengan korporasi-korporasi pertambangan, yang notabene mayoritas berasal dari luar negeri. Bila ditelusuri jumlah keuntungan yang dikeruk melalui berbagai industri tambang, sudah lebih dari cukup untuk membiayai program pendidikan dan kesehatan. Contohnya, Exxon-Mobill Oil, Ltd. yang setiap tahun mampu membawa pulang puluhan miliar US dollar, hanya dari satu blok di Cepu. Atau PT. Newmont di NTB yang menurut laporan resmi, membawa pulang 9,1 triliun rupiah setiap tahun.
Ketiga, dana obligasi rekapitalisasi perbankan sebesar 600 triliun rupiah yang dikeluarkan pemerintah untuk menjamin keberlangsungan bank-bank swasta. Dana ini telah dimanfaatkan oleh sebagian pengusaha yang terjerat kredit macet untuk menalangi utang mereka. Negara dibebani uang puluhan triliun rupiah setiap tahun untuk membayar bunga obligasi.
Keempat, kebocoran anggaran negara yang sangat besar harus diatasi dengan cara yang efektif. Kuncinya adalah tidak menggunakan perangkat birokrasi untuk mengatasi korupsi di jajaran birokrasi. Lembaga semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu dibangun sampai ke tingkat lokal, disertai mekanisme transaparansi dan pertanggungjawaban kepada rakyat.
Kelima, sistem perbankan saat ini lebih memprioritaskan pinjaman kepada sektor konsumsi. Kredit yang diberikan kepada industri menengah dan kecil sangat minim, terutama di sektor-sektor yang masih tertinggal. Perubahan kebijakan dapat dimulai dengan jaminan yang lebih besar oleh negara untuk pengucuran kredit mikro oleh perbankan.***
Dominggus Oktavianus, Ketua Pengurus Pusat FNPBI, dan Dewan Pimpinan Pusat PAPERNAS
Title : Industrialisasi Nasional dan Cita-cita Kemakmuran ► SEOer Mendem ►
URL : https://seomendem.blogspot.com/2007/02/industrialisasi-nasional-dan-cita-cita_25.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Industrialisasi Nasional dan Cita-cita Kemakmuran ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.