Sebuah Bangsa hanya Dibentuk dengan Sengaja (2-habis) - B. Herry-Priyono
Tiga Teka-teki Strategi
Dalam ilmu-ilmu manusia, pertanyaan seperti itu telah lama menjadi hantu. Dan itu berakar dari tidak terjelaskannya banyak teka-teki yang tersembunyi dalam tindakan dan perilaku manusia, individual maupun kolektif, serta kaitan antara tindakan individual dan kolektif. Dalam bahasa sketsa ini, pertanyaannya sebagai berikut: apa yang membuat tindakan bebas tiap-tiap warga yang tidak dimaksudkan untuk membentuk bangsa pada akhirnya menciptakan Indonesia sebagai bangsa? Meskipun dengan gagap, perkenankan saya mengajukan tipologi masalah yang mungkin dapat membantu kita untuk menggagas apa yang perlu dilakukan ke depan.
ahref name='more'>
Tipologi pertama, pada akhirnya argumen fundamentalisme pasar tentang proyek Indonesia mendasarkan diri pada pengandaian bahwa “Indonesia dapat terbentuk dengan sendirinya meskipun tidak dimaksudkan” (unintended but realised). Ilustrasi berikut ini mungkin berguna. Para petani setiap hari pergi ke sawah untuk menghasilkan panen yang dapat menghidupi keluarga, dan dalam proses bercocok-tanam itu (entah karena apa, mungkin oleh “tangan ajaib”) terbentuklah Indonesia. Atau juga, perusahaan-perusahaan sibuk melakukan transaksi untuk menaikkan tingkat laba, dan dalam proses itu (entah karena apa, mungkin oleh “tangan ajaib”) terbentuklah Indonesia sebagai bangsa. Dengan demikian, terbentuknya Indonesia sebagai bangsa sebenarnya tidak pernah dimaksudkan, tetapi terjadi sebagai hasil-sampingan.
Segera terlihat keganjilan dalam pola di atas. Bukankah lalu tidak ada gunanya kita menghendaki (mencita-citakan) pembentukan Indonesia sebagai bangsa? Sebab, ia akan terjadi entah karena apa. Itu sebenarnya mirip dengan meyakini bahwa Tuhan atau alam akan menciptakan Indonesia sebagai bangsa – sebuah absurditas! Tentu tetap terbuka probabilitas Indonesia dapat terbentuk sebagai bangsa, tetapi begitu pula probabilitas bahwa Indonesia tidak akan terbentuk sebagai bangsa. Saya kira tidak ada alasan apapun untuk menerima keyakinan tipe ini.
Tipologi kedua, berbagai keluh-kesah dan kerinduan agenda nasionalis yang semakin kuat dewasa ini pada akhirnya mengandaikan bahwa “Kita mencita-citakan dan menghendaki Indonesia terbentuk sebagai bangsa, akan tetapi tidak/belum juga terjadi” (intended but unrealised). Setidaknya ada dua kemungkinan. Meminjam ungkapan Ben Anderson di atas, itu lantaran “ketercapaian [proyek Indonesia] tidak pernah penuh”, dan karena itu pembentukan bangsa Indonesia juga akan selalu belum selesai. Atau, ada yang tolol pada strategi menghendaki sehingga apa yang dikehendaki tidak/belum terwujud. Karena “strategi menghendaki” itu tercermin dalam berbagai kebijakan publik (ekonomi, politik, hukum, budaya, atau pendidikan), maka “ketololan strategi” itu mungkin terletak dalam kebijakan publik yang tidak cukup sengaja dikelola bagi pembentukan Indonesia sebagai bangsa.
Dari khasanah sejarah pemikiran, mekanisme pasar dipandang dapat membantu pembentukan tatanan sosial (baca: Indonesia) jika, dan hanya jika, terdapat instansi yang mengelola anarkisme pasar itu serta mengarahkannya bagi pembentukan tatanan sosial. Ambillah contoh gagasan Bernard Mandeville (1670-1733), seorang dokter-pemikir Belanda yang berkarya di London. Setelah panjang-lebar merayakan manfaat pengejaran kepentingan-diri setiap orang, pada akhirnya ia menulis juga bahwa tatanan sosial bisa terbentuk dari anarkisme pasar hanya jika semua itu dikelola melalui “manajemen cerdik politisi yang tangkas” (the dexterous management of a skillful politician). Dalam bahasa tema kita, apa yang dimaksud dengan istilah “politisi tangkas” tersebut adalah kebijakan publik instansi pemerintah yang dengan sengaja mengelola dan mengarahkan berlaksa-laksa tindakan bebas para warga negara ke arah pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Dalam garis pemikiran seperti itu pula rupanya maksud Adam Smith ketika ia menulis tiga tugas pemerintah, dan tugas ketiga adalah menciptakan “prasarana publik dan tata kelembagaan publik”.
Dalam banyak hal, apa yang disebut sebagai “ketololan strategi” mungkin berakar dari cuaca ideologis yang meyakini bahwa kebijakan publik harus dibuat dan diarahkan terutama untuk menjaga kinerja anarkisme pasar, dan tidak perlu dikelola/diarahkan secara sengaja untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa. Pokok ini sentral, dan antara keduanya terdapat perbedaan tajam. Pada yang pertama, kebijakan publik disusun dan dilaksanakan terutama untuk membantu setiap orang agar mencapai kepentingan-dirinya. Namun sesungguhnya kebijakan seperti itu tidak layak disebut “publik”. Sedangkan pada yang kedua, kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan terutama dengan mata-sasaran untuk mengelola arus berbagai pengejaran kepentingan-diri individual para warga agar mengarah pada pembentukan Indonesia sebagai bangsa.
Pada jenis kebijakan publik yang kedua inilah terletak agenda nasionalis. Agenda nasionalis tidak pernah menolak pentingnya pengejaran kepentingan-diri warga, tetapi mengelola berlaksa-laksa pengejaran kepentingan-diri itu bagi pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Tidak lebih, tidak kurang. Maka, agenda nasionalis tidak pernah menolak genius kinerja ekonomi pasar. Apa yang dituntut agenda nasionalis adalah agar kinerja ekonomi pasar secara sengaja dikelola bagi pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Bila regulasi menjadi perangkatnya, mengapa tidak? Tetapi lain kali mungkin perangkat itu berupa de-regulasi. Dengan demikian cukup pasti pilihan regulasi ataupun de-regulasi bukanlah terutama dipahami dari kacamata pelaku anarkisme pasar, melainkan dari kacamata pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Lugasnya, ekonomi pasar dipakai untuk membentuk Indonesia, dan bukan Indonesia dipakai untuk pengejaran kepentingan-diri para pelaku anarkisme pasar.
Tipologi ketiga, agenda nasionalis pada akhirnya bisa diringkas sebagai agenda begini: “Kita menghendaki Indonesia terbentuk sebagai bangsa, dan kita menghendaki cita-cita itu terwujud” (intended and realised). Tentu saja, dari dua tipologi sebelumnya kita segera melihat bahwa tekad, kehendak, intensionalitas maupun kesengajaan bukanlah penjamin bahwa Indonesia akan terbentuk sebagai bangsa. Di awal tulisan ini sudah disebut bahwa terbentuknya bangsa bukan sekadar hasil kehendak para nasionalis (push factor), melainkan juga hasil momentum realpolitik dan cuaca eksternal (pull factor). Masalahnya, apa yang disebut sebagai “kekeliruan strategi” lebih sering merupakan akibat ketertundukan kita pada permainan cuaca eksternal – dalam hal ini cuaca ideologis.
Maka dapat dibayangkan terjadinya gejala berikut. Kekeliruan strategi terbentuk dari ketertundukan kita pada cuaca angin ideologis (entah itu fundamentalisme pasar ataupun fundamentalisme agama), dan itu masih ditambah lagi dengan kemiskinan kehendak, intensionalitas atau kesengajaan untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa. Gejala itu dapat disebut malapetaka ganda: sudah keliru dalam hal strategi, dan masih ditambah lagi dengan kemiskinan kehendak.
Justru karena itulah adanya daya intensionalitas dan kesengajaan untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa dapat dilihat sebagai faktor kunci. Kemudian agenda itu dapat digunakan sebagai pisau-bedah untuk mengoreksi “kekeliruan strategi”. Dalam kalkulus taktis, lebih baiklah kita punya intensionalitas dan kesengajaan, sebab dengan itu lalu setidaknya kita punya tolok-ukur pegangan (yardstick) untuk menimbang sejauh mana berbagai kebijakan publik sudah atau belum mengarah pada pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Hanya dengan itu, apa yang dicita-citakan (intended) punya probabilitas untuk terwujud (realised).
Dari tiga tipologi di atas, cukup pasti bahwa agenda nasionalis tidak punya urusan dengan sikap anti-asing atau sweeping. Agenda nasionalis menunjuk pada keterarahan dalam rupa berbagai kebijakan publik yang secara intensional dan sengaja dikelola bagi pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Para pengritik yang memotret agenda nasionalis sebagai agenda sempit dan menjijikkan biasanya menyamakan agenda nasionalis dengan keganasan tribalisme komunal. Selain merupakan kesesatan berpikir, kritik tersebut juga disebabkan karena tribalisme komunal dalam wajah kawanan ganas para fundamentalis agama selalu suka berteriak lantang bahwa tuntutan mereka adalah agenda nasionalis. Sebagaimana ditunjukkan Gellner, negara-bangsa bukan tribalisme-komunal maupun universalisme-atomik. Negara-bangsa adalah modus koordinasi tatanan politik tersendiri yang sedang mencari kemungkinan realisasinya bagi hidup bersama. Koordinasi tatanan hidup-bersama memang tidak harus berbentuk ‘negara-bangsa’, tetapi koordinasi agenda nasionalis dalam tata ‘negara-bangsa’ juga sudah dan akan punya kemungkinan menjadi modus penataan itu.
Cuma, apa kaitan semua itu dengan Pancasila?
Pancasila dalam Agenda Nasionalis
Dari berbagai pokok ringkas di atas, soalnya bukan apakah agenda nasionalis baik atau buruk, melainkan tolok-ukur dan panduan ideologis apa (ideological yardstick) yang dipakai oleh agenda nasionalis untuk membentuk ataupun membarui Indonesia sebagai bangsa. Pada titik inilah saya kira terletak sentralitas Pancasila. Meminjam bahasa Ben Anderson, Pancasila adalah medium dalam dan melalui mana kita “mereka-bayangkan” (imagining) serta menghendaki bangsa Indonesia seperti apa yang kita inginkan. Kata “ingin” berarti bahwa Pancasila adalah normatif (cita-cita). Karena cita-cita ditetapkan di awal dan bukan di akhir, ia juga dasar pemandu ideologis bagi pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Jika Pancasila terasa tidak praktis, jawabannya sederhana: tak ada cita-cita yang praktis. Ia dimaksud sebagai pandu ideologis bagi pembuatan dan pelaksanaan semua kebijakan publik dalam membentuk Indonesia sebagai bangsa. Pada akhirnya, apa yang praktis bukan ‘Indonesia’ dan ‘Pancasila’, tetapi kebijakan-kebijakan publik yang disusun dan dilaksanakan berdasarkan Pancasila. Hanya dengan itu cita-cita membentuk Indonesia sebagai bangsa punya kemungkinan perwujudannya. Apabila ia belum juga terwujud, itu juga lantaran ekspektasi kita selalu mengembang. Sebuah cita-cita tidak batal hanya karena belum terjadi.
Mengapa lima sila? Itulah yang dirumuskan oleh para leluhur pendiri Republik ini. Namun tentu saja jawaban seperti itu tidak terlalu berbeda dengan jawaban “karena kakek kita merumuskannya dalam lima sila”. Dan jawaban seperti itu tentu mudah patah. Pada akhirnya, lima sila itu rupanya merupakan lima keutamaan hidup-bersama (politik) yang dicita-citakan sebagai pandu ideologis bagi proses pemberadaban proses politik bangsa Indonesia. Rumusan lima sila yang ada sekarang mungkin sudah terdengar klise, sebab apa yang telah menjadi rutin dan biasa memang sering menumpulkan rasa. Namun apabila dirumuskan dengan lebih bebas dan ringkas, mungkin dapat kita peroleh rumusan berikut: (1) keterbukaan pada Yang Transenden; (2) kewargaan yang beradab; (3) bersatu dalam keragaman; (4) proses demokratis; dan (5) keadilan sosial.
Dipadatkan dalam rumusan itu, Pancasila tampil dalam kemilaunya. Ia bersifat civic dan bukan sektarian agama, rasial, ataupun kesukuan. Bahkan sila pertama samasekali tidak menunjukkan bunyi dan arti sektarian atau agamis apapun. Seperti dikatakan Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, itu hanya agar “tiap-tiap orangnja dapat menjembah Toehannja dengan tjara jang leloeasa”.
Satu catatan kehati-hatian perlu diajukan. Juga dengan semua pokok di atas, kaitan antara Pancasila dan agenda nasionalis masih belum sepenuhnya jelas. Kalau Indonesia adalah cita-cita, tentulah terbentuknya Indonesia selalu lolos dari keterwujudan empirik yang final. Bukankah lalu setiap agenda nasionalis selalu ibarat mengejar fatamorgana politik? Bagaimana kesulitan ini dapat dipahami? Dan bagaimana kemudian dijelmakan dalam pelaksanaan? Sebab, tanpa penjelmaan tentulah cita-cita membentuk Indonesia sebagai bangsa akan tetap tinggal seperti puncak gunung yang tak pernah didaki.
Dalam kesulitan itu tersembunyi sebuah teka-teki paradoksal. Paradoks itu kira-kira dapat dijelaskan begini. Sebuah tujuan atau cita-cita biasanya justru tidak tercapai apabila setiap detik kita disibukkan oleh kecemasan bagaimana mencapai cita-cita itu. Andaikan kebahagiaan (happiness) adalah cita-cita hidup. Silahkan bertanya setiap hari apakah Anda bahagia, maka Anda justru tidak akan bahagia. Meskipun lingkup individual tidak dapat diterapkan begitu saja pada persoalan di lingkup sosial, dalam arti tertentu argumen anarkisme pasar bagi pembentukan tatanan punya unsur kebenaran.
Artinya, silahkan bertanya tiap hari apakah Indonesia sebagai bangsa telah terbentuk, maka seluruh energi kita justru akan habis untuk mereka-reka kesesuaian tindakan dan kegiatan kita dengan terbentuk-tidaknya Indonesia. Dengan itu tidak terjadi optimalisasi tindakan dan kegiatan yang mengarah pada pembentukan Indonesia. Maka, yang lebih mungkin terjadi justru kita seperti burung pungguk yang setiap jam merindukan bulan (lunatic). Sebagaimana cita-cita kebahagiaan tidak akan tercapai dengan setiap hari melakukan kebahagiaan (karena ‘kebahagiaan’ bukan sesuatu yang secara empirik dapat dilakukan), begitu pula proyek cita-cita Indonesia tidak akan dicapai dengan setiap hari melakukan ‘Indonesia’ (sebab konsep ‘Indonesia’ bukan sesuatu yang secara empirik dapat dilakukan). Pokok ini punya implikasi jauh. Sebagaimana cita-cita ‘kebahagiaan’ hanya dapat dicapai dengan melakukan apa yang secara konkret membawa kita ke indikator ‘kebahagiaan’, begitu pula pembentukan Indonesia juga hanya dicapai dengan melakukan apa yang secara konkret menjadi indikator terbentuknya Indonesia sebagai bangsa.
Lima pokok yang terumus dalam Pancasila persis merupakan satuan indikator seperti itu. Apabila mencermati rumusan padat di atas, segera terlihat bahwa lima pokok itu melibatkan tindakan. Baik keadilan sosial maupun keterbukaan pada Yang Transenden, atau juga kewargaan yang beradab maupun proses demokratis, semua itu menunjuk pada proses tindakan dan gugus tindakan yang dilakukan para warga negara. Lugasnya, tidak perlulah para warga negara setiap hari bertanya apakah arus tindakannya mengarah pada pembentukan Indonesia sebagai bangsa, tapi cukuplah setiap warga negara mengarahkan tindakannya agar makin sesuai dengan lima pokok dalam Pancasila. Tidak lebih, tidak kurang.
Akan tetapi, tentu saja pola itu tidak dapat diharapkan begitu saja, sebab hampir tiap orang lalu ingin memperoleh keuntungan tanpa melakukan apa-apa, termasuk melakukan berbagai tindakan yang sesuai dengan semangat Pancasila. Maka, yang kemudian lebih mungkin terjadi adalah meluasnya gejala “penumpang gelap” (free rider) dalam arus anarkisme pasar. Misalnya, kalau suasana aman di kampung dapat saya nikmati dengan ikut bergiliran ronda atau tidak ikut meronda, saya akan cenderung untuk menghindari giliran tugas meronda. Dengan begitu saya menikmati suasana aman di kampung secara gratis. Pola itu dapat direntang untuk diterapkan pada etos yang terkandung dalam Pancasila. Kalau setiap orang berpikir bahwa dia akan mendapat keuntungan dari orang lain yang bertindak sesuai dengan Pancasila, maka ia cenderung akan bertindak tidak sesuai dengan Pancasila namun tetap akan memperoleh keuntungan dari berlaksa-laksa tindakan orang lain yang bertindak sesuai dengan Pancasila.
Persis pada titik inilah terletak sentralitas kebijakan publik (public policy). Dalam kalkulus ini, kebijakan publik merupakan penggerak utama agenda nasionalis. Kebijakan publik bertugas, dalam istilah Mandeville, sebagai “manajemen cerdik pemerintah yang tangkas”. Cerdik dan tangkas bagi tujuan apa? Jawabnya lugas: cerdik dan tangkas dalam mengelola arus jutaan tindakan warga bagi pembentukan Indonesia sebagai bangsa.
Dari pokok itu kita peroleh sekurangnya dua kemungkinan corak dan arah kebijakan publik bagi agenda nasionalis. Pertama, corak kebijakan publik (politik, pendidikan, ekonomi, kultural, agama, lingkungan hidup, dan sebagainya) secara intensional dan sengaja disusun serta diarahkan bagi penciptaan berbagai kebiasaan yang mendekati semangat lima sila dalam Pancasila. Kedua, tetapi karena intensionalitas dan kesengajaan agenda nasionalis itu bukannya tidak mengandung risiko kesewenang-wenangan, maka kebijakan publik secara sengaja disusun dan diarahkan sebagai insentif bagi pelaksanaan berbagai kebiasaan warga negara agar mendekati etos lima sila tersebut. “Insentif” berarti pelaksanaannya membawa keuntungan, dan pelanggarannya membawa kerugian.
Dengan demikian kebijakan publik lebih bertugas sebagai insentif dan bukan sebagai paksaan. Namun strategi “kebijakan publik sebagai insentif” ini dengan mudah dapat terpelanting menjadi mekanisme anarkis pasar. Dari sudut-pandang agenda nasionalis, kecenderungan terpelanting itu berakar pada gagasan yang keliru tentang kebijakan publik, yaitu karena kebijakan publik disusun dan diarahkan terutama sebagai insentif bagi kepentingan-diri setiap warga secara individual, dan bukan sebagai insentif bagi penciptaan berbagai kebiasaan yang mendekati semangat lima sila.
Perbedaan itulah yang selama ini telah menyulut banyak kontroversi. Di satu pihak, kebijakan publik sebagai insentif pengejaran kepentingan-diri cenderung terpelanting ke dalam anarkisme pasar, hingga ada atau tidak-adanya Pancasila menjadi tidak relevan. Di lain pihak, kebijakan publik sebagai insentif bagi penciptaan berbagai kebiasaan yang mewujudkan etos Pancasila cenderung terpelanting menjadi larangan terhadap kebebasan setiap warga, hingga adanya Pancasila terasa sebagai kekangan koersif. Kecenderungan koersif inilah yang telah terjadi di bawah rezim Soeharto.
Menghadapi dilema dan kesulitan itu, pada hemat saya tidak ada solusi lain kecuali proses pendidikan yang panjang dan, dalam bahasa Mandeville, penciptaan “manajemen cerdik dari [pemerintah] yang tangkas”. Semua ini hanya menunjukkan bahwa keindahan dan kemilau Pancasila tidak pernah akan menjelma menjadi pedoman ideologis tanpa berjerih-payah masuk ke dalam realpolitik. Dan dalam realpolitik itu, agenda nasionalis berhadapan dengan berlaksa-laksa peristiwa dan ideologi yang menyeret hilang cita-cita pembentukan Indonesia sebagai bangsa menuju ketidakmungkinannya – dari pemujaan terhadap globalisme sampai keganasan komunalisme-tribal, dari anarki fundamentalisme pasar sampai keganasan fundamentalisme agama.
Di tahap seperti itu, agenda nasionalis bukan lagi urusan bunyi syahdu Nanyian Pulau Seribu, bukan pula perayaan Kebangkitan Nasional dengan mobilisasi massa untuk berteriak “Merdeka!”. Agenda nasionalis berisi jerih-payah kehendak yang cerdik dalam mengelola dan mengarahkan celah-celah realpolitik pada cuaca zaman bagi pembentukan bangsa Indonesia.
Epilog
Pada akhirnya hanya dapat dikatakan bahwa persoalannya bukanlah apakah agenda nasionalis baik atau buruk, perlu atau tidak. Sejauh kita masih mencita-citakan Indonesia sebagai bangsa, agenda nasionalis pada akhirnya berisi intensionalitas dan kesengajaan dalam menyusun serta mengarahkan kebijakan publik bagi proyek Indonesia itu. Dalam agenda itu, titik tolak, kriteria pengukur, serta sasarannya adalah keutamaan-keutamaan politik yang terumus dalam Pancasila.
Kaitan-kaitan rumit antara agenda nasionalis dan Pancasila, yang salah satunya coba disajikan dalam sketsa kecil ini, mungkin merupakan persoalan yang sudah diabaikan. Pengabaian itu bisa saja merupakan efek-sampingan dari keletihan ideologis, tetapi bisa pula pengabaian itu berakar dari miskinnya imajinasi kita dalam realpolitik yang kian berlarian tunggang-langgang dewasa ini.
Lalu, apa yang mesti dilakukan dengan berbagai cacat penafsiran dan pelaksanaan dari kaitan antara agenda nasionalis dan Pancasila yang terjadi selama ini? Terhadap soal itu, mungkin hanya satu jawaban sederhana: cacat tidak pernah meniadakan keluhuran suatu cita-cita. Keyakinan itulah yang telah diwariskan para pendiri Indonesia kepada generasi ini.
Atau, barangkali di hadapan kehendak kuat dan kecerdikan para leluhur itu, kita tinggal seperti api yang mulai padam. Mungkin kita memang terlalu kerdil untuk proyek Indonesia, atau proyek Indonesia terlalu besar untuk kita.***
B. Herry-Priyono, Pengajar pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta, untuk matakuliah Filsafat Ekonomi, Ekonomi-Politik, Filsafat Ilmu-ilmu Sosial, Teori Sosial, dan masalah Globalisasi; PhD London School of Economics (LSE).
Kepustakaan:
Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute, 2009.
Ahmad Syafii Maarif, ‘Masa Depan Islam di Indonesia (Prolog)’ dalam A. Wahid (ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute, 2009, hlm. 7-10.
Anderson, Benedict, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London: Verso, 1983, 1991.
Anderson, Benedict, ‘Indonesian Nationalism Today and in the Future’, INDONESIA, 67, April 1999.
Breuilly, John, Nationalism and the State, Manchester: Manchester University Press, 1995 (Second Edition).
Dhume, S. ‘Indonesian Democracy’s Enemy Within: Radical Islamic Party Threatens Indonesia with Ballots more than Bullets’, Yale Global Online, 1 December 2005, dari
Dupré, John, Human Nature and the Limits of Science, Oxford: Clarendon Press, 2001.
Fukuyama, Francis, The End of History and the Last Man, New York: The Free Press, 1992.
Gellner, Ernest, Thought and Change, London: Weidenfeld & Nicolson, 1964.
Gellner, Ernest, Nations and Nationalism, Oxford: Blackwell, 1983.
Gellner, Ernest, Nationalism, London: Weidenfeld & Nicolson, 1997.
Gellner, Ernest, Language and Solitude, Cambridge: Cambridge University Press, 1998.
Hayek, F. A., The Road to Serfdom, Chicago: The University of Chicago Press, 1944.
Hayek, F. A., Studies in Philosophy, Politics and Economics, London: Routledge & Kegal Paul, 1967.
Heather, Derek, Citizenship: The Civic Ideal in World History, Politics and Education, London: Longman, 1990.
Hirschman, Albert O., The Passions and the Interests, New Jersey: Princeton University Press, [1977] 1997.
Hirschman, Albert O., Rival Views of Market Society and Other Essays, London: Penguin, 1986.
Hutchinson, John & Smith, Anthony D. (eds), Nationalism, Oxford: Oxford University Press, 1994.
Kedourie, Elie, Nationalism, Oxford: Blackwell, 1960, 1993 (Fourth Expanded Edition).
Lahirnja Pantja Sila (eds. M. Nasution & Sjarif Bachroem), Jogjakarta: Oesaha Penerbitan Goentoer, 1947.
Mandeville, Bernard, The Fable of the Bees and Other Writings (ed. E. J. Hundert), Indianapolis: Hackett Publishing, [1723] 1997.
Mohanty, Jitendra N., The Concept of Intentionality, Missouri: Warren H. Green, 1972.
Miller, David, Political Philosophy, Oxford: Oxford University Press, 2003.
Renan, Ernest, ‘Qu’est-ce qu’une nation?’ dalam J. Hutchinson & A. D. Smith (eds), Nationalism, Oxford: Oxford University Press, 1994, hlm. 17-18.
Simbolon, Parakitri T., Menjadi Indonesia, Jakarta: Buku Kompas, 1995.
Smith, Adam, The Wealth of Nations (ed. E. Cannan), New York: Modern Library, [1776] 2000.
Smith, Anthony D., The Ethnic Origins of Nations, Oxford: Blackwell, 1986.
Smith, Anthony D., National Identity, London: Penguin, 1991.
Sutan Sjahrir, Renungan dan Perjuangan, Jakarta: Penerbit Djambatan & Dian Rakyat, 1990.
Sutan Sjahrir, Sosialisme Indonesia Pembangunan: Kumpulan Tulisan, Jakarta: LEPPENAS, 1982
Tiga Teka-teki Strategi
Dalam ilmu-ilmu manusia, pertanyaan seperti itu telah lama menjadi hantu. Dan itu berakar dari tidak terjelaskannya banyak teka-teki yang tersembunyi dalam tindakan dan perilaku manusia, individual maupun kolektif, serta kaitan antara tindakan individual dan kolektif. Dalam bahasa sketsa ini, pertanyaannya sebagai berikut: apa yang membuat tindakan bebas tiap-tiap warga yang tidak dimaksudkan untuk membentuk bangsa pada akhirnya menciptakan Indonesia sebagai bangsa? Meskipun dengan gagap, perkenankan saya mengajukan tipologi masalah yang mungkin dapat membantu kita untuk menggagas apa yang perlu dilakukan ke depan.
ahref name='more'>
Tipologi pertama, pada akhirnya argumen fundamentalisme pasar tentang proyek Indonesia mendasarkan diri pada pengandaian bahwa “Indonesia dapat terbentuk dengan sendirinya meskipun tidak dimaksudkan” (unintended but realised). Ilustrasi berikut ini mungkin berguna. Para petani setiap hari pergi ke sawah untuk menghasilkan panen yang dapat menghidupi keluarga, dan dalam proses bercocok-tanam itu (entah karena apa, mungkin oleh “tangan ajaib”) terbentuklah Indonesia. Atau juga, perusahaan-perusahaan sibuk melakukan transaksi untuk menaikkan tingkat laba, dan dalam proses itu (entah karena apa, mungkin oleh “tangan ajaib”) terbentuklah Indonesia sebagai bangsa. Dengan demikian, terbentuknya Indonesia sebagai bangsa sebenarnya tidak pernah dimaksudkan, tetapi terjadi sebagai hasil-sampingan.
Segera terlihat keganjilan dalam pola di atas. Bukankah lalu tidak ada gunanya kita menghendaki (mencita-citakan) pembentukan Indonesia sebagai bangsa? Sebab, ia akan terjadi entah karena apa. Itu sebenarnya mirip dengan meyakini bahwa Tuhan atau alam akan menciptakan Indonesia sebagai bangsa – sebuah absurditas! Tentu tetap terbuka probabilitas Indonesia dapat terbentuk sebagai bangsa, tetapi begitu pula probabilitas bahwa Indonesia tidak akan terbentuk sebagai bangsa. Saya kira tidak ada alasan apapun untuk menerima keyakinan tipe ini.
Tipologi kedua, berbagai keluh-kesah dan kerinduan agenda nasionalis yang semakin kuat dewasa ini pada akhirnya mengandaikan bahwa “Kita mencita-citakan dan menghendaki Indonesia terbentuk sebagai bangsa, akan tetapi tidak/belum juga terjadi” (intended but unrealised). Setidaknya ada dua kemungkinan. Meminjam ungkapan Ben Anderson di atas, itu lantaran “ketercapaian [proyek Indonesia] tidak pernah penuh”, dan karena itu pembentukan bangsa Indonesia juga akan selalu belum selesai. Atau, ada yang tolol pada strategi menghendaki sehingga apa yang dikehendaki tidak/belum terwujud. Karena “strategi menghendaki” itu tercermin dalam berbagai kebijakan publik (ekonomi, politik, hukum, budaya, atau pendidikan), maka “ketololan strategi” itu mungkin terletak dalam kebijakan publik yang tidak cukup sengaja dikelola bagi pembentukan Indonesia sebagai bangsa.
Dari khasanah sejarah pemikiran, mekanisme pasar dipandang dapat membantu pembentukan tatanan sosial (baca: Indonesia) jika, dan hanya jika, terdapat instansi yang mengelola anarkisme pasar itu serta mengarahkannya bagi pembentukan tatanan sosial. Ambillah contoh gagasan Bernard Mandeville (1670-1733), seorang dokter-pemikir Belanda yang berkarya di London. Setelah panjang-lebar merayakan manfaat pengejaran kepentingan-diri setiap orang, pada akhirnya ia menulis juga bahwa tatanan sosial bisa terbentuk dari anarkisme pasar hanya jika semua itu dikelola melalui “manajemen cerdik politisi yang tangkas” (the dexterous management of a skillful politician). Dalam bahasa tema kita, apa yang dimaksud dengan istilah “politisi tangkas” tersebut adalah kebijakan publik instansi pemerintah yang dengan sengaja mengelola dan mengarahkan berlaksa-laksa tindakan bebas para warga negara ke arah pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Dalam garis pemikiran seperti itu pula rupanya maksud Adam Smith ketika ia menulis tiga tugas pemerintah, dan tugas ketiga adalah menciptakan “prasarana publik dan tata kelembagaan publik”.
Dalam banyak hal, apa yang disebut sebagai “ketololan strategi” mungkin berakar dari cuaca ideologis yang meyakini bahwa kebijakan publik harus dibuat dan diarahkan terutama untuk menjaga kinerja anarkisme pasar, dan tidak perlu dikelola/diarahkan secara sengaja untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa. Pokok ini sentral, dan antara keduanya terdapat perbedaan tajam. Pada yang pertama, kebijakan publik disusun dan dilaksanakan terutama untuk membantu setiap orang agar mencapai kepentingan-dirinya. Namun sesungguhnya kebijakan seperti itu tidak layak disebut “publik”. Sedangkan pada yang kedua, kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan terutama dengan mata-sasaran untuk mengelola arus berbagai pengejaran kepentingan-diri individual para warga agar mengarah pada pembentukan Indonesia sebagai bangsa.
Pada jenis kebijakan publik yang kedua inilah terletak agenda nasionalis. Agenda nasionalis tidak pernah menolak pentingnya pengejaran kepentingan-diri warga, tetapi mengelola berlaksa-laksa pengejaran kepentingan-diri itu bagi pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Tidak lebih, tidak kurang. Maka, agenda nasionalis tidak pernah menolak genius kinerja ekonomi pasar. Apa yang dituntut agenda nasionalis adalah agar kinerja ekonomi pasar secara sengaja dikelola bagi pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Bila regulasi menjadi perangkatnya, mengapa tidak? Tetapi lain kali mungkin perangkat itu berupa de-regulasi. Dengan demikian cukup pasti pilihan regulasi ataupun de-regulasi bukanlah terutama dipahami dari kacamata pelaku anarkisme pasar, melainkan dari kacamata pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Lugasnya, ekonomi pasar dipakai untuk membentuk Indonesia, dan bukan Indonesia dipakai untuk pengejaran kepentingan-diri para pelaku anarkisme pasar.
Tipologi ketiga, agenda nasionalis pada akhirnya bisa diringkas sebagai agenda begini: “Kita menghendaki Indonesia terbentuk sebagai bangsa, dan kita menghendaki cita-cita itu terwujud” (intended and realised). Tentu saja, dari dua tipologi sebelumnya kita segera melihat bahwa tekad, kehendak, intensionalitas maupun kesengajaan bukanlah penjamin bahwa Indonesia akan terbentuk sebagai bangsa. Di awal tulisan ini sudah disebut bahwa terbentuknya bangsa bukan sekadar hasil kehendak para nasionalis (push factor), melainkan juga hasil momentum realpolitik dan cuaca eksternal (pull factor). Masalahnya, apa yang disebut sebagai “kekeliruan strategi” lebih sering merupakan akibat ketertundukan kita pada permainan cuaca eksternal – dalam hal ini cuaca ideologis.
Maka dapat dibayangkan terjadinya gejala berikut. Kekeliruan strategi terbentuk dari ketertundukan kita pada cuaca angin ideologis (entah itu fundamentalisme pasar ataupun fundamentalisme agama), dan itu masih ditambah lagi dengan kemiskinan kehendak, intensionalitas atau kesengajaan untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa. Gejala itu dapat disebut malapetaka ganda: sudah keliru dalam hal strategi, dan masih ditambah lagi dengan kemiskinan kehendak.
Justru karena itulah adanya daya intensionalitas dan kesengajaan untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa dapat dilihat sebagai faktor kunci. Kemudian agenda itu dapat digunakan sebagai pisau-bedah untuk mengoreksi “kekeliruan strategi”. Dalam kalkulus taktis, lebih baiklah kita punya intensionalitas dan kesengajaan, sebab dengan itu lalu setidaknya kita punya tolok-ukur pegangan (yardstick) untuk menimbang sejauh mana berbagai kebijakan publik sudah atau belum mengarah pada pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Hanya dengan itu, apa yang dicita-citakan (intended) punya probabilitas untuk terwujud (realised).
Dari tiga tipologi di atas, cukup pasti bahwa agenda nasionalis tidak punya urusan dengan sikap anti-asing atau sweeping. Agenda nasionalis menunjuk pada keterarahan dalam rupa berbagai kebijakan publik yang secara intensional dan sengaja dikelola bagi pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Para pengritik yang memotret agenda nasionalis sebagai agenda sempit dan menjijikkan biasanya menyamakan agenda nasionalis dengan keganasan tribalisme komunal. Selain merupakan kesesatan berpikir, kritik tersebut juga disebabkan karena tribalisme komunal dalam wajah kawanan ganas para fundamentalis agama selalu suka berteriak lantang bahwa tuntutan mereka adalah agenda nasionalis. Sebagaimana ditunjukkan Gellner, negara-bangsa bukan tribalisme-komunal maupun universalisme-atomik. Negara-bangsa adalah modus koordinasi tatanan politik tersendiri yang sedang mencari kemungkinan realisasinya bagi hidup bersama. Koordinasi tatanan hidup-bersama memang tidak harus berbentuk ‘negara-bangsa’, tetapi koordinasi agenda nasionalis dalam tata ‘negara-bangsa’ juga sudah dan akan punya kemungkinan menjadi modus penataan itu.
Cuma, apa kaitan semua itu dengan Pancasila?
Pancasila dalam Agenda Nasionalis
Dari berbagai pokok ringkas di atas, soalnya bukan apakah agenda nasionalis baik atau buruk, melainkan tolok-ukur dan panduan ideologis apa (ideological yardstick) yang dipakai oleh agenda nasionalis untuk membentuk ataupun membarui Indonesia sebagai bangsa. Pada titik inilah saya kira terletak sentralitas Pancasila. Meminjam bahasa Ben Anderson, Pancasila adalah medium dalam dan melalui mana kita “mereka-bayangkan” (imagining) serta menghendaki bangsa Indonesia seperti apa yang kita inginkan. Kata “ingin” berarti bahwa Pancasila adalah normatif (cita-cita). Karena cita-cita ditetapkan di awal dan bukan di akhir, ia juga dasar pemandu ideologis bagi pembentukan Indonesia sebagai bangsa. Jika Pancasila terasa tidak praktis, jawabannya sederhana: tak ada cita-cita yang praktis. Ia dimaksud sebagai pandu ideologis bagi pembuatan dan pelaksanaan semua kebijakan publik dalam membentuk Indonesia sebagai bangsa. Pada akhirnya, apa yang praktis bukan ‘Indonesia’ dan ‘Pancasila’, tetapi kebijakan-kebijakan publik yang disusun dan dilaksanakan berdasarkan Pancasila. Hanya dengan itu cita-cita membentuk Indonesia sebagai bangsa punya kemungkinan perwujudannya. Apabila ia belum juga terwujud, itu juga lantaran ekspektasi kita selalu mengembang. Sebuah cita-cita tidak batal hanya karena belum terjadi.
Mengapa lima sila? Itulah yang dirumuskan oleh para leluhur pendiri Republik ini. Namun tentu saja jawaban seperti itu tidak terlalu berbeda dengan jawaban “karena kakek kita merumuskannya dalam lima sila”. Dan jawaban seperti itu tentu mudah patah. Pada akhirnya, lima sila itu rupanya merupakan lima keutamaan hidup-bersama (politik) yang dicita-citakan sebagai pandu ideologis bagi proses pemberadaban proses politik bangsa Indonesia. Rumusan lima sila yang ada sekarang mungkin sudah terdengar klise, sebab apa yang telah menjadi rutin dan biasa memang sering menumpulkan rasa. Namun apabila dirumuskan dengan lebih bebas dan ringkas, mungkin dapat kita peroleh rumusan berikut: (1) keterbukaan pada Yang Transenden; (2) kewargaan yang beradab; (3) bersatu dalam keragaman; (4) proses demokratis; dan (5) keadilan sosial.
Dipadatkan dalam rumusan itu, Pancasila tampil dalam kemilaunya. Ia bersifat civic dan bukan sektarian agama, rasial, ataupun kesukuan. Bahkan sila pertama samasekali tidak menunjukkan bunyi dan arti sektarian atau agamis apapun. Seperti dikatakan Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, itu hanya agar “tiap-tiap orangnja dapat menjembah Toehannja dengan tjara jang leloeasa”.
Satu catatan kehati-hatian perlu diajukan. Juga dengan semua pokok di atas, kaitan antara Pancasila dan agenda nasionalis masih belum sepenuhnya jelas. Kalau Indonesia adalah cita-cita, tentulah terbentuknya Indonesia selalu lolos dari keterwujudan empirik yang final. Bukankah lalu setiap agenda nasionalis selalu ibarat mengejar fatamorgana politik? Bagaimana kesulitan ini dapat dipahami? Dan bagaimana kemudian dijelmakan dalam pelaksanaan? Sebab, tanpa penjelmaan tentulah cita-cita membentuk Indonesia sebagai bangsa akan tetap tinggal seperti puncak gunung yang tak pernah didaki.
Dalam kesulitan itu tersembunyi sebuah teka-teki paradoksal. Paradoks itu kira-kira dapat dijelaskan begini. Sebuah tujuan atau cita-cita biasanya justru tidak tercapai apabila setiap detik kita disibukkan oleh kecemasan bagaimana mencapai cita-cita itu. Andaikan kebahagiaan (happiness) adalah cita-cita hidup. Silahkan bertanya setiap hari apakah Anda bahagia, maka Anda justru tidak akan bahagia. Meskipun lingkup individual tidak dapat diterapkan begitu saja pada persoalan di lingkup sosial, dalam arti tertentu argumen anarkisme pasar bagi pembentukan tatanan punya unsur kebenaran.
Artinya, silahkan bertanya tiap hari apakah Indonesia sebagai bangsa telah terbentuk, maka seluruh energi kita justru akan habis untuk mereka-reka kesesuaian tindakan dan kegiatan kita dengan terbentuk-tidaknya Indonesia. Dengan itu tidak terjadi optimalisasi tindakan dan kegiatan yang mengarah pada pembentukan Indonesia. Maka, yang lebih mungkin terjadi justru kita seperti burung pungguk yang setiap jam merindukan bulan (lunatic). Sebagaimana cita-cita kebahagiaan tidak akan tercapai dengan setiap hari melakukan kebahagiaan (karena ‘kebahagiaan’ bukan sesuatu yang secara empirik dapat dilakukan), begitu pula proyek cita-cita Indonesia tidak akan dicapai dengan setiap hari melakukan ‘Indonesia’ (sebab konsep ‘Indonesia’ bukan sesuatu yang secara empirik dapat dilakukan). Pokok ini punya implikasi jauh. Sebagaimana cita-cita ‘kebahagiaan’ hanya dapat dicapai dengan melakukan apa yang secara konkret membawa kita ke indikator ‘kebahagiaan’, begitu pula pembentukan Indonesia juga hanya dicapai dengan melakukan apa yang secara konkret menjadi indikator terbentuknya Indonesia sebagai bangsa.
Lima pokok yang terumus dalam Pancasila persis merupakan satuan indikator seperti itu. Apabila mencermati rumusan padat di atas, segera terlihat bahwa lima pokok itu melibatkan tindakan. Baik keadilan sosial maupun keterbukaan pada Yang Transenden, atau juga kewargaan yang beradab maupun proses demokratis, semua itu menunjuk pada proses tindakan dan gugus tindakan yang dilakukan para warga negara. Lugasnya, tidak perlulah para warga negara setiap hari bertanya apakah arus tindakannya mengarah pada pembentukan Indonesia sebagai bangsa, tapi cukuplah setiap warga negara mengarahkan tindakannya agar makin sesuai dengan lima pokok dalam Pancasila. Tidak lebih, tidak kurang.
Akan tetapi, tentu saja pola itu tidak dapat diharapkan begitu saja, sebab hampir tiap orang lalu ingin memperoleh keuntungan tanpa melakukan apa-apa, termasuk melakukan berbagai tindakan yang sesuai dengan semangat Pancasila. Maka, yang kemudian lebih mungkin terjadi adalah meluasnya gejala “penumpang gelap” (free rider) dalam arus anarkisme pasar. Misalnya, kalau suasana aman di kampung dapat saya nikmati dengan ikut bergiliran ronda atau tidak ikut meronda, saya akan cenderung untuk menghindari giliran tugas meronda. Dengan begitu saya menikmati suasana aman di kampung secara gratis. Pola itu dapat direntang untuk diterapkan pada etos yang terkandung dalam Pancasila. Kalau setiap orang berpikir bahwa dia akan mendapat keuntungan dari orang lain yang bertindak sesuai dengan Pancasila, maka ia cenderung akan bertindak tidak sesuai dengan Pancasila namun tetap akan memperoleh keuntungan dari berlaksa-laksa tindakan orang lain yang bertindak sesuai dengan Pancasila.
Persis pada titik inilah terletak sentralitas kebijakan publik (public policy). Dalam kalkulus ini, kebijakan publik merupakan penggerak utama agenda nasionalis. Kebijakan publik bertugas, dalam istilah Mandeville, sebagai “manajemen cerdik pemerintah yang tangkas”. Cerdik dan tangkas bagi tujuan apa? Jawabnya lugas: cerdik dan tangkas dalam mengelola arus jutaan tindakan warga bagi pembentukan Indonesia sebagai bangsa.
Dari pokok itu kita peroleh sekurangnya dua kemungkinan corak dan arah kebijakan publik bagi agenda nasionalis. Pertama, corak kebijakan publik (politik, pendidikan, ekonomi, kultural, agama, lingkungan hidup, dan sebagainya) secara intensional dan sengaja disusun serta diarahkan bagi penciptaan berbagai kebiasaan yang mendekati semangat lima sila dalam Pancasila. Kedua, tetapi karena intensionalitas dan kesengajaan agenda nasionalis itu bukannya tidak mengandung risiko kesewenang-wenangan, maka kebijakan publik secara sengaja disusun dan diarahkan sebagai insentif bagi pelaksanaan berbagai kebiasaan warga negara agar mendekati etos lima sila tersebut. “Insentif” berarti pelaksanaannya membawa keuntungan, dan pelanggarannya membawa kerugian.
Dengan demikian kebijakan publik lebih bertugas sebagai insentif dan bukan sebagai paksaan. Namun strategi “kebijakan publik sebagai insentif” ini dengan mudah dapat terpelanting menjadi mekanisme anarkis pasar. Dari sudut-pandang agenda nasionalis, kecenderungan terpelanting itu berakar pada gagasan yang keliru tentang kebijakan publik, yaitu karena kebijakan publik disusun dan diarahkan terutama sebagai insentif bagi kepentingan-diri setiap warga secara individual, dan bukan sebagai insentif bagi penciptaan berbagai kebiasaan yang mendekati semangat lima sila.
Perbedaan itulah yang selama ini telah menyulut banyak kontroversi. Di satu pihak, kebijakan publik sebagai insentif pengejaran kepentingan-diri cenderung terpelanting ke dalam anarkisme pasar, hingga ada atau tidak-adanya Pancasila menjadi tidak relevan. Di lain pihak, kebijakan publik sebagai insentif bagi penciptaan berbagai kebiasaan yang mewujudkan etos Pancasila cenderung terpelanting menjadi larangan terhadap kebebasan setiap warga, hingga adanya Pancasila terasa sebagai kekangan koersif. Kecenderungan koersif inilah yang telah terjadi di bawah rezim Soeharto.
Menghadapi dilema dan kesulitan itu, pada hemat saya tidak ada solusi lain kecuali proses pendidikan yang panjang dan, dalam bahasa Mandeville, penciptaan “manajemen cerdik dari [pemerintah] yang tangkas”. Semua ini hanya menunjukkan bahwa keindahan dan kemilau Pancasila tidak pernah akan menjelma menjadi pedoman ideologis tanpa berjerih-payah masuk ke dalam realpolitik. Dan dalam realpolitik itu, agenda nasionalis berhadapan dengan berlaksa-laksa peristiwa dan ideologi yang menyeret hilang cita-cita pembentukan Indonesia sebagai bangsa menuju ketidakmungkinannya – dari pemujaan terhadap globalisme sampai keganasan komunalisme-tribal, dari anarki fundamentalisme pasar sampai keganasan fundamentalisme agama.
Di tahap seperti itu, agenda nasionalis bukan lagi urusan bunyi syahdu Nanyian Pulau Seribu, bukan pula perayaan Kebangkitan Nasional dengan mobilisasi massa untuk berteriak “Merdeka!”. Agenda nasionalis berisi jerih-payah kehendak yang cerdik dalam mengelola dan mengarahkan celah-celah realpolitik pada cuaca zaman bagi pembentukan bangsa Indonesia.
Epilog
Pada akhirnya hanya dapat dikatakan bahwa persoalannya bukanlah apakah agenda nasionalis baik atau buruk, perlu atau tidak. Sejauh kita masih mencita-citakan Indonesia sebagai bangsa, agenda nasionalis pada akhirnya berisi intensionalitas dan kesengajaan dalam menyusun serta mengarahkan kebijakan publik bagi proyek Indonesia itu. Dalam agenda itu, titik tolak, kriteria pengukur, serta sasarannya adalah keutamaan-keutamaan politik yang terumus dalam Pancasila.
Kaitan-kaitan rumit antara agenda nasionalis dan Pancasila, yang salah satunya coba disajikan dalam sketsa kecil ini, mungkin merupakan persoalan yang sudah diabaikan. Pengabaian itu bisa saja merupakan efek-sampingan dari keletihan ideologis, tetapi bisa pula pengabaian itu berakar dari miskinnya imajinasi kita dalam realpolitik yang kian berlarian tunggang-langgang dewasa ini.
Lalu, apa yang mesti dilakukan dengan berbagai cacat penafsiran dan pelaksanaan dari kaitan antara agenda nasionalis dan Pancasila yang terjadi selama ini? Terhadap soal itu, mungkin hanya satu jawaban sederhana: cacat tidak pernah meniadakan keluhuran suatu cita-cita. Keyakinan itulah yang telah diwariskan para pendiri Indonesia kepada generasi ini.
Atau, barangkali di hadapan kehendak kuat dan kecerdikan para leluhur itu, kita tinggal seperti api yang mulai padam. Mungkin kita memang terlalu kerdil untuk proyek Indonesia, atau proyek Indonesia terlalu besar untuk kita.***
B. Herry-Priyono, Pengajar pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta, untuk matakuliah Filsafat Ekonomi, Ekonomi-Politik, Filsafat Ilmu-ilmu Sosial, Teori Sosial, dan masalah Globalisasi; PhD London School of Economics (LSE).
Kepustakaan:
Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute, 2009.
Ahmad Syafii Maarif, ‘Masa Depan Islam di Indonesia (Prolog)’ dalam A. Wahid (ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute, 2009, hlm. 7-10.
Anderson, Benedict, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London: Verso, 1983, 1991.
Anderson, Benedict, ‘Indonesian Nationalism Today and in the Future’, INDONESIA, 67, April 1999.
Breuilly, John, Nationalism and the State, Manchester: Manchester University Press, 1995 (Second Edition).
Dhume, S. ‘Indonesian Democracy’s Enemy Within: Radical Islamic Party Threatens Indonesia with Ballots more than Bullets’, Yale Global Online, 1 December 2005, dari
Dupré, John, Human Nature and the Limits of Science, Oxford: Clarendon Press, 2001.
Fukuyama, Francis, The End of History and the Last Man, New York: The Free Press, 1992.
Gellner, Ernest, Thought and Change, London: Weidenfeld & Nicolson, 1964.
Gellner, Ernest, Nations and Nationalism, Oxford: Blackwell, 1983.
Gellner, Ernest, Nationalism, London: Weidenfeld & Nicolson, 1997.
Gellner, Ernest, Language and Solitude, Cambridge: Cambridge University Press, 1998.
Hayek, F. A., The Road to Serfdom, Chicago: The University of Chicago Press, 1944.
Hayek, F. A., Studies in Philosophy, Politics and Economics, London: Routledge & Kegal Paul, 1967.
Heather, Derek, Citizenship: The Civic Ideal in World History, Politics and Education, London: Longman, 1990.
Hirschman, Albert O., The Passions and the Interests, New Jersey: Princeton University Press, [1977] 1997.
Hirschman, Albert O., Rival Views of Market Society and Other Essays, London: Penguin, 1986.
Hutchinson, John & Smith, Anthony D. (eds), Nationalism, Oxford: Oxford University Press, 1994.
Kedourie, Elie, Nationalism, Oxford: Blackwell, 1960, 1993 (Fourth Expanded Edition).
Lahirnja Pantja Sila (eds. M. Nasution & Sjarif Bachroem), Jogjakarta: Oesaha Penerbitan Goentoer, 1947.
Mandeville, Bernard, The Fable of the Bees and Other Writings (ed. E. J. Hundert), Indianapolis: Hackett Publishing, [1723] 1997.
Mohanty, Jitendra N., The Concept of Intentionality, Missouri: Warren H. Green, 1972.
Miller, David, Political Philosophy, Oxford: Oxford University Press, 2003.
Renan, Ernest, ‘Qu’est-ce qu’une nation?’ dalam J. Hutchinson & A. D. Smith (eds), Nationalism, Oxford: Oxford University Press, 1994, hlm. 17-18.
Simbolon, Parakitri T., Menjadi Indonesia, Jakarta: Buku Kompas, 1995.
Smith, Adam, The Wealth of Nations (ed. E. Cannan), New York: Modern Library, [1776] 2000.
Smith, Anthony D., The Ethnic Origins of Nations, Oxford: Blackwell, 1986.
Smith, Anthony D., National Identity, London: Penguin, 1991.
Sutan Sjahrir, Renungan dan Perjuangan, Jakarta: Penerbit Djambatan & Dian Rakyat, 1990.
Sutan Sjahrir, Sosialisme Indonesia Pembangunan: Kumpulan Tulisan, Jakarta: LEPPENAS, 1982
Title : Sebuah Bangsa hanya Dibentuk dengan Sengaja (2-habis) ► SEOer Mendem ►
URL : https://seomendem.blogspot.com/2009/06/sebuah-bangsa-hanya-dibentuk-dengan_21.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Sebuah Bangsa hanya Dibentuk dengan Sengaja (2-habis) ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.