Paradigma Baru Pembangunan Aceh - Saiful Haq
Dalam beberapa tahun terakhir, kalangan pekerja kemanusiaan telah belajar menerima hubungan tak terpisahkan antara keamanan dan pembangunan. Lembaga dunia seperti Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), telah lama mengakui sulitnya menerapkan program-program pembangunan dalam lingkungan yang tidak aman. Karena itu, badan-badan PBB kemudian mengadopsi kebijakan pembangunan ‘security first’ yang mengakui, tanpa pencapaian keamanan pada level tertentu tidak mungkin mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Sebaliknya, tanpa pembangunan sosial-ekonomi yang bermakna, pembangunan dapat terjerembab ke dalam kesenjangan, konflik dan krisis. Dengan demikian, penciptaan sebuah lingkungan yang aman bagi pembangunan, tidak dapat diselesaikan selama masyarakatnya masih dibayang-bayangi senjata.
Dalam konteks ini menjadi penting mengidentifikasi dan menelusuri konsep-konsep yang menjadi dinamika di Aceh pasca konflik seperti, security (keamanan), human security (keamanan insani), securitization (proses pembahasan suatu masalah sehingga diterima menjadi masalah keamanan), security development nexus (perselibatan keamanan dan pembangunan), keamanan dan demokrasi, serta tata kelola sektor keamanan (security sector governance). Meski tidak menyeluruh, tulisan ini diharapkan dapat menjadi pengantar untuk memahami keamanan dan konsep-konsep yang terkait dengannya ketika, kita berbicara tentang keamanan dalam konteks negara berkembang dan tengah menjalani proses demokratisasi. Aceh merupakan kasus menarik dalam tiga hal tersebut.
Berakhirnya konflik di Aceh serta bencana Tsunami yang menelan korban ratusan ribu jiwa pada Desember 2004, menunjukkan dua hal yang menjadi masalah internasional: pertama, persoalan konflik internal; kedua, bencana alam. Perlu dicatat, dalam rentang tahun 1900 hingga 1999, penyebab utama kematian manusia di dunia disebabkan oleh konflik politik, dengan jumlah korban meninggal mencapai 270.700 ribu jiwa, atau 62,2% dari seluruh jumlah kematian; bencana alam dalam rentang waktu 99 tahun tersebut hanya menelan korban sekitar 10 juta jiwa atau hanya 2,4% dari seluruh jumlah korban. Jumlah ini merupakan sebab kematian terendah dibandingkan jenis bencana lainnya. Hal lain yang menarik, kematian yang disebabkan oleh bencana kelaparan dan kekeringan, menempati urutan kedua. Pasca Tsunami, jumlah penduduk miskin di Aceh meningkat tajam dari angka 1,6 juta orang menjadi 2,2 juta orang , menurut laporan Transparency Internasional (TI), angka jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 28,5% dari total jumah penduduk. Berbekal angka ini, Aceh melesat sebagai propinsi termiskin keempat di Indonesia.
Masalah perkotaan juga menjadi penyebab kematian yang cukup tinggi di dunia. Di dalamnya termasuk pengelolaan infrastruktur fisik seperti, jalur transportasi, jalan darat, kereta api dan angkutan udara. Di Aceh contohnya, keadaan jalan yang bisa dikatakan baik hanya sekitar 20 persen, selebihnya dalam kondisi rusak sedang dan rusak berat. Angka kecelakaan lalu lintas di kota Banda Aceh juga terbilang besar. Tercatat sebanyak 752 kasus kecelakaan, dengan jumlah korban jiwa 1.035 orang meninggal dunia, 1.573 luka berat dan 2.294 luka ringan sepanjang tahun 2005-2006.
Merujuk kondisi di atas, konteks demokratisasi Aceh pasca Tsunami dan konflik berkepanjangan, pada akhirnya bukan sekadar masalah kebebasan politik, pemilihan umum, partai politik, atau lembaga perwakilan. Tapi, juga berkaitan erat dengan desentralisasi sumberdaya ekonomi dan sumberdaya politik, dari kontrol pusat ke pemerintahan Aceh di bawah payung nota kesepahaman (MoU) dan Undang-undang Pemerintahan Aceh. Pada saat bersamaan, demokratisasi di tingkat lokal propinsi Nangroe Aceh Darussalam, juga menjadi sebuah prasyarat dan konsekuensi dari berpindahnya kewenangan pusat ke tangan rakyat Aceh.
Human Peace sebagai Paradigma Baru
Konsep Human Peace, sebenarnya diadopsi dari konsep Human Security. Dalam konteks Indonesia, penggunaan kata Security bisa menjadi undangan langsung bagi datangnya tindak represif dan pengekangan kebebasan sipil. Boleh saja kita berdebat tentang konspesi Securitization yang sangat baik diterapkan di negara maju, namun untuk kasus Indonesia, khusunya Aceh, redefinisi konsep peradigma baru mengenai Security sangatlah penting. Itu sebabnya, mengapa saya merasa diharuskan untuk tidak menggunakan kata Security dalam tulisan ini.
Proses demokratisasi dan pembangunan di Aceh, mutlak ditopang oleh pembenahan di sektor keamanan. Luasnya cakupan dalam isu keamanan, terutama di wilayah dalam status pasca konflik, sangat terbuka untuk diterjemahkan menjadi upaya pengekangan sebagian hak-hak masyarakat sipil. Untuk itu, ada dua hal yang penting ditegaskan terkait isu keamanan di Aceh: pertama, segala upaya penciptaan keamanan untuk mendukung transisi politik Aceh ke arah demokratisasi dan pembangunan yang berkeadilan, harus mengutamakan pemenuhan Human Peace (kesejahteraan ekonomi, ketahanan pangan, jaminan kesehatan, kelesteraian lingkungan, kedaulatan individu, keamanan komunitas, politik demokratis dll.). Kedua, upaya penegakan kemanan harus menegaskan persoalan demiliterisasi, sebagai mandat dari perjanjian Helsinki. Ini sangat penting, mengingat dalam era demokratisasi yang masih baru seperti di Aceh, gurita militerisasi masih berakar dengan kuat, secara kultural maupun secara struktural. Dalam makna ini, penegakan supermasi sipil atas alat-alat kekerasan negara seperti militer, dan secara nasional ikut mendorong terciptanya tentara professional yang tidak berbisnis dan tidak berpolitik, tidak terelakkan. Mendorong kontrol dari lembaga-lembaga politik dan birokrasi lokal atas kehadiran alat pertahanan negara, juga menjadi hal yang sangat mendasar dalam konteks Aceh pasca konflik.
Dalam konteks pemenuhan Human Peace di Aceh, terdapat beberapa agenda mendesak yang musti dilakukan. Pertama, pemantauan gerakan masyarakat sipil terhadap agenda reintegrasi, dimana program yang telah berjalan seharusnya tepat sasaran dan terencana secara sistematis, terwujudnya akuntabilitas dan transparansi pengelolaan dan penyaluran dana reintegrasi, serta mendorong inisiatif lokal dalam program reintegrasi. Hal ini sangat penting untuk dilakukan, mengingat program reintegrasi adalah program yang bersifat sangat teknis dan kontekstual. Resep keberhasilan Afrika Selatan, misalnya, tidak dapat dijadikan satu-satunya model acuan bagi pelaksanaan reintegrasi di Aceh. Inisiatif lokal dengan melibatkan berbagai elemen di Aceh, adalah kemestian yang tak terhindarkan.
Kedua, Adanya mekanisme yang tetap dan menjamin keadilan semua pihak dalam penyelesaian perselisihan di Aceh. Dalam hal ini, mekanisme CoSA dan sejenisnya, masih layak dipertahankan, guna menjaga keberlanjutan proses perdamaian di Aceh pasca keluarnya AMM dari Aceh. Untuk itu, juga perlu monitoring dari kelompok masyarakat sipil untuk memantau kasus-kasus perselisihan yang belum sempat diselesaikan oleh AMM, sekaligus memantau kasus-kasus perselisihan pasca AMM. Masuknya Interpeace tentu tidak akan seefektif AMM yang mendapat mandat dari MoU. Namun, sebagai aktor internasional yang ingin berkonstribusi pada keberlanjutan proses perdamaian di Aceh, Interpeace harus mendorong inisiatif lokal untuk memulai tradisi komunikasi yang efektif antara semua pihak, terutama antara GAM dengan pemerintah RI. Sehingga kata damai kemudian bisa menjadi identitas baru masyarakat Aceh.
Ketiga, suksesnya pelaksanaan pilkada di Aceh, Desember 2006 menjadi tonggak demokratisasi di Aceh. Pasca terpilihnya gubernur dan bupati di NAD, komunikasi politik menjadi sangat dibutuhkan. Perbedaan latar belakang politik antara GAM dan non GAM, mestinya telah menjadi masa lalu. Tugas bersama yang terpenting kini, bagaimana mendorong kesejahteraan ekonomi di Aceh. Satu hal yang mungkin timbul adalah menguatnya kembali isu pemekaran wilayah di ALA-ABAS. Untuk itu pendekatan politik dan penghormatan terhadap nilai-nilai demokrasi, harus didorong melalui basis komunitas. Pilkada Aceh juga telah meruntuhkan “mistik” politik nasional. Partai-partai nasional yang memiliki representasi di DPR, ternyata tidak memiliki basis konstituen massa.
Keempat, perlu segera diwujudkan upaya Pengadilan terhadap kasus pelanggaran HAM masa lalu serta, upaya rekonsiliasi bagi korban pelanggaran HAM. Ini dimaksudkan demi terwujudnya mandat dari MoU Helsinki, dan upaya integrasi sosial yang abadi di Aceh. Disamping itu, dengan dituntaskannya seluruh kasus pelanggaran HAM masa lalu, Aceh bisa berbenah diri menyusun langkah pembangunannya tanpa harus ditarik-tarik oleh masa lalu. Dalam perkembangan terakhir di Aceh, beberapa pihak secara sengaja telah melakukan dekonstruksi wacana tentang Rekonsiliasi. Entah untuk menyederhanakan masalah atau untuk menghemat dana yang harusnya dikucurkan, dekonstruksi telah menempatkan Rekonsiliasi sebagai program post conflict, semata-mata sebagai media untuk saling memaafkan dan melupakan masa lalu sembari mengabaikan hak-hak korban pelanggaran HAM yang dilindungi dalam konvensi PBB mengenai Hak Asasi Manusia.
Kelima, tugas paling medesak dari Gubernur/wakil gubernur dan Bupati/wakil bupati yang baru, adalah melakukan Reformasi Birokrasi. Logika bahwa pertumbuhan ekonomi harus didorong melalui peningkatan sumberdaya manusia tidaklah berada di ruang kosong. Masih ada persoalan lain yakni, seberapa siap institusi atau birokrasi pemerintah mampu membuka jalan dan menjamin akses masyarakat terhadap birokrasi, dan sejauhmana birokrasi mampu menyediakan pelayanan yang prima, efektif dan efesien. Birokrasi adalah lawan dari pelayanan yang cepat, maka dari itu sangat dibutuhkan sistem birokrasi yang sesingkat-singkatnya. Jejaring birokrasi yang panjang dan berbelit terbukti hanya melanggengkan tradisi elitisme dan budaya korup sehingga, membebani anggaran rutin pemerintah daerah.
Keenam, solusi pertumbuhan ekonomi hendaknya tidak dijawab dengan eksploitasi sumberdaya alam dan investasi padat modal. Yang lebih penting, bagaimana menekan dan mengontrol angka pertumbuhan penduduk sehingga, laju pertumbuhan ekonomi bisa diperkirakan secara pasti dapat memenuhi Indikator Pembangunan Manusia (IPM) di Aceh, tanpa harus mengeluarkan biaya yang terlalu besar untuk menjaga kelestarian lingkungan. Dalam pola pengembangan sumberdaya manusia, juga perlu mempertimbangkan metode ”zero growth” untuk pegawai negeri sipil (PNS), termasuk kepolisian dll. Hal ini dilakukan agar bisa mengukur kapan rekruitmen harus dihentikan dan kapan dibutuhkan, optimalisasi sumberdaya yang ada lebih baik dilakukan daripada harus membebani anggaran secara tidak efektif.
Ketujuh, pemerintah Aceh juga harus memperhatikan beberapa hal yang selama ini menjadi kendala di berbagai daerah di Indonesia mengenai penyusunan APBD. Di sini, ada beberapa hal penting yang patut diperhatikan: (1), terjadinya pengalokasian anggaran yang tidak simetris dengan problem nyata yang dihadapi; (2), sebagian besar dana APBD hanya untuk biaya birokrasi, hal ini tercermin dari alokasi anggaran rutin yang selalu lebih besar dari anggaran untuk sektor publik. Dibeberapa daerah, anggaran rutin dan biaya birokrasi lainnya mencapai angka 70-80 persen; (3), APBD menjadi sumber dana oligarki parlemen lokal. Dalam banyak kasus, APBD menjadi cerminan kepentingan dari pihak-pihak tertentu dimana, pemerintah dan DPRD secara bersama-sama melakukan tawar menawar program. Misalnya, dalam soal pembengkakan (mark up) nilai anggaran pembangunan fisik; (4), kesenjangan antara pendapatan aktual dengan potensinya. Tidak efektifnya birokrasi merupakan penyebab utama tidak mampunya pemerintah memaksimalkan potensi dalam pemasukan pendapatan daerah misalnya, dalam hal reklame, iklan, pajak dll. Seringkali pencapaian hanya berkisar antara 30-50 persen dari yang harusnya diperoleh; (5), penyusutan aset pemerintah daerah. Hal ini banyak disebabkan oleh proses lelang yang tidak transparan dan tidak adil. Dalam beberap kasus, terutama mobil dinas, seringkali pejabat lama membeli dengan proses lelang kurang dari 50 persen lebih murah dari harga seharusnya.
Kedelapan, penguatan masyarakat sipil melalui pendekatan struktural dan sosiokultural. Pendekatan struktural dilakukan dengan cara mengadvokasikan berbagai instrumen hukum dan kelembagaan yang memberi peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi, mengakses informasi, dan mengontrol akuntabilitas pemerintahan. Instrumen hukum yang angat penting untuk menjamin partisipasi dan akuntabilitas anggaran adalah undang-undang/qanun mengenai partisipasi masyarakat dan undang-undang/qanun mengenai hak warga untuk mendapatkan informasi mengenai perencanaan dan pelaksanaan anggaran. Sedangkan instrumen kelembagaan yang penting adalah penumbuhan organisasi lokal dan fungsional yang dapat menampung aspirasi dan menyalurkan kepentingan masyarakat lokal/fungsional sebagai konstituennya. Dengan mengoptimalkan kedua instrumen ini, kemungkinan terjadinya wacana paralel dapat dihindari. Sedangkan pendekatan sosiokultural dilakukan melalui proses pendidikan, pengorganisasian, dan pendampingan masyarakat agar masyarakat warga dapat mengakselerasi aspirasi dan kepentingan mereka.
Kesembilan, mendorong institusi pendidikan tinggi di Aceh (dayah, universitas dll) untuk menjadi inisiator solusi masa depan Aceh. Konflik berkepanjangan, tsunami, dan proses perdamaian, seharusnya menjadikan lembaga pendidikan di Aceh bisa melakukan banyak inisiatif akademik untuk mempromosikan dan menjadi pioneer dalam issue conflict resolution, disaster management dan peace building, sangat disayangkan jika trend yang sedang berlangsung dan mendapat perhatian begitu besar pihak internasional, tidak dimanfaatkan oleh para akademisi Aceh untuk mendirikan jurusan baru atau setidaknya center studi tentang issue-issue tersebut.
Penutup
Aceh telah membuktikan diri sejak era kolonialisme hingga proses perdamaian Helsinki, dan tentu saja yang terbaru adalah melewati Pilkada dengan damai dan sukses. Aceh juga telah menginspirasi banyak kepala untuk berpikir ulang tentang berbagai hal yang selama ini dianggap pakem dan baku. Tidak berlebihan jika Aceh, selayaknya kembali mendorong alternatif-alternatif dan terobosan-terobosan baru dalam hal pembangunan daerah, sesuatu yang khas Aceh.
Another Aceh is Possible!***
Referensi:
Mohammed Hamzah, “Introduction to Disaster Management,” Cranfield University UK, 2006.
http://www.urbanpoor.or.id/content/view/215/48/
http://www.ti.or.id/news/details.php?newsID=1133
http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacaberita&beritaid=22375&rubrik=2&topik=11
Saiful Haq, Koordinator Peneliti untuk Riset Security, Democracy and Development Nexus
Tulisan ini sebelumnya merupakan executive summary hasil riset Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI) mengenai Security, Democracy and Development Nexus, dibawakan pada tanggal 11 Januari 2007, di SwissBel Hotel Banda Aceh, dengan judul HUMAN PEACE, Paradigma Baru Pembangunan di Aceh.
di Aceh, AJMI 2007.
Dalam beberapa tahun terakhir, kalangan pekerja kemanusiaan telah belajar menerima hubungan tak terpisahkan antara keamanan dan pembangunan. Lembaga dunia seperti Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), telah lama mengakui sulitnya menerapkan program-program pembangunan dalam lingkungan yang tidak aman. Karena itu, badan-badan PBB kemudian mengadopsi kebijakan pembangunan ‘security first’ yang mengakui, tanpa pencapaian keamanan pada level tertentu tidak mungkin mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Sebaliknya, tanpa pembangunan sosial-ekonomi yang bermakna, pembangunan dapat terjerembab ke dalam kesenjangan, konflik dan krisis. Dengan demikian, penciptaan sebuah lingkungan yang aman bagi pembangunan, tidak dapat diselesaikan selama masyarakatnya masih dibayang-bayangi senjata.
Dalam konteks ini menjadi penting mengidentifikasi dan menelusuri konsep-konsep yang menjadi dinamika di Aceh pasca konflik seperti, security (keamanan), human security (keamanan insani), securitization (proses pembahasan suatu masalah sehingga diterima menjadi masalah keamanan), security development nexus (perselibatan keamanan dan pembangunan), keamanan dan demokrasi, serta tata kelola sektor keamanan (security sector governance). Meski tidak menyeluruh, tulisan ini diharapkan dapat menjadi pengantar untuk memahami keamanan dan konsep-konsep yang terkait dengannya ketika, kita berbicara tentang keamanan dalam konteks negara berkembang dan tengah menjalani proses demokratisasi. Aceh merupakan kasus menarik dalam tiga hal tersebut.
Berakhirnya konflik di Aceh serta bencana Tsunami yang menelan korban ratusan ribu jiwa pada Desember 2004, menunjukkan dua hal yang menjadi masalah internasional: pertama, persoalan konflik internal; kedua, bencana alam. Perlu dicatat, dalam rentang tahun 1900 hingga 1999, penyebab utama kematian manusia di dunia disebabkan oleh konflik politik, dengan jumlah korban meninggal mencapai 270.700 ribu jiwa, atau 62,2% dari seluruh jumlah kematian; bencana alam dalam rentang waktu 99 tahun tersebut hanya menelan korban sekitar 10 juta jiwa atau hanya 2,4% dari seluruh jumlah korban. Jumlah ini merupakan sebab kematian terendah dibandingkan jenis bencana lainnya. Hal lain yang menarik, kematian yang disebabkan oleh bencana kelaparan dan kekeringan, menempati urutan kedua. Pasca Tsunami, jumlah penduduk miskin di Aceh meningkat tajam dari angka 1,6 juta orang menjadi 2,2 juta orang , menurut laporan Transparency Internasional (TI), angka jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 28,5% dari total jumah penduduk. Berbekal angka ini, Aceh melesat sebagai propinsi termiskin keempat di Indonesia.
Masalah perkotaan juga menjadi penyebab kematian yang cukup tinggi di dunia. Di dalamnya termasuk pengelolaan infrastruktur fisik seperti, jalur transportasi, jalan darat, kereta api dan angkutan udara. Di Aceh contohnya, keadaan jalan yang bisa dikatakan baik hanya sekitar 20 persen, selebihnya dalam kondisi rusak sedang dan rusak berat. Angka kecelakaan lalu lintas di kota Banda Aceh juga terbilang besar. Tercatat sebanyak 752 kasus kecelakaan, dengan jumlah korban jiwa 1.035 orang meninggal dunia, 1.573 luka berat dan 2.294 luka ringan sepanjang tahun 2005-2006.
Merujuk kondisi di atas, konteks demokratisasi Aceh pasca Tsunami dan konflik berkepanjangan, pada akhirnya bukan sekadar masalah kebebasan politik, pemilihan umum, partai politik, atau lembaga perwakilan. Tapi, juga berkaitan erat dengan desentralisasi sumberdaya ekonomi dan sumberdaya politik, dari kontrol pusat ke pemerintahan Aceh di bawah payung nota kesepahaman (MoU) dan Undang-undang Pemerintahan Aceh. Pada saat bersamaan, demokratisasi di tingkat lokal propinsi Nangroe Aceh Darussalam, juga menjadi sebuah prasyarat dan konsekuensi dari berpindahnya kewenangan pusat ke tangan rakyat Aceh.
Human Peace sebagai Paradigma Baru
Konsep Human Peace, sebenarnya diadopsi dari konsep Human Security. Dalam konteks Indonesia, penggunaan kata Security bisa menjadi undangan langsung bagi datangnya tindak represif dan pengekangan kebebasan sipil. Boleh saja kita berdebat tentang konspesi Securitization yang sangat baik diterapkan di negara maju, namun untuk kasus Indonesia, khusunya Aceh, redefinisi konsep peradigma baru mengenai Security sangatlah penting. Itu sebabnya, mengapa saya merasa diharuskan untuk tidak menggunakan kata Security dalam tulisan ini.
Proses demokratisasi dan pembangunan di Aceh, mutlak ditopang oleh pembenahan di sektor keamanan. Luasnya cakupan dalam isu keamanan, terutama di wilayah dalam status pasca konflik, sangat terbuka untuk diterjemahkan menjadi upaya pengekangan sebagian hak-hak masyarakat sipil. Untuk itu, ada dua hal yang penting ditegaskan terkait isu keamanan di Aceh: pertama, segala upaya penciptaan keamanan untuk mendukung transisi politik Aceh ke arah demokratisasi dan pembangunan yang berkeadilan, harus mengutamakan pemenuhan Human Peace (kesejahteraan ekonomi, ketahanan pangan, jaminan kesehatan, kelesteraian lingkungan, kedaulatan individu, keamanan komunitas, politik demokratis dll.). Kedua, upaya penegakan kemanan harus menegaskan persoalan demiliterisasi, sebagai mandat dari perjanjian Helsinki. Ini sangat penting, mengingat dalam era demokratisasi yang masih baru seperti di Aceh, gurita militerisasi masih berakar dengan kuat, secara kultural maupun secara struktural. Dalam makna ini, penegakan supermasi sipil atas alat-alat kekerasan negara seperti militer, dan secara nasional ikut mendorong terciptanya tentara professional yang tidak berbisnis dan tidak berpolitik, tidak terelakkan. Mendorong kontrol dari lembaga-lembaga politik dan birokrasi lokal atas kehadiran alat pertahanan negara, juga menjadi hal yang sangat mendasar dalam konteks Aceh pasca konflik.
Dalam konteks pemenuhan Human Peace di Aceh, terdapat beberapa agenda mendesak yang musti dilakukan. Pertama, pemantauan gerakan masyarakat sipil terhadap agenda reintegrasi, dimana program yang telah berjalan seharusnya tepat sasaran dan terencana secara sistematis, terwujudnya akuntabilitas dan transparansi pengelolaan dan penyaluran dana reintegrasi, serta mendorong inisiatif lokal dalam program reintegrasi. Hal ini sangat penting untuk dilakukan, mengingat program reintegrasi adalah program yang bersifat sangat teknis dan kontekstual. Resep keberhasilan Afrika Selatan, misalnya, tidak dapat dijadikan satu-satunya model acuan bagi pelaksanaan reintegrasi di Aceh. Inisiatif lokal dengan melibatkan berbagai elemen di Aceh, adalah kemestian yang tak terhindarkan.
Kedua, Adanya mekanisme yang tetap dan menjamin keadilan semua pihak dalam penyelesaian perselisihan di Aceh. Dalam hal ini, mekanisme CoSA dan sejenisnya, masih layak dipertahankan, guna menjaga keberlanjutan proses perdamaian di Aceh pasca keluarnya AMM dari Aceh. Untuk itu, juga perlu monitoring dari kelompok masyarakat sipil untuk memantau kasus-kasus perselisihan yang belum sempat diselesaikan oleh AMM, sekaligus memantau kasus-kasus perselisihan pasca AMM. Masuknya Interpeace tentu tidak akan seefektif AMM yang mendapat mandat dari MoU. Namun, sebagai aktor internasional yang ingin berkonstribusi pada keberlanjutan proses perdamaian di Aceh, Interpeace harus mendorong inisiatif lokal untuk memulai tradisi komunikasi yang efektif antara semua pihak, terutama antara GAM dengan pemerintah RI. Sehingga kata damai kemudian bisa menjadi identitas baru masyarakat Aceh.
Ketiga, suksesnya pelaksanaan pilkada di Aceh, Desember 2006 menjadi tonggak demokratisasi di Aceh. Pasca terpilihnya gubernur dan bupati di NAD, komunikasi politik menjadi sangat dibutuhkan. Perbedaan latar belakang politik antara GAM dan non GAM, mestinya telah menjadi masa lalu. Tugas bersama yang terpenting kini, bagaimana mendorong kesejahteraan ekonomi di Aceh. Satu hal yang mungkin timbul adalah menguatnya kembali isu pemekaran wilayah di ALA-ABAS. Untuk itu pendekatan politik dan penghormatan terhadap nilai-nilai demokrasi, harus didorong melalui basis komunitas. Pilkada Aceh juga telah meruntuhkan “mistik” politik nasional. Partai-partai nasional yang memiliki representasi di DPR, ternyata tidak memiliki basis konstituen massa.
Keempat, perlu segera diwujudkan upaya Pengadilan terhadap kasus pelanggaran HAM masa lalu serta, upaya rekonsiliasi bagi korban pelanggaran HAM. Ini dimaksudkan demi terwujudnya mandat dari MoU Helsinki, dan upaya integrasi sosial yang abadi di Aceh. Disamping itu, dengan dituntaskannya seluruh kasus pelanggaran HAM masa lalu, Aceh bisa berbenah diri menyusun langkah pembangunannya tanpa harus ditarik-tarik oleh masa lalu. Dalam perkembangan terakhir di Aceh, beberapa pihak secara sengaja telah melakukan dekonstruksi wacana tentang Rekonsiliasi. Entah untuk menyederhanakan masalah atau untuk menghemat dana yang harusnya dikucurkan, dekonstruksi telah menempatkan Rekonsiliasi sebagai program post conflict, semata-mata sebagai media untuk saling memaafkan dan melupakan masa lalu sembari mengabaikan hak-hak korban pelanggaran HAM yang dilindungi dalam konvensi PBB mengenai Hak Asasi Manusia.
Kelima, tugas paling medesak dari Gubernur/wakil gubernur dan Bupati/wakil bupati yang baru, adalah melakukan Reformasi Birokrasi. Logika bahwa pertumbuhan ekonomi harus didorong melalui peningkatan sumberdaya manusia tidaklah berada di ruang kosong. Masih ada persoalan lain yakni, seberapa siap institusi atau birokrasi pemerintah mampu membuka jalan dan menjamin akses masyarakat terhadap birokrasi, dan sejauhmana birokrasi mampu menyediakan pelayanan yang prima, efektif dan efesien. Birokrasi adalah lawan dari pelayanan yang cepat, maka dari itu sangat dibutuhkan sistem birokrasi yang sesingkat-singkatnya. Jejaring birokrasi yang panjang dan berbelit terbukti hanya melanggengkan tradisi elitisme dan budaya korup sehingga, membebani anggaran rutin pemerintah daerah.
Keenam, solusi pertumbuhan ekonomi hendaknya tidak dijawab dengan eksploitasi sumberdaya alam dan investasi padat modal. Yang lebih penting, bagaimana menekan dan mengontrol angka pertumbuhan penduduk sehingga, laju pertumbuhan ekonomi bisa diperkirakan secara pasti dapat memenuhi Indikator Pembangunan Manusia (IPM) di Aceh, tanpa harus mengeluarkan biaya yang terlalu besar untuk menjaga kelestarian lingkungan. Dalam pola pengembangan sumberdaya manusia, juga perlu mempertimbangkan metode ”zero growth” untuk pegawai negeri sipil (PNS), termasuk kepolisian dll. Hal ini dilakukan agar bisa mengukur kapan rekruitmen harus dihentikan dan kapan dibutuhkan, optimalisasi sumberdaya yang ada lebih baik dilakukan daripada harus membebani anggaran secara tidak efektif.
Ketujuh, pemerintah Aceh juga harus memperhatikan beberapa hal yang selama ini menjadi kendala di berbagai daerah di Indonesia mengenai penyusunan APBD. Di sini, ada beberapa hal penting yang patut diperhatikan: (1), terjadinya pengalokasian anggaran yang tidak simetris dengan problem nyata yang dihadapi; (2), sebagian besar dana APBD hanya untuk biaya birokrasi, hal ini tercermin dari alokasi anggaran rutin yang selalu lebih besar dari anggaran untuk sektor publik. Dibeberapa daerah, anggaran rutin dan biaya birokrasi lainnya mencapai angka 70-80 persen; (3), APBD menjadi sumber dana oligarki parlemen lokal. Dalam banyak kasus, APBD menjadi cerminan kepentingan dari pihak-pihak tertentu dimana, pemerintah dan DPRD secara bersama-sama melakukan tawar menawar program. Misalnya, dalam soal pembengkakan (mark up) nilai anggaran pembangunan fisik; (4), kesenjangan antara pendapatan aktual dengan potensinya. Tidak efektifnya birokrasi merupakan penyebab utama tidak mampunya pemerintah memaksimalkan potensi dalam pemasukan pendapatan daerah misalnya, dalam hal reklame, iklan, pajak dll. Seringkali pencapaian hanya berkisar antara 30-50 persen dari yang harusnya diperoleh; (5), penyusutan aset pemerintah daerah. Hal ini banyak disebabkan oleh proses lelang yang tidak transparan dan tidak adil. Dalam beberap kasus, terutama mobil dinas, seringkali pejabat lama membeli dengan proses lelang kurang dari 50 persen lebih murah dari harga seharusnya.
Kedelapan, penguatan masyarakat sipil melalui pendekatan struktural dan sosiokultural. Pendekatan struktural dilakukan dengan cara mengadvokasikan berbagai instrumen hukum dan kelembagaan yang memberi peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi, mengakses informasi, dan mengontrol akuntabilitas pemerintahan. Instrumen hukum yang angat penting untuk menjamin partisipasi dan akuntabilitas anggaran adalah undang-undang/qanun mengenai partisipasi masyarakat dan undang-undang/qanun mengenai hak warga untuk mendapatkan informasi mengenai perencanaan dan pelaksanaan anggaran. Sedangkan instrumen kelembagaan yang penting adalah penumbuhan organisasi lokal dan fungsional yang dapat menampung aspirasi dan menyalurkan kepentingan masyarakat lokal/fungsional sebagai konstituennya. Dengan mengoptimalkan kedua instrumen ini, kemungkinan terjadinya wacana paralel dapat dihindari. Sedangkan pendekatan sosiokultural dilakukan melalui proses pendidikan, pengorganisasian, dan pendampingan masyarakat agar masyarakat warga dapat mengakselerasi aspirasi dan kepentingan mereka.
Kesembilan, mendorong institusi pendidikan tinggi di Aceh (dayah, universitas dll) untuk menjadi inisiator solusi masa depan Aceh. Konflik berkepanjangan, tsunami, dan proses perdamaian, seharusnya menjadikan lembaga pendidikan di Aceh bisa melakukan banyak inisiatif akademik untuk mempromosikan dan menjadi pioneer dalam issue conflict resolution, disaster management dan peace building, sangat disayangkan jika trend yang sedang berlangsung dan mendapat perhatian begitu besar pihak internasional, tidak dimanfaatkan oleh para akademisi Aceh untuk mendirikan jurusan baru atau setidaknya center studi tentang issue-issue tersebut.
Penutup
Aceh telah membuktikan diri sejak era kolonialisme hingga proses perdamaian Helsinki, dan tentu saja yang terbaru adalah melewati Pilkada dengan damai dan sukses. Aceh juga telah menginspirasi banyak kepala untuk berpikir ulang tentang berbagai hal yang selama ini dianggap pakem dan baku. Tidak berlebihan jika Aceh, selayaknya kembali mendorong alternatif-alternatif dan terobosan-terobosan baru dalam hal pembangunan daerah, sesuatu yang khas Aceh.
Another Aceh is Possible!***
Referensi:
Mohammed Hamzah, “Introduction to Disaster Management,” Cranfield University UK, 2006.
http://www.urbanpoor.or.id/content/view/215/48/
http://www.ti.or.id/news/details.php?newsID=1133
http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacaberita&beritaid=22375&rubrik=2&topik=11
Saiful Haq, Koordinator Peneliti untuk Riset Security, Democracy and Development Nexus
Tulisan ini sebelumnya merupakan executive summary hasil riset Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI) mengenai Security, Democracy and Development Nexus, dibawakan pada tanggal 11 Januari 2007, di SwissBel Hotel Banda Aceh, dengan judul HUMAN PEACE, Paradigma Baru Pembangunan di Aceh.
di Aceh, AJMI 2007.
Title : Paradigma Baru Pembangunan Aceh ► SEOer Mendem ►
URL : https://seomendem.blogspot.com/2007/05/paradigma-baru-pembangunan-aceh_14.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Paradigma Baru Pembangunan Aceh ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.