Melampaui Self-Interest - Kritik Amartya Sen terhadap Pendekatan Behavioral dalam Teori Ekonomi
Wildan Pramudya
PERBINCANGAN mengenai self-interest tetap memikat. Ini karena konsep self-interest menyeruak ke tengah arena diskursus secara dinamis, dan senantiasa berada dalam suatu tegangan pro-kontra. Baik itu dalam diskursus filosofis, sosiologi maupun politik. Dalam filsafat Plato, misalnya, self-interets diposisikan sebagai sesuatu yang negatif. Dikatakan Plato, self-interest merupakan biang kejahatan dan dosa. Baginya self-interest hanya akan mendorong individu berlaku tidak adil terhadap orang lain. Sementara itu, Aristoteles memandang secara ambigu keberadaan self-interest. Menurutnya, self-interest tidak melulu negatif, melainkan juga positif. Sebab, menurutnya self-interest pada dasarnya terbagi menjadi dua: bad self-interest dan good self-interest. Namun demikian, pada akhirnya, yang disebut good interest menurut Aristotle adalah kepentingan umum (common interest) yang memungkinkan terbentuknya suatu unanimitas masyarakat. Lalu dalam pandangan Agustinus, keberadaan self-interest disubordinasikan kepada kecintaan dan pengabdian kepada Yang Ilahiah. Dengan kata lain, di mata Agustinus, self-interest merupakan gerak vertikal penghambaan diri kepada Allah. Sampai di sini, sejatinya, self-interest masih diletakkan sebagai yang sekunder. Konsep self-interest yang partikular dideduksikan kepada yang universal, yaitu masyarakat atau Allah, misalnya.
ahref name='more'>Akan tetapi, di era modern, keberadaan self-interest berada dalam situasi yang sangat berbeda daripada era-era sebelumnya. Di sini, self-interest seolah betul-bentul menemukan kediriannya (the self). Sebut saja Bentham yang melihat self-interest sebagai perkara psikologis individual. Meski – kata Bentham – selain self-interest terhubung dengan kepentingan masyarakat, namun self-interest dianggap lebih prioritas. Selanjutnya Nietzsche, yang melihat self interest sebagai afirmasi diri dari kehendak will to power. Begitu juga dengan Ayn Rand, yang melihat self-interest sebagai tindakan individu rasional yang penuh integritas.
Penjelasan singkat tentang dinamika self-interest di atas menunjukkan bahwa konsep self-interest telah menempuh perjalanan filosofis-dialektis yang begitu panjang. Ini menunjukkan bahwa pada tataran filosofis konsep self-interest masih merupakan konsep yang selalu terbuka. Akan tetapi tidak demikian di dalam konteks teori ekonomi. Di dalam ekonomi, pengertian self interest sudah dianggap barang jadi yang stabil dan tidak bisa diganggu-gugat. Di wilayah ini, self-interest diyakini sebagai satu-satunya dasar bagi rasionalitas tindakan manusia. Mengutip Hirschman, di dalam ilmu ekonomi konsep self-interest begitu cepat berkembang sehingga menjadi suatu paradigma dan doktrin.
Tulisan ini pada dasarnya hendak (1) menjabarkan bagaimana konsep interest menjadi suatu doktrin yang begitu kuat dalam ilmu ekonomi, (2) menunjukkan bahwa self-interest tidak cukup memadai untuk menjelaskan tindakan manusia. Untuk menjelaskan semua itu, penulis akan mengacu pada kritik ekonom Amartya K. Sen terhadap dasar-dasar asumsi dari teori ekonomi.
Ilmu ekonomi yang egois
Dalam tulisannya, Sen hendak melakukan kritik terhadap dasar-dasar asumsi teori ekonomi. Dan konsep sentral yang diproblematisasi oleh Sen adalah self-interest, yang menjadi penyangga bagi aplikasi dari teori ekonomi. Dalam melakukan kritik ini, sengaja Sen mengangkat pemikiran F.Y. Edgeworth di dalam bukunya Mathematical Psychics: An Essay on the Application of Mathematics to Moral Sciences, karena di dalamnya secara eksplisit menerangkan prinsip dasar dari ilmu ekonomi.
Menurut Sen, ilmu ekonomi pada dasarnya sangat egois. Dikatakan egois karena dalam ekonomi diasumsikan bahwa tindakan manusia diungkapkan hanya karena adanya self-interest. Pendapat Sen ini bertolak dari pendapat Edgeword yang mengatakan begini: the first principle of Economics is that every agent is actuated only by self-interest. Dikatakan Sen, dalam kenyataannya pendapat ini memang tidak realistik, karena dalam banyak hal tindakan manusia tidak murni egois, melainkan kombinasi dengan utilitarian. Artinya pada derajat tertentu manusia akan selalu memikirkan kepentingan orang banyak.
Namun demikian, nampaknya utilitarianisme tidak juga membantu menutupi pekatnya egoisme tersebut. Sebab kepentingan semua orang pada dasarnya adalah penjumlahan dari kepentingan masing-masing (self-interest) atas nama keluarga, teman, kelas social, dsb.
Pertanyaannya sekarang jika ekonomi mengasumsikan tindakan manusia didasari self-interest, mengapa ekonomi cenderung mengonsepsikan manusia sebagai seorang egois yang bertindak demi kepentingan diri sendiri?
Untuk menjawab ini, Sen mencoba mendedah pengandaiaan epistemologis dibalik konsepsi manusia itu. Menurut Sen, semua itu berawal dari pandangan behavioralistik yang melihat perilaku rasional manusia dalam kerangka “preferensi” dan konsistensi untuk mendapatkan pencapaian yang maksimal. Yang dimaksud dengan preferensi adalah pilihan yang diambil secara sistematik atas dasar pertimbangan utilitas personal. Dengan konsep self-interest, tindakan manusia dilihat sebagai tindakan individu yang terisolasi, serta merupakan pilihan bebas dan rasional dari sekian banyak alternatif tindakan yang ada. Pilihan tindakan ini dilakukan setelah adanya kalkulasi tentang biaya yang harus dikeluarkan dan keuntungan yang akan diperoleh dirinya. Sementara biaya dan keuntungan bagi orang lain serta kolektivitas yang lebih luas, yaitu masyarakat, cenderung dikesampingkan.
Di luar interpretasi seperti itu, tidak ada lagi konsep yang bisa diterima secara rasional dan karenanya tidak memadai untuk memahami tindakan manusia. Konsep yang bisa diterima adalah konsep yang mampu memahami tindakan manusia tidak saja dalam konteks hari ini, melainkan juga dalam konteks kemungkinannya di masa depan. Dengan kata lain, konsep yang digunakan haruslah konsep yang memiliki kemampuan prediktif mengenai perilaku manusia. Dan kemampuan prediktif itu hanya ada pada konsep kalkulasi yang terpola (perilaku).
Komitmen: melampaui self-interest
Bagaimana mungkin ekonomi yang egoistik ini dapat mencapai kebaikan bersama? Kalau ekonomi masih diandaikan berpegang pada konsep tindakan manusia rasional yang bertolak dari self-interest, maka menurut Sen, ekonomi tidak cukup memadai untuk menjawab pertanyaan di atas. Sekaligus juga, ekonomi tidak cukup kuat untuk menjelaskan bagiamana suatu tata masyarakat itu terbentuk. Mengapa? Karena konsep self-interest -- dalam konteks perilaku rasional -- diletakkan sebagai tindakan manusia yang terisolasi, suatu tindakan yang hanya relevan dengan upaya pemenuhan kebutuhan privat, sementara di dalam realitasnya ekonomi tidak hanya berbicara mengenai pemenuhan private goods, melainkan juga kebutuhan bersama atau pulik.
Oleh kerana itu, menurut Sen, dalam rangka memenuhi kebutuhan dan mencapai kebaikan bersama serta membangun tata sosial tertentu, semestinya ada sesuatu yang melampaui self-interest di dalam ilmu ekonomi. Sesuatu yang melampaui itu tentu saja adalah sesuatu yang memungkinkan sebuah persentuhan antara diri individual dengan yang sosial . Sen menyebutkan sesuatu yang memungkinkan persentuhan self dengan the others, dalam hal ini, adalah simpati dan komitmen.
Meski simpati dan komitmen adalah element yang menghubungkan diri dengan orang lain, namun di mata Sen keduanya memiliki perbedaan pengertian dan implikasi fundamental. Diilustrasikan Sen, jika kita mengetahui orang lain disiksa, lalu kita ikut merasakan sakitnya siksaan itu, inilah yang disebut simpati. Jika penyiksaan terhadap orang lain, secara personal tidak memberikan dampak buruk bagi kita, namun kita sadari bahwa penyiksaan itu salah, lalu kita siap untuk menghentikan tindakan penyiksaan tersebut, maka ini yang disebut komitmen.
Dengan kata lain, simpati merupakan suatu upaya menempatkan perasaan dan perhatian (diri) kita kepada situasi apa dan bagaimana yang dirasakan orang lain. Sedangkan komitmen adalah suatu kehendak yang muncul – didorong oleh pengetahuan kita mengenai situasi orang – untuk melibatkan diri guna melakukan perubahan positif terhadap situasi orang lain. Dari perbedaan pengertian di atas, nampak bahwa simpati adalah suatu bentuk tindakan yang “minimalis”, pasif dan masih membawa nuansa egoistiknya. Sedangkan komitmen merupakan tindakan aktif, antisipatif dan ada keterlibatan dengan yang lain.
Penyediaan kebutuhan publik, misalnya, bukan lagi merupakan hasil getok tular antara kepentingan orang per orang, melainkan semacam tugas yang harus diemban untuk diwujudkan. Dalam konteks tugas, tindakan seorang dokter di suatu institusi rumah sakit dalam mengobati seorang pasien, komitmen untuk menyembuhkan pasien lebih utama daripada pertimbangan besaran biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatannya. Dengan komitmen, keputusan dokter untuk menyembuhkan melampaui pertimbangan apakah si pasien sebaiknya dirawat di kelas I atau II, misalnya. Sehingga dengan komitmen ini, kasus penolakan rumah sakit terhadap seorang pasien karena alasan keterbatasan atau ketiadaan biaya, misalnya, tidak perlu terjadi.
Pada tingkat ini Sen lebih menetapkan kommitmen – daripada simpati -- sebagai elemen penting untuk dijadikan salah satu dasar asumsi dalam mengonsepsikan tindakan manusia. Akan tetapi, lanjut Sen, dalam pendekatan rasional-behavioralistik, elemen ini tidak dimasukkan sebagai pertimbangan.
Komitmen sebagai preferensi etis
Pendekatan pilihan rasional (rational choice) sebagai turunan pendekatan behavioral tidak memasukkan komitmen sebagai dasar pertimbangan, karena secara logis bisa kontraproduktif – yaitu jika dikaitkan dengan preferensi tindakan dan pencapaian hasil yang maksimal.
Komitmen – dijelaskan Sen – sangat erat kaitannya dengan moralitas tertentu. Sementaa berbicara mengenai moralitas adalah perkara yang kompleks sehingga seringkali mengundang banyak perdebatan yang berkepanjangan. Oleh karenanya, bisa “dipahami” jika ilmu ekonomi dengan pendekatan behavioralistiknya, memasukkan unsur moralitas adalah sebuah pilihan atau preferensi yang tidak rasional. Jika moralitas dikaitkan dengan prinsip efisiensi, katakan saja, akan menjadi faktor penghambat bagi tercapainya keuntungan yang maksimal. Mengenai ini, nampaknya Sen mengakui bahwa memasukkan komitmen sebagai dasar pertimbangan preferensi tindakan manusia bisa menorehkan sebuah retakan antara pilihan pribadi dengan keuntungan pribadi, di mana keduanya merupakan variable signifikan dalam mengukur konsistensi perilaku manusia.
Kendati demikian, bagi Sen, hal ini tidak bisa dijadikan pembenar bahwa komitmen yang mengandaikan moralitas tertentu dikeluarkan sebagai dasar asumsi dalam mengonsepsikan manusia di dalam ilmu ekonomi. Dengan mengutip Harsanyi, Sen berpendirian bahwa komitmen tetaplah penting dimasukkan sebagai pertimbangan tindakan rasional manusia, yaitu sebagai preferensi etis. Hanya saja, dengan preferensi etis ini, Sen tidak mengandaikan bahwa ada suatu tingkatan-tingkatan moral tertentu, bahwa terdapat suatu moral tertentu yang paling layak dijadikan dasar bagi manusia bertindak, melainkan sebuah meta-ranking. Meta-ranking di sini – dalam penggambaran Sen – merupakan suatu struktur diskursif-praktis yang terbuka, yang lebih kaya, yang memungkinkan adanya upaya mendialogkan ragam moralitas dan tindakan. Klaim moral sebagai preferensi etis yang dihasilkan dari struktur ini pun bukan suatu klaim moral yang mapan, akan tetapi suatu klaim moral yang masih terus berproses. Artinya sangat dimungkinkan terjadinya perubahan demi terbentuknya preferensi etis yang lebih baik dan tinggi. Pada gilirannya, dengan adanya struktur yang demikian, maka kita dapat malampaui pandangan yang mendikotomikan perilaku manusia secara dikotomis, yaitu antara egoistik dan utilitarianistik, antara self-interest dan other interest.
Penutup
Dalam ilmu ekonomi, self-interest dimaknai sebagai preferensi kalkulatif untung-rugi untuk mencapai keuntungan maksimal individu. Pengertian konsep ini diakui sebagai konsep yang sudah teruji dan mapan sehingga konsep ini dijadikan dasar asumsi teoritik bagi kebanyakan ekonom dalam menganalisis tindakan manusia. Lebih dari itu self-interest bukan hanya menjadi prinsip konstitutif bagi teori-teori ekonomi, akan tetapi sekaligus menjadi fokus kajian. Dengan kata lain ilmu ekonomi pada dasarnya adalah studi mengenai pengembangan self-interest itu sendiri.
Meksi dalam ilmu ekonomi self-interest memperoleh pengertian konseptual yang terang-benderang, tapi pada saat yang sama perjalanan diskursif yang panjang dari konsep self-interest seolah mandek di situ. Konsep self interest melulu diinterpreasikan secara parsimonik sebagai tindakan kalkulatif-individual tentang untung-rugi tadi.
Kehadiran Amartya Sen seperti kembali memberikan ruang bagi upaya meninjau kembali konsep self-interest itu, dengan pernyataannya bahwa konsep self-interest tidak cukup memadai dalam memahami tindakan manusia dan bagaimana sebuah masyarakat tertata. Bagi Sen, konsep self-interest hanya bisa memadai untuk menjelaskan tindakan manusia dalam konteks pemenuhan kebutuhan privat. Sementara untuk pemenuhan kepentingan atau kebutuhan publik, ada yang lebih penting dari sekedar self-interest, yaitu komitmen. Tidak berlebihan kiranya jika kita katakan, pemikiran Amartya Sen mengenai komitmen telah memberi pukulan telak bagi konsep self-interest yang telah berurat-akar dalam teori ekonomi.
Yang menarik dari Sen, meski konsep komitmen dipromosikan sebagai preferensi etis dalam tindakan manusia, namun tidak membuat Sen terjebak pada moralisme yang ujung-ujungnya bisa menyeretnya pada dogmatisme moral. Ini terlihat ketika Sen sendiri menolak pengandaian adanya hierarki moral tertentu untuk dijadikan preferensi. Sebaliknya, melainkan manawarkan suatu struktur terbuka yang memungkinkan adanya dialog antara etika dengan self-interest sebagai tindakan kalkulatif. Struktur terbuka yang dimaksudkan Sen ini kiranya lebih mendekati tepat kalau diinterprestasikan sebagai demokrasi politik.***
Wildan Pramudya, Aktif di LP3ES Jakarta, serta mengajar di fakultas Psikologi Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta.
Kepustakaan:
Force, Pierre, Self-Interest as a first principle, dalam Self-Interest Before Adam Smith. A Genealogy of Economics Science. (Cambridge: Cambridge University Press,2003)
Hirschman, Albert O., Passion and Interest. Political Argument for Capitalism before its Triumph (Princeton: Princeton University Press,(1977) 1977)
Hirschman, Albert O., The Concept of Interest: From Euphemism to Tautology, dalam Rival Views of Market Society and Other Recent Essays (New York: Elisabeth Sifton Books, 1986)
Hollis, Martin and Edward J. Nell, Rational Economic Man. A Philosophical critique of Neo-classical Economics. (London: Cambridge University Press, 1975)
Rogers, Kelly, (ed), Self-Interest. An Anthology of Philosophical Perspective (New York & London: Routledge, 1997)
Sen, Amartya K., Rational Fools: A Critique of the Behavioral Foundations of Economics Theory. Philosophy and Public Affairs, Vol.6, No.4 (Summer, 1977)
Sen, Amartya, Development as Freedom (New York: Knoff, 1999)
Wildan Pramudya
PERBINCANGAN mengenai self-interest tetap memikat. Ini karena konsep self-interest menyeruak ke tengah arena diskursus secara dinamis, dan senantiasa berada dalam suatu tegangan pro-kontra. Baik itu dalam diskursus filosofis, sosiologi maupun politik. Dalam filsafat Plato, misalnya, self-interets diposisikan sebagai sesuatu yang negatif. Dikatakan Plato, self-interest merupakan biang kejahatan dan dosa. Baginya self-interest hanya akan mendorong individu berlaku tidak adil terhadap orang lain. Sementara itu, Aristoteles memandang secara ambigu keberadaan self-interest. Menurutnya, self-interest tidak melulu negatif, melainkan juga positif. Sebab, menurutnya self-interest pada dasarnya terbagi menjadi dua: bad self-interest dan good self-interest. Namun demikian, pada akhirnya, yang disebut good interest menurut Aristotle adalah kepentingan umum (common interest) yang memungkinkan terbentuknya suatu unanimitas masyarakat. Lalu dalam pandangan Agustinus, keberadaan self-interest disubordinasikan kepada kecintaan dan pengabdian kepada Yang Ilahiah. Dengan kata lain, di mata Agustinus, self-interest merupakan gerak vertikal penghambaan diri kepada Allah. Sampai di sini, sejatinya, self-interest masih diletakkan sebagai yang sekunder. Konsep self-interest yang partikular dideduksikan kepada yang universal, yaitu masyarakat atau Allah, misalnya.
ahref name='more'>Akan tetapi, di era modern, keberadaan self-interest berada dalam situasi yang sangat berbeda daripada era-era sebelumnya. Di sini, self-interest seolah betul-bentul menemukan kediriannya (the self). Sebut saja Bentham yang melihat self-interest sebagai perkara psikologis individual. Meski – kata Bentham – selain self-interest terhubung dengan kepentingan masyarakat, namun self-interest dianggap lebih prioritas. Selanjutnya Nietzsche, yang melihat self interest sebagai afirmasi diri dari kehendak will to power. Begitu juga dengan Ayn Rand, yang melihat self-interest sebagai tindakan individu rasional yang penuh integritas.
Penjelasan singkat tentang dinamika self-interest di atas menunjukkan bahwa konsep self-interest telah menempuh perjalanan filosofis-dialektis yang begitu panjang. Ini menunjukkan bahwa pada tataran filosofis konsep self-interest masih merupakan konsep yang selalu terbuka. Akan tetapi tidak demikian di dalam konteks teori ekonomi. Di dalam ekonomi, pengertian self interest sudah dianggap barang jadi yang stabil dan tidak bisa diganggu-gugat. Di wilayah ini, self-interest diyakini sebagai satu-satunya dasar bagi rasionalitas tindakan manusia. Mengutip Hirschman, di dalam ilmu ekonomi konsep self-interest begitu cepat berkembang sehingga menjadi suatu paradigma dan doktrin.
Tulisan ini pada dasarnya hendak (1) menjabarkan bagaimana konsep interest menjadi suatu doktrin yang begitu kuat dalam ilmu ekonomi, (2) menunjukkan bahwa self-interest tidak cukup memadai untuk menjelaskan tindakan manusia. Untuk menjelaskan semua itu, penulis akan mengacu pada kritik ekonom Amartya K. Sen terhadap dasar-dasar asumsi dari teori ekonomi.
Ilmu ekonomi yang egois
Dalam tulisannya, Sen hendak melakukan kritik terhadap dasar-dasar asumsi teori ekonomi. Dan konsep sentral yang diproblematisasi oleh Sen adalah self-interest, yang menjadi penyangga bagi aplikasi dari teori ekonomi. Dalam melakukan kritik ini, sengaja Sen mengangkat pemikiran F.Y. Edgeworth di dalam bukunya Mathematical Psychics: An Essay on the Application of Mathematics to Moral Sciences, karena di dalamnya secara eksplisit menerangkan prinsip dasar dari ilmu ekonomi.
Menurut Sen, ilmu ekonomi pada dasarnya sangat egois. Dikatakan egois karena dalam ekonomi diasumsikan bahwa tindakan manusia diungkapkan hanya karena adanya self-interest. Pendapat Sen ini bertolak dari pendapat Edgeword yang mengatakan begini: the first principle of Economics is that every agent is actuated only by self-interest. Dikatakan Sen, dalam kenyataannya pendapat ini memang tidak realistik, karena dalam banyak hal tindakan manusia tidak murni egois, melainkan kombinasi dengan utilitarian. Artinya pada derajat tertentu manusia akan selalu memikirkan kepentingan orang banyak.
Namun demikian, nampaknya utilitarianisme tidak juga membantu menutupi pekatnya egoisme tersebut. Sebab kepentingan semua orang pada dasarnya adalah penjumlahan dari kepentingan masing-masing (self-interest) atas nama keluarga, teman, kelas social, dsb.
Pertanyaannya sekarang jika ekonomi mengasumsikan tindakan manusia didasari self-interest, mengapa ekonomi cenderung mengonsepsikan manusia sebagai seorang egois yang bertindak demi kepentingan diri sendiri?
Untuk menjawab ini, Sen mencoba mendedah pengandaiaan epistemologis dibalik konsepsi manusia itu. Menurut Sen, semua itu berawal dari pandangan behavioralistik yang melihat perilaku rasional manusia dalam kerangka “preferensi” dan konsistensi untuk mendapatkan pencapaian yang maksimal. Yang dimaksud dengan preferensi adalah pilihan yang diambil secara sistematik atas dasar pertimbangan utilitas personal. Dengan konsep self-interest, tindakan manusia dilihat sebagai tindakan individu yang terisolasi, serta merupakan pilihan bebas dan rasional dari sekian banyak alternatif tindakan yang ada. Pilihan tindakan ini dilakukan setelah adanya kalkulasi tentang biaya yang harus dikeluarkan dan keuntungan yang akan diperoleh dirinya. Sementara biaya dan keuntungan bagi orang lain serta kolektivitas yang lebih luas, yaitu masyarakat, cenderung dikesampingkan.
Di luar interpretasi seperti itu, tidak ada lagi konsep yang bisa diterima secara rasional dan karenanya tidak memadai untuk memahami tindakan manusia. Konsep yang bisa diterima adalah konsep yang mampu memahami tindakan manusia tidak saja dalam konteks hari ini, melainkan juga dalam konteks kemungkinannya di masa depan. Dengan kata lain, konsep yang digunakan haruslah konsep yang memiliki kemampuan prediktif mengenai perilaku manusia. Dan kemampuan prediktif itu hanya ada pada konsep kalkulasi yang terpola (perilaku).
Komitmen: melampaui self-interest
Bagaimana mungkin ekonomi yang egoistik ini dapat mencapai kebaikan bersama? Kalau ekonomi masih diandaikan berpegang pada konsep tindakan manusia rasional yang bertolak dari self-interest, maka menurut Sen, ekonomi tidak cukup memadai untuk menjawab pertanyaan di atas. Sekaligus juga, ekonomi tidak cukup kuat untuk menjelaskan bagiamana suatu tata masyarakat itu terbentuk. Mengapa? Karena konsep self-interest -- dalam konteks perilaku rasional -- diletakkan sebagai tindakan manusia yang terisolasi, suatu tindakan yang hanya relevan dengan upaya pemenuhan kebutuhan privat, sementara di dalam realitasnya ekonomi tidak hanya berbicara mengenai pemenuhan private goods, melainkan juga kebutuhan bersama atau pulik.
Oleh kerana itu, menurut Sen, dalam rangka memenuhi kebutuhan dan mencapai kebaikan bersama serta membangun tata sosial tertentu, semestinya ada sesuatu yang melampaui self-interest di dalam ilmu ekonomi. Sesuatu yang melampaui itu tentu saja adalah sesuatu yang memungkinkan sebuah persentuhan antara diri individual dengan yang sosial . Sen menyebutkan sesuatu yang memungkinkan persentuhan self dengan the others, dalam hal ini, adalah simpati dan komitmen.
Meski simpati dan komitmen adalah element yang menghubungkan diri dengan orang lain, namun di mata Sen keduanya memiliki perbedaan pengertian dan implikasi fundamental. Diilustrasikan Sen, jika kita mengetahui orang lain disiksa, lalu kita ikut merasakan sakitnya siksaan itu, inilah yang disebut simpati. Jika penyiksaan terhadap orang lain, secara personal tidak memberikan dampak buruk bagi kita, namun kita sadari bahwa penyiksaan itu salah, lalu kita siap untuk menghentikan tindakan penyiksaan tersebut, maka ini yang disebut komitmen.
Dengan kata lain, simpati merupakan suatu upaya menempatkan perasaan dan perhatian (diri) kita kepada situasi apa dan bagaimana yang dirasakan orang lain. Sedangkan komitmen adalah suatu kehendak yang muncul – didorong oleh pengetahuan kita mengenai situasi orang – untuk melibatkan diri guna melakukan perubahan positif terhadap situasi orang lain. Dari perbedaan pengertian di atas, nampak bahwa simpati adalah suatu bentuk tindakan yang “minimalis”, pasif dan masih membawa nuansa egoistiknya. Sedangkan komitmen merupakan tindakan aktif, antisipatif dan ada keterlibatan dengan yang lain.
Penyediaan kebutuhan publik, misalnya, bukan lagi merupakan hasil getok tular antara kepentingan orang per orang, melainkan semacam tugas yang harus diemban untuk diwujudkan. Dalam konteks tugas, tindakan seorang dokter di suatu institusi rumah sakit dalam mengobati seorang pasien, komitmen untuk menyembuhkan pasien lebih utama daripada pertimbangan besaran biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatannya. Dengan komitmen, keputusan dokter untuk menyembuhkan melampaui pertimbangan apakah si pasien sebaiknya dirawat di kelas I atau II, misalnya. Sehingga dengan komitmen ini, kasus penolakan rumah sakit terhadap seorang pasien karena alasan keterbatasan atau ketiadaan biaya, misalnya, tidak perlu terjadi.
Pada tingkat ini Sen lebih menetapkan kommitmen – daripada simpati -- sebagai elemen penting untuk dijadikan salah satu dasar asumsi dalam mengonsepsikan tindakan manusia. Akan tetapi, lanjut Sen, dalam pendekatan rasional-behavioralistik, elemen ini tidak dimasukkan sebagai pertimbangan.
Komitmen sebagai preferensi etis
Pendekatan pilihan rasional (rational choice) sebagai turunan pendekatan behavioral tidak memasukkan komitmen sebagai dasar pertimbangan, karena secara logis bisa kontraproduktif – yaitu jika dikaitkan dengan preferensi tindakan dan pencapaian hasil yang maksimal.
Komitmen – dijelaskan Sen – sangat erat kaitannya dengan moralitas tertentu. Sementaa berbicara mengenai moralitas adalah perkara yang kompleks sehingga seringkali mengundang banyak perdebatan yang berkepanjangan. Oleh karenanya, bisa “dipahami” jika ilmu ekonomi dengan pendekatan behavioralistiknya, memasukkan unsur moralitas adalah sebuah pilihan atau preferensi yang tidak rasional. Jika moralitas dikaitkan dengan prinsip efisiensi, katakan saja, akan menjadi faktor penghambat bagi tercapainya keuntungan yang maksimal. Mengenai ini, nampaknya Sen mengakui bahwa memasukkan komitmen sebagai dasar pertimbangan preferensi tindakan manusia bisa menorehkan sebuah retakan antara pilihan pribadi dengan keuntungan pribadi, di mana keduanya merupakan variable signifikan dalam mengukur konsistensi perilaku manusia.
Kendati demikian, bagi Sen, hal ini tidak bisa dijadikan pembenar bahwa komitmen yang mengandaikan moralitas tertentu dikeluarkan sebagai dasar asumsi dalam mengonsepsikan manusia di dalam ilmu ekonomi. Dengan mengutip Harsanyi, Sen berpendirian bahwa komitmen tetaplah penting dimasukkan sebagai pertimbangan tindakan rasional manusia, yaitu sebagai preferensi etis. Hanya saja, dengan preferensi etis ini, Sen tidak mengandaikan bahwa ada suatu tingkatan-tingkatan moral tertentu, bahwa terdapat suatu moral tertentu yang paling layak dijadikan dasar bagi manusia bertindak, melainkan sebuah meta-ranking. Meta-ranking di sini – dalam penggambaran Sen – merupakan suatu struktur diskursif-praktis yang terbuka, yang lebih kaya, yang memungkinkan adanya upaya mendialogkan ragam moralitas dan tindakan. Klaim moral sebagai preferensi etis yang dihasilkan dari struktur ini pun bukan suatu klaim moral yang mapan, akan tetapi suatu klaim moral yang masih terus berproses. Artinya sangat dimungkinkan terjadinya perubahan demi terbentuknya preferensi etis yang lebih baik dan tinggi. Pada gilirannya, dengan adanya struktur yang demikian, maka kita dapat malampaui pandangan yang mendikotomikan perilaku manusia secara dikotomis, yaitu antara egoistik dan utilitarianistik, antara self-interest dan other interest.
Penutup
Dalam ilmu ekonomi, self-interest dimaknai sebagai preferensi kalkulatif untung-rugi untuk mencapai keuntungan maksimal individu. Pengertian konsep ini diakui sebagai konsep yang sudah teruji dan mapan sehingga konsep ini dijadikan dasar asumsi teoritik bagi kebanyakan ekonom dalam menganalisis tindakan manusia. Lebih dari itu self-interest bukan hanya menjadi prinsip konstitutif bagi teori-teori ekonomi, akan tetapi sekaligus menjadi fokus kajian. Dengan kata lain ilmu ekonomi pada dasarnya adalah studi mengenai pengembangan self-interest itu sendiri.
Meksi dalam ilmu ekonomi self-interest memperoleh pengertian konseptual yang terang-benderang, tapi pada saat yang sama perjalanan diskursif yang panjang dari konsep self-interest seolah mandek di situ. Konsep self interest melulu diinterpreasikan secara parsimonik sebagai tindakan kalkulatif-individual tentang untung-rugi tadi.
Kehadiran Amartya Sen seperti kembali memberikan ruang bagi upaya meninjau kembali konsep self-interest itu, dengan pernyataannya bahwa konsep self-interest tidak cukup memadai dalam memahami tindakan manusia dan bagaimana sebuah masyarakat tertata. Bagi Sen, konsep self-interest hanya bisa memadai untuk menjelaskan tindakan manusia dalam konteks pemenuhan kebutuhan privat. Sementara untuk pemenuhan kepentingan atau kebutuhan publik, ada yang lebih penting dari sekedar self-interest, yaitu komitmen. Tidak berlebihan kiranya jika kita katakan, pemikiran Amartya Sen mengenai komitmen telah memberi pukulan telak bagi konsep self-interest yang telah berurat-akar dalam teori ekonomi.
Yang menarik dari Sen, meski konsep komitmen dipromosikan sebagai preferensi etis dalam tindakan manusia, namun tidak membuat Sen terjebak pada moralisme yang ujung-ujungnya bisa menyeretnya pada dogmatisme moral. Ini terlihat ketika Sen sendiri menolak pengandaian adanya hierarki moral tertentu untuk dijadikan preferensi. Sebaliknya, melainkan manawarkan suatu struktur terbuka yang memungkinkan adanya dialog antara etika dengan self-interest sebagai tindakan kalkulatif. Struktur terbuka yang dimaksudkan Sen ini kiranya lebih mendekati tepat kalau diinterprestasikan sebagai demokrasi politik.***
Wildan Pramudya, Aktif di LP3ES Jakarta, serta mengajar di fakultas Psikologi Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta.
Kepustakaan:
Force, Pierre, Self-Interest as a first principle, dalam Self-Interest Before Adam Smith. A Genealogy of Economics Science. (Cambridge: Cambridge University Press,2003)
Hirschman, Albert O., Passion and Interest. Political Argument for Capitalism before its Triumph (Princeton: Princeton University Press,(1977) 1977)
Hirschman, Albert O., The Concept of Interest: From Euphemism to Tautology, dalam Rival Views of Market Society and Other Recent Essays (New York: Elisabeth Sifton Books, 1986)
Hollis, Martin and Edward J. Nell, Rational Economic Man. A Philosophical critique of Neo-classical Economics. (London: Cambridge University Press, 1975)
Rogers, Kelly, (ed), Self-Interest. An Anthology of Philosophical Perspective (New York & London: Routledge, 1997)
Sen, Amartya K., Rational Fools: A Critique of the Behavioral Foundations of Economics Theory. Philosophy and Public Affairs, Vol.6, No.4 (Summer, 1977)
Sen, Amartya, Development as Freedom (New York: Knoff, 1999)
Title : Melampaui Self-Interest ► SEOer Mendem ►
URL : https://seomendem.blogspot.com/2010/01/melampaui-self-interest_24.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Melampaui Self-Interest ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.