Depolitisisasi Politik Pasca Mao - Coen Husain Pontoh
Bagi banyak kalangan, Revolusi Kebudayaan (the Great Proletarian Cultural Revolution/GPCR) yang dicanangkan Mao Zedong pada 16 Mei 1966, merupakan salah satu horor kemanusian terbesar di abad ke-20. Terutama setelah Deng Xiaoping berkuasa, masa-masa GPCR dianggap telah menyebabkan rakyat Cina tersungkur dalam kegelapan. “Sepuluh tahun yang mengerikan,” demikian bunyi pesan politiknya.
Namun demikian, ada banyak hal positif yang tidak diungkap secara terbuka. GPCR sesungguhnya merupakan reaksi atas kegagalan pelaksanaan kebijakan the Great Leap Forward (GLF), yang dicanangkan Mao pada awal 1958. Kegagalan mana lebih bersifat politik, karena di lapangan kehidupan yang lain GLF mencatat hasil menggembirakan. Seperti dikatakan Minqi Li, standar hidup petani dan kelas buruh perkotaan di masa Mao, dalam banyak hal (pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan kerja, dan kondisi-kondisi di tempat kerja), secara substansial lebih baik dari kondisi yang terjadi saat ini. Kegagalan di bidang politik itu, misalnya, makin menguatnya unsur-unsur kanan dalam tubuh Chinese Communist Party (CCP) serta, partai yang makin terbirokratisasi. Untuk mengatasi dua keadaan inilah, Revolusi Kebudayaan dijalankan. Pada masa ini, politisisasi kehidupan politik tumbuh berkembang, nilai-nilai yang melandasi kebijakan politik partai diuji kembali. Di lapangan ekonomi, pabrik-pabrik di seluruh Cina diorganisasi menurut garis Komune Paris, demikian juga dengan sekolah-sekolah dan unit-unit yang terlibat dalam eksperimentasi sosial.
Tetapi, menyusul kegagalan Revolusi Kebudayaan dan diorganisasikannya kehidupan masyarakat atas dasar mekanisme pasar, kehidupan politik mengalami depolitisisasi luar biasa. Sejatinya, proses depolitisisasi politik ini sebenarnya, telah berkembang sejak masa Revolusi Kebudayaan tapi, makin meningkat setelah pasca Mao. Itu sebabnya, sebagian pengamat mengatakan, penolakan terhadap periode 1960an, bukan hanya merupakan penolakan terhadap Revolusi Cina, seperti Revolusi Kebudayaan dan Revolusi 1949 tapi, juga penolakan terhadap revolusi yang terjadi di luar Cina dalam hal ini, Revolusi Rusia dan Revolusi Perancis. Kedua revolusi ini, dimasa kepemimpinan Mao, memperoleh penghargaan tinggi dari rakyat Cina.
Istilah depolitisisasi politik, untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh Wang Hui, profesor di Department of China, Tsinghua University, sekaligus pelopor dari apa yang disebut gerakan Kiri Baru di Cina. Dalam artikelnya yang berjudul “Depoliticized Politics, From East to West,” Hui merumuskan konsep depolitisisasi politik sebagai sebuah keadaan dimana kehidupan politik berlangsung stagnan dan sarat pragmatisme. Hal itu ditandai oleh terpolarisasinya perjuangan faksional akibat dihapuskannya peluang untuk munculnya ruang sosial yang otonom. Ciri lainnya adalah, bertransformasinya perdebatan politik menjadi sekadar melulu perjuangan merebut kekuasaan, dan dimasukkannya konsep kelas sebagai bagian dari konsep identitarian esensialis. Sebagai lawannya, Politisisasi Politik, menurut Hui, dicirikan oleh perdebatan yang dinamis, investigasi teoritis dan organisasi sosial otonom, serta dibukanya peluang bagi berkembangnya spontanitas dan vitalitas politik dan ruang diskusi yang luas. Dalam kerangka ini, bagi Hui, tragedi Revolusi Kebudayaan bukanlah produk dari politisisasi politik melainkan, buah dari depolitisisasi politik.
Ada dua karakter kunci yang menandai proses depolitisisasi politik ini. Pertama, terjadi “de-teorisasi” ruang ideologi. Situasi ini bermula pada dekade 1970an, ketika interkoneksi saling menguntungkan antara teori dan praktek dikalahkan oleh apa yang oleh Deng Xiapoing, sebut sebagai “crossing the river by felling for the stones/Mozhe shitou guo he.” Satya C. Gabrial memaknai frasa ini sebagai pragmatisme para pemimpin Cina dalam melaksanakan moderniasasi. Bahwa jalan pembaruan di Cina bukan jalan kapitalisme atau juga sosialisme tapi, pasar-sosialis.
Namun demikian, gambaran mengenai “felling for the stones/meraba-raba batu” ini sebenarnya tidak terlalu akurat untuk menjelaskan masalah reformasi. Paling tidak, terdapat dua alasan: pertama, pada pertengahan 1970an CCP sangat aktif terlibat dalam diskusi teoritik mengenai pasar, kompensasi kerja, hak-hak sipil, dan banyak soal lain yang bersentuhan dengan isu-isu fundamental yang dihadapi Cina. Tanpa adanya perdebatan itu, sangat sulit buat kita untuk membayangkan bagaimana tema seperti reformasi dan pembangunan ekonomi pasar dimungkinkan. Kedua, sejak akhir 1970an, berlangsung serangkaian diskusi mengenai masalah sosialisme, humanisme, keterasingan, ekonomi pasar dan masalah kepemilikan baik di dalam CCP maupun di masyarakat Cina keseluruhan. Peristiwa ini sebenarnya menyangkal kecenderungan tengah berlangsungnya de-teorisasi secara umum.
Karakter kunci kedua, yang menunjukkan tengah berlangsung proses depolitisasi ketika reformasi ekonomi diletakkan sebagai satu-satunya fokus kerja partai. Karakter ini ditandai oleh respon politik terhadap perjuangan faksional dan kekacauan politik yang terjadi sepanjang tahun-tahun terakhir Revolusi Kebudayaan. Pada tahap ini, ketegangan antara partai dan politik, yang merupakan ciri utama dari tahun-tahun awal Revolusi Kebudayaan diberangus. Unifikasi antara politik dan negara - the party-state – juga dilikuidasi.
Pada tahap kedua ini, menurut Hui, sistem party-state bermetamorfosa menjadi sistem state-party atau sistem state-multi party. Maksudnya, partai dalam hal ini CPP, tidak lagi menjadi wadah bagi berlangsungnya evaluasi-evaluasi dari sudut pandang yang berbeda atau dari tujuan-tujuan sosial yang berseberangan. Partai hanya sekadar menjalankan hubungan struktural-fungsional dengan aparatus negara. Partai tidak lagi menjadi tempat untuk mengklarifikasi peran politik, melainkan hanya menjadi komponen aparatus negara. Partai juga tidak lagi menyediakan ruang terbuka yang merangsang terjadinya tukar pikir-pengalaman, atau menjadi tempat berlangsungnya diskusi-diskusi masalah teoritis dan praktis. Sebaliknya yang terjadi, partai semakin terbirokratisasi dan hanya menjadi subyek kekuasaan negara.
Hasil dari transformasi itu, hari ini buruh dan petani benar-benar telah tergusur dari struktur kepemimpinan partai dan negara. Bahkan, dalam struktur National People’s Congress (NPC) atau parlemen Cina, tak ada lagi tempat bagi buruh. Posisi-posisi strategis dalam partai, kini diisi oleh personal-personal yang dekat dengan elite partai atau yang memiliki modal kapital yang mencukupi. Pemilihan pemimpin partai, misalnya, lebih merupakan hasil dari tawar-menawar pertarungan faksional. Satu-satunya pemilihan pemimpin yang demokratis, hanya berlangsung di tingkat desa, di mana petani memilih kandidatnya di kotak suara. Hasilnya, kembali mengutip Minqi Li, veteran Tiananmen Massacre, pada akhir 1989, kelas buruh Cina sangat kecil dan lemah dalam mendorong gerakan demokratik lebih maju. Demikian juga dengan petani, yang bahkan, tidak memberikan dukungan apapun bagi proses demokratisasi tersebut.
Pendalaman Depolitisisasi
Proses depolitisisasi yang terjadi di era post-Maoism, berlangsung sangat intensif. Para elite partai, agar tetap bisa berkuasa, berusaha mentransformasikan dirinya sebagai perwakilan kepentingan tertentu dalam masyarakat. “Setengah abad setelah kematian Mao,” demikian John Gittings, “Cina bukan lagi sebuah negara buruh dan tani. Dan definisi tentang kelas, jelas tidak lagi sesuai dengan kenyataan yang terjadi di Cina saat ini.” Memang istilah-istilah kelas, dua garis tujuan (revolusi dan konstruksi), kritik oto-kritik, bahkan marxisme, telah menjadi istilah usang yang tidak menarik. Istilah-istilah ini tenggelam diterjang banjir retorika modernisasi, reformasi, dan kelompok-kelompok strategis.
Di era reformasi ekonomi, dimana pasarisasi berlangung di bawah payung perlindungan negara, banyak aspek dalam aparatus negara tumpang tindih di wilayah ekonomi. Terutama semenjak kunjungan Deng Xiaoping ke Shenzhen Special Economic Zone pada 1992, dimana ia memberikan sinyal keras untuk bertekad bulat membuka pasar guna memodernisasi ekonomi Cina. “Jika kapitalisme adalah sesuatu yang baik, maka sosialisme harus mengambilalihnya dan memanfaatkannya.” Sejak saat itu, gagasan mengenai modernisasi, globalisasi, dan pertumbuhan harus dilihat sebagai konsep-konsep kunci depolitisisasi. Atau bisa kita sebut sebagai ideologi politik yang anti politik.
Pada akhirnya, masih menurut Hui, ada tiga faktor yang menjadi fondasi berlangsungnya proses depolitisisasi yang intensif. Pertama, dalam proses pasarisasi, garis batas antara elite politik dan pemilik kapital secara perlahan makin sulit dibedakan. Partai politik, telah berubah menjadi basis kelas itu sendiri.
Kedua, di bawah kondisi-kondisi globalisasi, beberapa fungsi ekonomi negara-bangsa telah diserahkan kepada organisasi-organisasi supranasional (WTO). Dengan demikian, orde legal depolitisisasi yang bersifat global, kian terkonsolidasi.
Ketiga, baik pasar dan negara secara bertahap dinetralisasi atau didepolitisisasi. Hal ini bisa dilihat pada kasus dimana perbedaan yang disebabkan oleh masalah pembangunan, dibelokkan menjadi sebatas persoalan teknis yakni, sekadar persoalan mekanisme pasar. Sementara itu, pembedaan politik antara buruh dan kapital, kiri dan kanan dibikin kabur dan sengaja dilenyapkan. Mereka yang mencoba mengungkit masalah ini secara terbuka, dicap sebagai konservatif, militan-radikal, atau sisa-sisa racun warisan Revolusi Kebudayaan.
Tak heran jika buku klasik Samuel Huntington, “Political Order in Changing Societies,” menjadi rujukan penting di tahun-tahun 1990-1991.***
Kepustakaan:
Chen Pingyuan, “Scholarship, Ideas, Politics,” in Chaohua Wang (ed.), “One China, Many Paths,” Verso, London, 2003.
Honghong Ma & Hiroki Takeuchi, “Depoliticized Politics and the End of the Short Twentieth Century in China A Talk by Wang Hui,” http://www.international.ucla.edu/article.asp?parentid=62482, 1/29/2007.
John Gittings, “The Changing Face of China From Mao to Market,” Oxford University Press, 2006.
Satya J. Gabriel, “Economic Liberalization in Post-Mao China: Crossing the River by Feeling for Stones,” http://www.mtholyoke.edu/courses/sgabriel/economics/china-essays/7.html
Wang Hui, “The New Criticism,” in Chaohua Wang (ed.), “One China, Many Paths,” Verso, London, 2003.
------------, “Depoliticized Politics, From East to West,” New Left Review, 41 Sept/Oct, 2006.
Minqi Li, “After neoliberalism, Empire, Social Democracy, or Socialism?” Monthly Review an Independent Socialist Magazine, January, 2004.
Bagi banyak kalangan, Revolusi Kebudayaan (the Great Proletarian Cultural Revolution/GPCR) yang dicanangkan Mao Zedong pada 16 Mei 1966, merupakan salah satu horor kemanusian terbesar di abad ke-20. Terutama setelah Deng Xiaoping berkuasa, masa-masa GPCR dianggap telah menyebabkan rakyat Cina tersungkur dalam kegelapan. “Sepuluh tahun yang mengerikan,” demikian bunyi pesan politiknya.
Namun demikian, ada banyak hal positif yang tidak diungkap secara terbuka. GPCR sesungguhnya merupakan reaksi atas kegagalan pelaksanaan kebijakan the Great Leap Forward (GLF), yang dicanangkan Mao pada awal 1958. Kegagalan mana lebih bersifat politik, karena di lapangan kehidupan yang lain GLF mencatat hasil menggembirakan. Seperti dikatakan Minqi Li, standar hidup petani dan kelas buruh perkotaan di masa Mao, dalam banyak hal (pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan kerja, dan kondisi-kondisi di tempat kerja), secara substansial lebih baik dari kondisi yang terjadi saat ini. Kegagalan di bidang politik itu, misalnya, makin menguatnya unsur-unsur kanan dalam tubuh Chinese Communist Party (CCP) serta, partai yang makin terbirokratisasi. Untuk mengatasi dua keadaan inilah, Revolusi Kebudayaan dijalankan. Pada masa ini, politisisasi kehidupan politik tumbuh berkembang, nilai-nilai yang melandasi kebijakan politik partai diuji kembali. Di lapangan ekonomi, pabrik-pabrik di seluruh Cina diorganisasi menurut garis Komune Paris, demikian juga dengan sekolah-sekolah dan unit-unit yang terlibat dalam eksperimentasi sosial.
Tetapi, menyusul kegagalan Revolusi Kebudayaan dan diorganisasikannya kehidupan masyarakat atas dasar mekanisme pasar, kehidupan politik mengalami depolitisisasi luar biasa. Sejatinya, proses depolitisisasi politik ini sebenarnya, telah berkembang sejak masa Revolusi Kebudayaan tapi, makin meningkat setelah pasca Mao. Itu sebabnya, sebagian pengamat mengatakan, penolakan terhadap periode 1960an, bukan hanya merupakan penolakan terhadap Revolusi Cina, seperti Revolusi Kebudayaan dan Revolusi 1949 tapi, juga penolakan terhadap revolusi yang terjadi di luar Cina dalam hal ini, Revolusi Rusia dan Revolusi Perancis. Kedua revolusi ini, dimasa kepemimpinan Mao, memperoleh penghargaan tinggi dari rakyat Cina.
Istilah depolitisisasi politik, untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh Wang Hui, profesor di Department of China, Tsinghua University, sekaligus pelopor dari apa yang disebut gerakan Kiri Baru di Cina. Dalam artikelnya yang berjudul “Depoliticized Politics, From East to West,” Hui merumuskan konsep depolitisisasi politik sebagai sebuah keadaan dimana kehidupan politik berlangsung stagnan dan sarat pragmatisme. Hal itu ditandai oleh terpolarisasinya perjuangan faksional akibat dihapuskannya peluang untuk munculnya ruang sosial yang otonom. Ciri lainnya adalah, bertransformasinya perdebatan politik menjadi sekadar melulu perjuangan merebut kekuasaan, dan dimasukkannya konsep kelas sebagai bagian dari konsep identitarian esensialis. Sebagai lawannya, Politisisasi Politik, menurut Hui, dicirikan oleh perdebatan yang dinamis, investigasi teoritis dan organisasi sosial otonom, serta dibukanya peluang bagi berkembangnya spontanitas dan vitalitas politik dan ruang diskusi yang luas. Dalam kerangka ini, bagi Hui, tragedi Revolusi Kebudayaan bukanlah produk dari politisisasi politik melainkan, buah dari depolitisisasi politik.
Ada dua karakter kunci yang menandai proses depolitisisasi politik ini. Pertama, terjadi “de-teorisasi” ruang ideologi. Situasi ini bermula pada dekade 1970an, ketika interkoneksi saling menguntungkan antara teori dan praktek dikalahkan oleh apa yang oleh Deng Xiapoing, sebut sebagai “crossing the river by felling for the stones/Mozhe shitou guo he.” Satya C. Gabrial memaknai frasa ini sebagai pragmatisme para pemimpin Cina dalam melaksanakan moderniasasi. Bahwa jalan pembaruan di Cina bukan jalan kapitalisme atau juga sosialisme tapi, pasar-sosialis.
Namun demikian, gambaran mengenai “felling for the stones/meraba-raba batu” ini sebenarnya tidak terlalu akurat untuk menjelaskan masalah reformasi. Paling tidak, terdapat dua alasan: pertama, pada pertengahan 1970an CCP sangat aktif terlibat dalam diskusi teoritik mengenai pasar, kompensasi kerja, hak-hak sipil, dan banyak soal lain yang bersentuhan dengan isu-isu fundamental yang dihadapi Cina. Tanpa adanya perdebatan itu, sangat sulit buat kita untuk membayangkan bagaimana tema seperti reformasi dan pembangunan ekonomi pasar dimungkinkan. Kedua, sejak akhir 1970an, berlangsung serangkaian diskusi mengenai masalah sosialisme, humanisme, keterasingan, ekonomi pasar dan masalah kepemilikan baik di dalam CCP maupun di masyarakat Cina keseluruhan. Peristiwa ini sebenarnya menyangkal kecenderungan tengah berlangsungnya de-teorisasi secara umum.
Karakter kunci kedua, yang menunjukkan tengah berlangsung proses depolitisasi ketika reformasi ekonomi diletakkan sebagai satu-satunya fokus kerja partai. Karakter ini ditandai oleh respon politik terhadap perjuangan faksional dan kekacauan politik yang terjadi sepanjang tahun-tahun terakhir Revolusi Kebudayaan. Pada tahap ini, ketegangan antara partai dan politik, yang merupakan ciri utama dari tahun-tahun awal Revolusi Kebudayaan diberangus. Unifikasi antara politik dan negara - the party-state – juga dilikuidasi.
Pada tahap kedua ini, menurut Hui, sistem party-state bermetamorfosa menjadi sistem state-party atau sistem state-multi party. Maksudnya, partai dalam hal ini CPP, tidak lagi menjadi wadah bagi berlangsungnya evaluasi-evaluasi dari sudut pandang yang berbeda atau dari tujuan-tujuan sosial yang berseberangan. Partai hanya sekadar menjalankan hubungan struktural-fungsional dengan aparatus negara. Partai tidak lagi menjadi tempat untuk mengklarifikasi peran politik, melainkan hanya menjadi komponen aparatus negara. Partai juga tidak lagi menyediakan ruang terbuka yang merangsang terjadinya tukar pikir-pengalaman, atau menjadi tempat berlangsungnya diskusi-diskusi masalah teoritis dan praktis. Sebaliknya yang terjadi, partai semakin terbirokratisasi dan hanya menjadi subyek kekuasaan negara.
Hasil dari transformasi itu, hari ini buruh dan petani benar-benar telah tergusur dari struktur kepemimpinan partai dan negara. Bahkan, dalam struktur National People’s Congress (NPC) atau parlemen Cina, tak ada lagi tempat bagi buruh. Posisi-posisi strategis dalam partai, kini diisi oleh personal-personal yang dekat dengan elite partai atau yang memiliki modal kapital yang mencukupi. Pemilihan pemimpin partai, misalnya, lebih merupakan hasil dari tawar-menawar pertarungan faksional. Satu-satunya pemilihan pemimpin yang demokratis, hanya berlangsung di tingkat desa, di mana petani memilih kandidatnya di kotak suara. Hasilnya, kembali mengutip Minqi Li, veteran Tiananmen Massacre, pada akhir 1989, kelas buruh Cina sangat kecil dan lemah dalam mendorong gerakan demokratik lebih maju. Demikian juga dengan petani, yang bahkan, tidak memberikan dukungan apapun bagi proses demokratisasi tersebut.
Pendalaman Depolitisisasi
Proses depolitisisasi yang terjadi di era post-Maoism, berlangsung sangat intensif. Para elite partai, agar tetap bisa berkuasa, berusaha mentransformasikan dirinya sebagai perwakilan kepentingan tertentu dalam masyarakat. “Setengah abad setelah kematian Mao,” demikian John Gittings, “Cina bukan lagi sebuah negara buruh dan tani. Dan definisi tentang kelas, jelas tidak lagi sesuai dengan kenyataan yang terjadi di Cina saat ini.” Memang istilah-istilah kelas, dua garis tujuan (revolusi dan konstruksi), kritik oto-kritik, bahkan marxisme, telah menjadi istilah usang yang tidak menarik. Istilah-istilah ini tenggelam diterjang banjir retorika modernisasi, reformasi, dan kelompok-kelompok strategis.
Di era reformasi ekonomi, dimana pasarisasi berlangung di bawah payung perlindungan negara, banyak aspek dalam aparatus negara tumpang tindih di wilayah ekonomi. Terutama semenjak kunjungan Deng Xiaoping ke Shenzhen Special Economic Zone pada 1992, dimana ia memberikan sinyal keras untuk bertekad bulat membuka pasar guna memodernisasi ekonomi Cina. “Jika kapitalisme adalah sesuatu yang baik, maka sosialisme harus mengambilalihnya dan memanfaatkannya.” Sejak saat itu, gagasan mengenai modernisasi, globalisasi, dan pertumbuhan harus dilihat sebagai konsep-konsep kunci depolitisisasi. Atau bisa kita sebut sebagai ideologi politik yang anti politik.
Pada akhirnya, masih menurut Hui, ada tiga faktor yang menjadi fondasi berlangsungnya proses depolitisisasi yang intensif. Pertama, dalam proses pasarisasi, garis batas antara elite politik dan pemilik kapital secara perlahan makin sulit dibedakan. Partai politik, telah berubah menjadi basis kelas itu sendiri.
Kedua, di bawah kondisi-kondisi globalisasi, beberapa fungsi ekonomi negara-bangsa telah diserahkan kepada organisasi-organisasi supranasional (WTO). Dengan demikian, orde legal depolitisisasi yang bersifat global, kian terkonsolidasi.
Ketiga, baik pasar dan negara secara bertahap dinetralisasi atau didepolitisisasi. Hal ini bisa dilihat pada kasus dimana perbedaan yang disebabkan oleh masalah pembangunan, dibelokkan menjadi sebatas persoalan teknis yakni, sekadar persoalan mekanisme pasar. Sementara itu, pembedaan politik antara buruh dan kapital, kiri dan kanan dibikin kabur dan sengaja dilenyapkan. Mereka yang mencoba mengungkit masalah ini secara terbuka, dicap sebagai konservatif, militan-radikal, atau sisa-sisa racun warisan Revolusi Kebudayaan.
Tak heran jika buku klasik Samuel Huntington, “Political Order in Changing Societies,” menjadi rujukan penting di tahun-tahun 1990-1991.***
Kepustakaan:
Chen Pingyuan, “Scholarship, Ideas, Politics,” in Chaohua Wang (ed.), “One China, Many Paths,” Verso, London, 2003.
Honghong Ma & Hiroki Takeuchi, “Depoliticized Politics and the End of the Short Twentieth Century in China A Talk by Wang Hui,” http://www.international.ucla.edu/article.asp?parentid=62482, 1/29/2007.
John Gittings, “The Changing Face of China From Mao to Market,” Oxford University Press, 2006.
Satya J. Gabriel, “Economic Liberalization in Post-Mao China: Crossing the River by Feeling for Stones,” http://www.mtholyoke.edu/courses/sgabriel/economics/china-essays/7.html
Wang Hui, “The New Criticism,” in Chaohua Wang (ed.), “One China, Many Paths,” Verso, London, 2003.
------------, “Depoliticized Politics, From East to West,” New Left Review, 41 Sept/Oct, 2006.
Minqi Li, “After neoliberalism, Empire, Social Democracy, or Socialism?” Monthly Review an Independent Socialist Magazine, January, 2004.
Title : Depolitisisasi Politik Pasca Mao ► SEOer Mendem ►
URL : https://seomendem.blogspot.com/2007/03/depolitisisasi-politik-pasca-mao_7.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Depolitisisasi Politik Pasca Mao ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.