Setelah Berlawan, Lalu? - uhuk="http://2.bp.blogspot.com/_9eHuZHq_LxY/S8uWbuCuLHI/AAAAAAAAAJg/e926x7nQPnc/s1600/Coen+photo.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}">ANALISA EKONOMI POLITIK
Coen Husain Pontoh
Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)
APA yang paling menakutkan elite kapitalis ketika terjadi krisis kapitalisme? Bangkrut? Keuntungan yang mendadak lenyap? Perang?
Ternyata bukan itu semua. Sejarah krisis kapitalisme menunjukkan, jika bangkrut para elite kapitalis ini bisa memengaruhi negara untuk terjun langsung menjadi pemain di pasar seperti pada Depresi Ekonomi 1930an, atau mengucurkan dana talangan seperti pada krisis ekonomi 2008 hingga kini. Jika keuntungan yang mendadak lenyap, mereka akan mencari sumber-sumber produksi dan pasar di lokasi geografis yang lain. Krisis kapitalisme 1970an, diselesaikan melalui model ini, yang penandanya adalah kebijakan neoliberalisme. Sementara jika terjadi perang, yang tersingkir adalah kapitalis yang lemah dan tidak efisien, digantikan dengan kapitalis yang lebih kuat dan lebih efisien. Perang berarti penghancuran alat-alat produksi dan hukum-hukum kerja yang telah menua dan melapuk, diganti dengan alat-alat produksi dan hukum-hukum kerja baru yang lebih canggih. Itu sebabnya, sebagian ekonom berpendapat, depresi ekonomi 1930an tidak diselesaikan melalui strategi Keynesianisme, melainkan melalui PD II.
ahref name='more'>
Ketakutan elite kapitalis dalam masa krisis kapitalisme, muncul di luar kalkulasi untung rugi secara ekonomi, yakni pada kalkulasi biaya-manfaat secara politik. Seperti kita ketahui, dalam masa krisis yang paling dirugikan adalah rakyat pekerja yang merupakan warga mayoritas. Mulai dari tingkat pendapatan yang menurun hingga kehilangan pekerjaan tetap, adalah kiamat kecil bagi mereka. Dan karena secara ekonomi mereka sangat lemah, maka kemampuannya untuk memengaruhi kebijakan negara agar berpihak kepadanya, juga kecil. Dalam masa krisis, prioritas utama negara bukanlah membantu penderitaan rakyat pekerja, tapi bagaimana meredam laju percepatan kebangkrutan kaum kapitalis.
Karena itu, satu-satunya jalan bagi rakyat pekerja untuk menyelamatkan dirinya dari penderitaan yang lebih parah, mereka harus mengorganisasikan dirinya, mengajukan tuntutan-tuntutan dan membangun perlawanan-perlawanan kepada negara. Tanpa desakan dan perlawanan ini, rakyat pekerja hanya akan terus menjadi pecundang di hadapan negara yang berpihak pada elite kapitalis. Dengan kata lain, semakin rakyat pekerja tercerai-berai, semakin negara tidak peduli pada kepentingannya.
Penekanan pada pengorganisasian dan persatuan rakyat pekerja, sungguh sangat penting dan mendesak. Benar bahwa krisis kapitalisme membuat kehidupan rakyat pekerja semakin memburuk, tapi krisis juga melahirkan aksi-aksi perlawanan yang bersifat spontan. Demonsrasi-demonstran dan pemogokan-pemogokan muncul di mana-mana.
Inilah yang terjadi sepanjang krisis kapitalisme pada 2008 kemarin hingga saat ini. Aksi-aksi perlawanan berlangsung mulai dari jantungnya krisis, Amerika Serikat, meluas ke Inggris, Jerman, Perancis, Portugis, Spanyol, Rumania, Irlandia, dan Yunani di Eropa; bergerak lagi ke Kyrgistan di Asia Tengah dan Indonesia serta Thailand di Asia Tenggara; lalu pindah lagi ke Amerika Latin. Jika aksi-aksi perlawanan ini tidak bisa dihentikan, maka eskalasinya akan semakin memanas, partisipannya akan semakin bertambah dengan tuntutan yang tidak hanya mengarah pada perlindungan kepentingan tertentu mereka tapi telah mengarah pada penggulingan kekuasaan negara; dari tuntutan yang sekadar ditujukan pada kapitalis perseorangan yang rakus menjadi mengarah pada kapitalis sebagai sebuah kelas.
Inilah kondisi yang paling ditakutkan oleh elite kapitalis dan kekuasaan negara yang menopangnya. Itu sebabnya beragam peringatan diberikan untuk mewaspadai kebangkitan aksi-aksi perlawanan ini. sebagai contoh, pada 21 Januari 2009, The Times melaporkan bahwa terdapat tanda-tanda akan tibanya abad baru pemberontakan. Dasarnya adalah munculnya kesadaran baru pada ratusan juta penduduk Eropa, Amerika dan Asia sebagai akibat jatuhnya secara cepat tingkat konsumsi mereka, krisis yang kian memburuk serta ketidakmampuan pihak berwajib untuk mengendalikan situasi. Dengan tingginya kekhawatiran itu, maka cara paling tepat untuk menghentikan gelombang perlawanan ini adalah menyelesaikan krisis ini secepat mungkin. Tetapi, ini ilusi karena akar krisis ini sudah begitu dalam melekat di tubuh kapitalisme, telah bersifat struktural dimana tidak ada jalan pintas untuk pemulihannya. Setiap tindakan ad hoc untuk mengatasi krisis hanya bermakna semakin memburuknya tingkat kehidupan rakyat pekerja.
Karena itu, maka cara paling gampang untuk mengatasi gelombang aksi perlawanan yang terus membesar dan menyebar ini adalah melalui tindakan kekerasan. Inilah metode paling sederhana yang usianya lebih tua dari umur kapitalisme itu sendiri. Lihatlah laporan U.S. Army War College pada Desember 2008, yang mengatakan bahwa krisis ekonomi yang menimpa AS saat ini bakal meledak menjadi pemberontakan sipil besar-besaran. Karena itu dibutuhkan kekuatan militer untuk menegakkan tertib sosial.
***
Tetapi aksi-aksi perlawanan yang muncul di masa krisis selalu bermakna ganda. Di satu sisi ia menerbitkan optimisme akan perubahan yang lebih baik. Di sisi lain ia adalah satu tapak menuju barbarisme sosial dan politik. Aksi-aksi spontan yang tidak terpimpin baik secara organisatoris maupun programatik, hanya akan melahirkan tindakan yang merusak dan rasis. Dengan mudah ribuan massa yang turun ke jalan-jalan diarahkan untuk menghancurkan fasilitas-fasilitas publik. Atau sebaliknya, aksi-aksi itu bukannya mengarahkan serangannya pada kekuasaan negara yang hanya melindungi kepentingan kelas kapitalis (konflik struktural), tapi malah meninju lapisan tertentu dalam masyarakat (konflik horisontal). Dalam kasus Jerman pasca PD I hingga menjelang kebangkitan Hilter dan Partai NAZI, sasaran kebencian massa ditujukan pada kaum Yahudi yang memang secara ekonomi tampak dominan. Di Indonesia, kelompok masyarakat keturunan Tionghoa dengan mudah menjadi sasaran kemarahan massa. Studi dari Initiative on Conflict Resolution and Ethnicity (INCORE), menyebutkan, konflik etnik telah terjadi pada tidak kurang dari 43 negara di seluruh dunia menjelang Peristiwa 11 September 2001.
Di sini, menarik untuk mencermati pengamatan ilmuwan politik Fred Halliday, dalam pengantarnya untuk buku Marxism and Philosophy, karya filsuf sekaligus aktivis revolusioner Jerman, Karl Korcsh. Dalam pengantarnya Halliday mengatakan, kekalahan aksi-aksi gerakan progresif-revolusioner di Jerman pada periode krisis 1920an, disebabkan oleh dua hal dimana keduanya saling berhubungan secara dialektik: pertama, tidak adanya organisasi revolusioner yang menjadi wadah bagi aksi-aksi revolusioner yang dilakukan oleh kelas pekerja Jerman saat itu. Akibatnya, aksi-aksi itu hanya berhenti pada sekadar aksi-aksi pengambilalihan pabrik tanpa kemampuan untuk mengambilalih kekuasaan negara. Kekosongan organisasional ini berujung pada dua keadaan: (1) gerakan perlawanan tersebut kemudian dimanfaatkan oleh elite untuk kepentingan mereka sendiril; dan (2), kekosongan itu – dalam kasus Jerman, kemudian diisi oleh partai NAZI yang sedang bangkit saat itu.
Ketiadaan organisasi revolusioner inilah yang juga dirasakan oleh Giles Ji Ungpakorn, seorang intelektual-cum aktivis terkemuka Thailand, ketika ia menganalisis perlawanan kelompok ‘Kaos Merah’ yang sedang membara di kota Bangkok, saat ini. “Tuntutan akan pemilu ulang,” demikian Ungpakorn, “tidak akan menyelesaikan masalah. Mereka harus bergerak lebih maju pada tuntutan revolusioner. Segala bentuk kompromi dengan kelompok elite royalis hanya akan melanggengkan rasa frustasi akan demokrasi selama ini… Masalah nyata yang harus dijawab oleh kelompok ‘Kaos Merah’ adalah how to seize the power.”
Kedua, ini menurut Korsch, ketidakmampuan untuk mengambilalih kekuasaan itu juga disebabkan oleh lemahnya, apa yang disebutnya, prakondisi sosio-psikologis. Di sini ia merujuk pada ketidakmampuan gerakan progresif untuk memenangkan program-program ideologis dan kepemimpinan politik di kalangan massa rakyat pekerja. Bagi Korsch, untuk bisa mengambilalih kekuasaan negara, rakyat pekerja mesti menyadari apa pentingnya pengambilalihan kekuasaan itu dan setelah diambilalih bentuk masyarakat seperti apa yang hendak dibangun kemudian. Tanpa ini, pengambilalihan kekuasaan negara menjadi musykil, dan kalau toh kekuasaan telah di tangan maka yang terjadi sebenarnya hanyalah ganti pemilik dengan baju dan langgam kerja yang sama. Pertarungan dan pemenangan ideologis ini mutlak, karena dalam pandangan Korcsh, ideologi kelas kapitalis tidak otomatis lenyap ketika kekuasaan negara telah berada di tangannya kelas pekerja.
Pernyataan Korsch ini memperoleh bukti empirisnya dalam kasus Stalinisme di Rusia. Dan gelombang aksi perlawanan yang akan dan terus membuncah ini diharapkan tidak mengulang kesalahan yang sama.***
Coen Husain Pontoh
Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)
APA yang paling menakutkan elite kapitalis ketika terjadi krisis kapitalisme? Bangkrut? Keuntungan yang mendadak lenyap? Perang?
Ternyata bukan itu semua. Sejarah krisis kapitalisme menunjukkan, jika bangkrut para elite kapitalis ini bisa memengaruhi negara untuk terjun langsung menjadi pemain di pasar seperti pada Depresi Ekonomi 1930an, atau mengucurkan dana talangan seperti pada krisis ekonomi 2008 hingga kini. Jika keuntungan yang mendadak lenyap, mereka akan mencari sumber-sumber produksi dan pasar di lokasi geografis yang lain. Krisis kapitalisme 1970an, diselesaikan melalui model ini, yang penandanya adalah kebijakan neoliberalisme. Sementara jika terjadi perang, yang tersingkir adalah kapitalis yang lemah dan tidak efisien, digantikan dengan kapitalis yang lebih kuat dan lebih efisien. Perang berarti penghancuran alat-alat produksi dan hukum-hukum kerja yang telah menua dan melapuk, diganti dengan alat-alat produksi dan hukum-hukum kerja baru yang lebih canggih. Itu sebabnya, sebagian ekonom berpendapat, depresi ekonomi 1930an tidak diselesaikan melalui strategi Keynesianisme, melainkan melalui PD II.
ahref name='more'>
Ketakutan elite kapitalis dalam masa krisis kapitalisme, muncul di luar kalkulasi untung rugi secara ekonomi, yakni pada kalkulasi biaya-manfaat secara politik. Seperti kita ketahui, dalam masa krisis yang paling dirugikan adalah rakyat pekerja yang merupakan warga mayoritas. Mulai dari tingkat pendapatan yang menurun hingga kehilangan pekerjaan tetap, adalah kiamat kecil bagi mereka. Dan karena secara ekonomi mereka sangat lemah, maka kemampuannya untuk memengaruhi kebijakan negara agar berpihak kepadanya, juga kecil. Dalam masa krisis, prioritas utama negara bukanlah membantu penderitaan rakyat pekerja, tapi bagaimana meredam laju percepatan kebangkrutan kaum kapitalis.
Karena itu, satu-satunya jalan bagi rakyat pekerja untuk menyelamatkan dirinya dari penderitaan yang lebih parah, mereka harus mengorganisasikan dirinya, mengajukan tuntutan-tuntutan dan membangun perlawanan-perlawanan kepada negara. Tanpa desakan dan perlawanan ini, rakyat pekerja hanya akan terus menjadi pecundang di hadapan negara yang berpihak pada elite kapitalis. Dengan kata lain, semakin rakyat pekerja tercerai-berai, semakin negara tidak peduli pada kepentingannya.
Penekanan pada pengorganisasian dan persatuan rakyat pekerja, sungguh sangat penting dan mendesak. Benar bahwa krisis kapitalisme membuat kehidupan rakyat pekerja semakin memburuk, tapi krisis juga melahirkan aksi-aksi perlawanan yang bersifat spontan. Demonsrasi-demonstran dan pemogokan-pemogokan muncul di mana-mana.
Inilah yang terjadi sepanjang krisis kapitalisme pada 2008 kemarin hingga saat ini. Aksi-aksi perlawanan berlangsung mulai dari jantungnya krisis, Amerika Serikat, meluas ke Inggris, Jerman, Perancis, Portugis, Spanyol, Rumania, Irlandia, dan Yunani di Eropa; bergerak lagi ke Kyrgistan di Asia Tengah dan Indonesia serta Thailand di Asia Tenggara; lalu pindah lagi ke Amerika Latin. Jika aksi-aksi perlawanan ini tidak bisa dihentikan, maka eskalasinya akan semakin memanas, partisipannya akan semakin bertambah dengan tuntutan yang tidak hanya mengarah pada perlindungan kepentingan tertentu mereka tapi telah mengarah pada penggulingan kekuasaan negara; dari tuntutan yang sekadar ditujukan pada kapitalis perseorangan yang rakus menjadi mengarah pada kapitalis sebagai sebuah kelas.
Inilah kondisi yang paling ditakutkan oleh elite kapitalis dan kekuasaan negara yang menopangnya. Itu sebabnya beragam peringatan diberikan untuk mewaspadai kebangkitan aksi-aksi perlawanan ini. sebagai contoh, pada 21 Januari 2009, The Times melaporkan bahwa terdapat tanda-tanda akan tibanya abad baru pemberontakan. Dasarnya adalah munculnya kesadaran baru pada ratusan juta penduduk Eropa, Amerika dan Asia sebagai akibat jatuhnya secara cepat tingkat konsumsi mereka, krisis yang kian memburuk serta ketidakmampuan pihak berwajib untuk mengendalikan situasi. Dengan tingginya kekhawatiran itu, maka cara paling tepat untuk menghentikan gelombang perlawanan ini adalah menyelesaikan krisis ini secepat mungkin. Tetapi, ini ilusi karena akar krisis ini sudah begitu dalam melekat di tubuh kapitalisme, telah bersifat struktural dimana tidak ada jalan pintas untuk pemulihannya. Setiap tindakan ad hoc untuk mengatasi krisis hanya bermakna semakin memburuknya tingkat kehidupan rakyat pekerja.
Karena itu, maka cara paling gampang untuk mengatasi gelombang aksi perlawanan yang terus membesar dan menyebar ini adalah melalui tindakan kekerasan. Inilah metode paling sederhana yang usianya lebih tua dari umur kapitalisme itu sendiri. Lihatlah laporan U.S. Army War College pada Desember 2008, yang mengatakan bahwa krisis ekonomi yang menimpa AS saat ini bakal meledak menjadi pemberontakan sipil besar-besaran. Karena itu dibutuhkan kekuatan militer untuk menegakkan tertib sosial.
***
Tetapi aksi-aksi perlawanan yang muncul di masa krisis selalu bermakna ganda. Di satu sisi ia menerbitkan optimisme akan perubahan yang lebih baik. Di sisi lain ia adalah satu tapak menuju barbarisme sosial dan politik. Aksi-aksi spontan yang tidak terpimpin baik secara organisatoris maupun programatik, hanya akan melahirkan tindakan yang merusak dan rasis. Dengan mudah ribuan massa yang turun ke jalan-jalan diarahkan untuk menghancurkan fasilitas-fasilitas publik. Atau sebaliknya, aksi-aksi itu bukannya mengarahkan serangannya pada kekuasaan negara yang hanya melindungi kepentingan kelas kapitalis (konflik struktural), tapi malah meninju lapisan tertentu dalam masyarakat (konflik horisontal). Dalam kasus Jerman pasca PD I hingga menjelang kebangkitan Hilter dan Partai NAZI, sasaran kebencian massa ditujukan pada kaum Yahudi yang memang secara ekonomi tampak dominan. Di Indonesia, kelompok masyarakat keturunan Tionghoa dengan mudah menjadi sasaran kemarahan massa. Studi dari Initiative on Conflict Resolution and Ethnicity (INCORE), menyebutkan, konflik etnik telah terjadi pada tidak kurang dari 43 negara di seluruh dunia menjelang Peristiwa 11 September 2001.
Di sini, menarik untuk mencermati pengamatan ilmuwan politik Fred Halliday, dalam pengantarnya untuk buku Marxism and Philosophy, karya filsuf sekaligus aktivis revolusioner Jerman, Karl Korcsh. Dalam pengantarnya Halliday mengatakan, kekalahan aksi-aksi gerakan progresif-revolusioner di Jerman pada periode krisis 1920an, disebabkan oleh dua hal dimana keduanya saling berhubungan secara dialektik: pertama, tidak adanya organisasi revolusioner yang menjadi wadah bagi aksi-aksi revolusioner yang dilakukan oleh kelas pekerja Jerman saat itu. Akibatnya, aksi-aksi itu hanya berhenti pada sekadar aksi-aksi pengambilalihan pabrik tanpa kemampuan untuk mengambilalih kekuasaan negara. Kekosongan organisasional ini berujung pada dua keadaan: (1) gerakan perlawanan tersebut kemudian dimanfaatkan oleh elite untuk kepentingan mereka sendiril; dan (2), kekosongan itu – dalam kasus Jerman, kemudian diisi oleh partai NAZI yang sedang bangkit saat itu.
Ketiadaan organisasi revolusioner inilah yang juga dirasakan oleh Giles Ji Ungpakorn, seorang intelektual-cum aktivis terkemuka Thailand, ketika ia menganalisis perlawanan kelompok ‘Kaos Merah’ yang sedang membara di kota Bangkok, saat ini. “Tuntutan akan pemilu ulang,” demikian Ungpakorn, “tidak akan menyelesaikan masalah. Mereka harus bergerak lebih maju pada tuntutan revolusioner. Segala bentuk kompromi dengan kelompok elite royalis hanya akan melanggengkan rasa frustasi akan demokrasi selama ini… Masalah nyata yang harus dijawab oleh kelompok ‘Kaos Merah’ adalah how to seize the power.”
Kedua, ini menurut Korsch, ketidakmampuan untuk mengambilalih kekuasaan itu juga disebabkan oleh lemahnya, apa yang disebutnya, prakondisi sosio-psikologis. Di sini ia merujuk pada ketidakmampuan gerakan progresif untuk memenangkan program-program ideologis dan kepemimpinan politik di kalangan massa rakyat pekerja. Bagi Korsch, untuk bisa mengambilalih kekuasaan negara, rakyat pekerja mesti menyadari apa pentingnya pengambilalihan kekuasaan itu dan setelah diambilalih bentuk masyarakat seperti apa yang hendak dibangun kemudian. Tanpa ini, pengambilalihan kekuasaan negara menjadi musykil, dan kalau toh kekuasaan telah di tangan maka yang terjadi sebenarnya hanyalah ganti pemilik dengan baju dan langgam kerja yang sama. Pertarungan dan pemenangan ideologis ini mutlak, karena dalam pandangan Korcsh, ideologi kelas kapitalis tidak otomatis lenyap ketika kekuasaan negara telah berada di tangannya kelas pekerja.
Pernyataan Korsch ini memperoleh bukti empirisnya dalam kasus Stalinisme di Rusia. Dan gelombang aksi perlawanan yang akan dan terus membuncah ini diharapkan tidak mengulang kesalahan yang sama.***
Title : Setelah Berlawan, Lalu? ► SEOer Mendem ►
URL : https://seomendem.blogspot.com/2010/04/setelah-berlawan-lalu_18.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Setelah Berlawan, Lalu? ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.