Belajar Sampai Ke Cina? - uhuk="http://4.bp.blogspot.com/_9eHuZHq_LxY/S95KRU7i7iI/AAAAAAAAAJ4/L8_vmnnoAF8/s1600/Coen+photo.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}">ANALISA EKONOMI POLITIK
Coen Husain Pontoh
Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)
DALAM rangka menyambut 60 tahun hubungan Indonesia-Cina, majalah Tempo edisi 26 April, menurunkan Liputan Khusus dengan tema “Memburu Investasi”. Dalam laporan panjang itu, terungkap bagaimana timpangnya hubungan dagang di antara kedua negara berpenduduk besar ini: barang-barang Cina, mulai dari produk elektronika hingga buah jeruk membanjiri pasar dalam negeri Indonesia. Tapi tidak sebaliknya.
Ada nada kekhawatiran yang sangat dalam hubungan dagang yang timpang itu. Sayangnya, solusinya terlalu klasik, mengulang-ulang dan membosankan: Indonesia harus memperbaiki sarana infratruktur ekonomi dan menghilangkan ekonomi biaya tinggi. Saya sebut resep ini klasik, karena solusi semacam ini telah tak terkira dilontarkan. Mulai dari masa jayanya rejim orde baru (orba) Suharto, hingga 12 tahun kekuasaan rejim elektoral sekarang. Tapi, semuanya menguap di sapu jaman yang enggan menunggu langkah-langkah nyata.
ahref name='more'>
Namun demikian, di balik kekhawatiran itu, laporan tersebut menyiratkan optimisme akan masa depan hubungan kedua negara di bidang ekonomi. Sebabnya adalah postur ekonomi Cina yang begitu menakjubkan di satu sisi dan potensi pasar domestik yang jika dikelola benar masih begitu potensial. Itu sebabnya, diplomasi ekonomi dan politik pun gencar dilakukan, tidak hanya melibatkan pemerintah kedua negara tapi juga para pebisnis.
Tetapi seberapa jauh manfaat peningkatan hubungan ekonomi kedua negara bagi rakyat pekerja di Indonesia dan juga di Cina? Pertanyaan ini patut diajukan karena kita selalu silau dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kesilauan itu telah menyebabkan kaburnya pandangan kita terhadap realitas rakyat pekerja, karena mereka dianggap pasti diuntungkan jika hubungan itu benar-benar terwujud. Padahal kita telah diajar oleh sejarah ekonomi orde baru, bahwa pertumbuhan yang tinggi tidak berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan dan kemerdekaan rakyat pekerja. Ekonomi orba yang pernah mencapai angka 7-8 persen per tahun, ternyata tegak di atas struktur sosial yang timpang dan menindas.
Struktur Ekonomi Cina
Kelemahan utama sebagian besar pengamat ekonomi Cina di Indonesia, adalah mereka sangat abai pada struktur ekonomi negara mantan tirai bambu itu. Karena terlanjur kagum pada angka, mereka enggan atau malas menelaah siapa sebenarnya pemain ekonomi dominan di Cina saat ini, sekokoh apa pondasi ekonominya, serta bagaimana dampaknya bagi rakyat pekerja.
Studi-studi yang bertebaran saat ini menunjukkan, penggerak utama pertumbuhan ekonomi Cina adalah sektor ekspor. Studi ekonom John Whalley dan Xian Xin pada 2006 menunjukkan, rasio ekspor terhadap produk domestik bruto (GDP) melonjak dari 16 persen pada 1990 menjadi lebih dari 40 persen pada 2006. Dan menariknya, pemain utama dari sektor ekspor ini adalah korporasi multinasional, khususnya yang beroperasi di sektor manufaktur. Panguasaan asing ini meningkat dari dua persen pada 1985 menjadi 85 persen pada 2005 (dan untuk sektor ekspor teknologi tinggi penguasaannya mencapai 80 persen). Ekonom Enrique Dussel Peters mengatakan, pada 2005 total ekspor yang 100 persen dikuasai asing juga meningkat pesat.
Sekarang kita lihat ekspor di sektor teknologi informasi, khususnya komputer, yang kini menjadi primadona ekspor Cina. Menurut ekonom Martin Hans-Landsberg (2010), pada awal 1980 sebagai bagian dari proyek reformasi ekonomi Deng Xiaoping, pemerintah Cina memutuskan untuk mengurangi pembiayaan langsung beragam lembaga riset milik negara, dengan maksud memaksa lembaga-lembaga tersebut untuk membiayai dirinya sendiri. Merespon kebijakan pemerintah ini, lembaga-lembaga riset itu kemudian dibangun kembali dengan orientasi mencari keuntungan dan mencari sendiri sumber-sumber pembiayaannya. Hasilnya, beberapa di antara lembaga-lembaga itu bertransformasi menjadi perusahaan perakit dan pembuat komputer yang sukses. Empat di antaranya yang paling sukses adalah Legend (kini Lenovo), Founder, Great Wall Computer, dan Stone.
Keempat perusahaan ini dengan segera berkembang pesat dan mendominasi pasar domestik yang luar biasa besar. Tetapi pada pertengahan 1990an, kondisi ini berubah. Dengan struktur ekonomi yang makin terintegrasi dengan sistem kapitalisme global, perekonomian Cina juga menjadi tergantung pada kapital internasional yang kemudian menjebak jaringan kerja nasional. Keterbukaan dan ketergantungan ini membuat pemerintah Cina tidak leluasa membuat keputusan yang independen, malah “dipaksa” menghapuskan aturan-aturan yang membatasi operasi korporasi multinasional di pasar domestik.
Hasilnya, bisa ditebak. Jika ingin bertahan hidup dengan skala usaha besar dan kompetitif, perusahaan-perusahaan domestik ini hanya punya dua pilihan: bekerja sama atau menjual dirinya ke korporasi multinasional. Lenovo, misalnya, akhirnya menjalin kerjasama dengan raksasa IBM pada 2005, sehingga tetap menjadi penjual PC terbesar di Cina. Tetapi marjin keuntungannya terus digerogoti oleh HP dan Dell, yang membangun sendiri jaringan distribusinya. Jika pada 2006 pangsa pasar Lenovo sebesar 36 persen, maka pada 2007 jatuh hingga tinggal 29 persen.
Kondisi megap-megap di pasar domestik ini, terefleksi pada sektor ekspor. Ketika Cina kini menjadi eksportir produk teknologi informasi terbesar di dunia, diperkirakan sekitar 80 persen kontribusi Cina dalam aktivitas ini hanya terbatas pada penyediaan tanah dan buruh murah. Eksportir rill adalah perusahaan komputer yang berbasis di Taiwan, yang memindahkan produksinya ke Cina Daratan. Jika pada 2001 perusahaan komputer Taiwan ini hanya mengerjakan empat persen komputer mereka di Cina, lima tahun kemudian 100 persen produksinya dibuat di Cina.
Potret ekspor seperti ini berimplikasi pada lemahnya kapasitas Cina untuk membangun teknologinya yang independen. Dalam bahasa ekonom Han Deqiang, “di Cina, setiap industri yang ingin membangun teknologi atau pasarnya sendiri, harus berhadapan dengan penghalang yang sangat besar.” Penghalang yang bukan berasal dari pemerintah (neoliberal), tapi dari ketidakmampuannya bersaing dengan korporasi multinasional.
Struktur Sosial
Kini, mari kita lihat siapa yang untung dan siapa yang buntung dari struktur ekonomi sedemikian.
Laporan organisasi perburuhan internasional (ILO) 2005 menyebutkan, total jumlah buruh manufaktur perkotaan yang bekerja secara reguler di Cina, turun dalam periode 1990-2002, yakni dari 53.9 juta menjadi 37,3 juta. Anehnya, terjadi peningkatan jumlah pekerja perkotaan dalam periode tersebut. Kontradiktif? Tidak, karena yang meningkat ini adalah buruh tidak tetap seperti pekerja bangunan, pelayan dan tukang bersih-bersih, pedagang eceran, pedagang kaki lima, pembantu rumah tangga, dsb. lebih spesifik, semikian Landsberg, dalam periode 13 tahun total pekerja perkotaan bertumbuh sebesar 81,7 juta, dimana 80 juta di antaranya adalah pekerja tidak tetap.
Sialnya, mereka yang bekerja tetap ini atau mereka yang baru memperoleh pekerjaan, gajinya sangat rendah dengan kondisi kerja yang buruk. Walaupun terjadi kenaikan upah dua kali lipat dalam periode 2002-2005, rata-rata upah manufaktur hanya sebesar $60 cent (Rp. 5.409) per jam, kalah dibanding dengan upah buruh Meksiko sebesar $2.46 per jam.
Jatuhnya tingkat kesejahteraan di pedesaan setelah reformasi ekonomi, menyebabkan migrasi internal (urbanisasi) besar-besaran di Cina. Setelah lebih dari 25 tahun reformasi, 150-200 juta penduduk pedesaan menyerbu kota. Walaupun urbanisasi ini berlangsung secara legal, tetapi dari segi ketrampilan kerja mayoritas dari mereka tidak tertampung di sektor formal. Selain itu sebagai pendatang di kota, mereka juga memperoleh perlakuan diskriminatif oleh pemerintah kota. Misalnya, mereka harus membayar setiap kali mendaftar untuk memperoleh ijin tinggal sementara, tidak memperoleh fasilitas publik seperti penduduk asli perkotaan (misalnya pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis atau murah dan jamin pensiun). Bahkan anak mereka yang lahir di kota pun tidak memperoleh fasilitas publik ini.
Membludaknya urbanisasi ini menjadi daya tawar utama bagi pemerintah dan korporasi untuk terus mempertahankan upah serendah mungkin. Pada saat yang sama, jam kerja yang panjang juga tetap berlangsung pada mereka yang tengah bekerja. Seperti yang terjadi pada perusahaan Foxconn, sebuah perusahaan subkontraktor besar milik Taiwan yang mengerjakan produk untuk Apple dan Dell di wilayah Senzhen. Perusahaan ini diketahui menggaji buruhnya sebesar $32 untuk waktu kerja selama 60 jam per seminggu.
Itulah kondisi mereka yang buntung. Lalu, siapa yang untung? Menurut studi Boston Consulting Group, pada 2005 Cina memiliki 250 ribu rumah tangga yang menggenggam jutaan dollar Amerika. Jumlah sebanyak itu hanya sebesar 0.4 persen dari total rumah tangga, tetapi menguasai 70 persen kekayaan negara. Laporan lain yang dikeluarkan Rupert Hoogewart yang setiap tahun merilis 1000 orang terkaya Cina, jumlah pemegang milyaran dollar Amerika berkembang dari nol pada 2003 menjadi 260 ada 2009. Jumlah ini adalah yang terbesar di banding negara manapun di dunia kecuali Amerika Serikat.
Jika ditelisik lebih jauh lagi, para superkaya itu adalah mereka yang berasal atau memiliki kedekatan dengan pejabat teras negara, partai, dan korporasi. Melalui penguasaan atau posisi-posisi kunci tersebut mereka membagi-bagi manfaat ekonomi di kalangan keluarga, kerabat, dan kenalan. Sebagian besar anak dari pejabat partai, yang dikenal dengan sebutan “princelings” diketahui menduduki posisi-posisi kunci di “sektor paling strategis dan industri yang paling menguntungkan: perbankan, transportasi, pembangkit listrik, sumberdaya alam, media, dan persenjataan. Ilmuwa politik Peter Kwong dari Hunter College City University of New York mengatakan, 90 persen dari 20 orang terkaya Cina memperoleh kekayaannya sebagai hasil dari hubungannya dengan pejabat-pejabat senior pemerintah dan partai komunis Cina.
Inilah sebabnya, mengapa pemerintah Cina tetap mempertahankan strategi pembangunan neoliberal saat ini, karena mereka, seperti juga korporasi nasional dan multinasional, adalah pihak yang paling diuntungkan.
Kesimpulan
Dengan mengetahui struktur ekonomi dan struktur sosial Cina kontemporer, ketika hendak membangun hubungan dengan Cina adalah naif jika menganggap kita sedang berhadapan dengan sebuah negara-bangsa dalam pengertian Keynesianisme atau sosial-demokrasi, yakni negara bangsa yang bisa bertindak otonom terhadap mekanisme pasar.
Negara Cina saat ini adalah sebuah negara neoliberal yang bersama-sama dengan korporasi transnasional serta lembaga-lembaga multilateral membangun aliansi, yang disebut oleh sosiolog William I. Robinson sebagai transnational state (TNS). Dengan adanya aliansi ini pembicaraan tentang negara bangsa yang kepentingannya dibatasi oleh cakupan teritorialnya, tidak tidak lagi relevan. Dalam formasi sosial yang baru ini, negara nasional bukannya lenyap tapi bertransformasi menjadi sebuah bentuk yang baru. Mereka tidak lagi terbatas memfasilitasi, memediasi, dan melindungi borjuasi nasional, tapi borjuasi keseluruhan; tidak lagi mengutamakan kepentingan ekonomi nasional melainkan kepentingan sistem kapitalisme-neoliberal. Dalam aliansi baru ini pula, tidak ada lagi borjuasi nasional yang progresif, yang berani menantang dominasi korporasi multinasional. Sebaliknya, borjuasinya menjadi lebih konservatif.
Sementara kepentingan rakyat pekerja, tetap menempati urutan paling buncit.***
Coen Husain Pontoh
Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)
DALAM rangka menyambut 60 tahun hubungan Indonesia-Cina, majalah Tempo edisi 26 April, menurunkan Liputan Khusus dengan tema “Memburu Investasi”. Dalam laporan panjang itu, terungkap bagaimana timpangnya hubungan dagang di antara kedua negara berpenduduk besar ini: barang-barang Cina, mulai dari produk elektronika hingga buah jeruk membanjiri pasar dalam negeri Indonesia. Tapi tidak sebaliknya.
Ada nada kekhawatiran yang sangat dalam hubungan dagang yang timpang itu. Sayangnya, solusinya terlalu klasik, mengulang-ulang dan membosankan: Indonesia harus memperbaiki sarana infratruktur ekonomi dan menghilangkan ekonomi biaya tinggi. Saya sebut resep ini klasik, karena solusi semacam ini telah tak terkira dilontarkan. Mulai dari masa jayanya rejim orde baru (orba) Suharto, hingga 12 tahun kekuasaan rejim elektoral sekarang. Tapi, semuanya menguap di sapu jaman yang enggan menunggu langkah-langkah nyata.
ahref name='more'>
Namun demikian, di balik kekhawatiran itu, laporan tersebut menyiratkan optimisme akan masa depan hubungan kedua negara di bidang ekonomi. Sebabnya adalah postur ekonomi Cina yang begitu menakjubkan di satu sisi dan potensi pasar domestik yang jika dikelola benar masih begitu potensial. Itu sebabnya, diplomasi ekonomi dan politik pun gencar dilakukan, tidak hanya melibatkan pemerintah kedua negara tapi juga para pebisnis.
Tetapi seberapa jauh manfaat peningkatan hubungan ekonomi kedua negara bagi rakyat pekerja di Indonesia dan juga di Cina? Pertanyaan ini patut diajukan karena kita selalu silau dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kesilauan itu telah menyebabkan kaburnya pandangan kita terhadap realitas rakyat pekerja, karena mereka dianggap pasti diuntungkan jika hubungan itu benar-benar terwujud. Padahal kita telah diajar oleh sejarah ekonomi orde baru, bahwa pertumbuhan yang tinggi tidak berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan dan kemerdekaan rakyat pekerja. Ekonomi orba yang pernah mencapai angka 7-8 persen per tahun, ternyata tegak di atas struktur sosial yang timpang dan menindas.
Struktur Ekonomi Cina
Kelemahan utama sebagian besar pengamat ekonomi Cina di Indonesia, adalah mereka sangat abai pada struktur ekonomi negara mantan tirai bambu itu. Karena terlanjur kagum pada angka, mereka enggan atau malas menelaah siapa sebenarnya pemain ekonomi dominan di Cina saat ini, sekokoh apa pondasi ekonominya, serta bagaimana dampaknya bagi rakyat pekerja.
Studi-studi yang bertebaran saat ini menunjukkan, penggerak utama pertumbuhan ekonomi Cina adalah sektor ekspor. Studi ekonom John Whalley dan Xian Xin pada 2006 menunjukkan, rasio ekspor terhadap produk domestik bruto (GDP) melonjak dari 16 persen pada 1990 menjadi lebih dari 40 persen pada 2006. Dan menariknya, pemain utama dari sektor ekspor ini adalah korporasi multinasional, khususnya yang beroperasi di sektor manufaktur. Panguasaan asing ini meningkat dari dua persen pada 1985 menjadi 85 persen pada 2005 (dan untuk sektor ekspor teknologi tinggi penguasaannya mencapai 80 persen). Ekonom Enrique Dussel Peters mengatakan, pada 2005 total ekspor yang 100 persen dikuasai asing juga meningkat pesat.
Sekarang kita lihat ekspor di sektor teknologi informasi, khususnya komputer, yang kini menjadi primadona ekspor Cina. Menurut ekonom Martin Hans-Landsberg (2010), pada awal 1980 sebagai bagian dari proyek reformasi ekonomi Deng Xiaoping, pemerintah Cina memutuskan untuk mengurangi pembiayaan langsung beragam lembaga riset milik negara, dengan maksud memaksa lembaga-lembaga tersebut untuk membiayai dirinya sendiri. Merespon kebijakan pemerintah ini, lembaga-lembaga riset itu kemudian dibangun kembali dengan orientasi mencari keuntungan dan mencari sendiri sumber-sumber pembiayaannya. Hasilnya, beberapa di antara lembaga-lembaga itu bertransformasi menjadi perusahaan perakit dan pembuat komputer yang sukses. Empat di antaranya yang paling sukses adalah Legend (kini Lenovo), Founder, Great Wall Computer, dan Stone.
Keempat perusahaan ini dengan segera berkembang pesat dan mendominasi pasar domestik yang luar biasa besar. Tetapi pada pertengahan 1990an, kondisi ini berubah. Dengan struktur ekonomi yang makin terintegrasi dengan sistem kapitalisme global, perekonomian Cina juga menjadi tergantung pada kapital internasional yang kemudian menjebak jaringan kerja nasional. Keterbukaan dan ketergantungan ini membuat pemerintah Cina tidak leluasa membuat keputusan yang independen, malah “dipaksa” menghapuskan aturan-aturan yang membatasi operasi korporasi multinasional di pasar domestik.
Hasilnya, bisa ditebak. Jika ingin bertahan hidup dengan skala usaha besar dan kompetitif, perusahaan-perusahaan domestik ini hanya punya dua pilihan: bekerja sama atau menjual dirinya ke korporasi multinasional. Lenovo, misalnya, akhirnya menjalin kerjasama dengan raksasa IBM pada 2005, sehingga tetap menjadi penjual PC terbesar di Cina. Tetapi marjin keuntungannya terus digerogoti oleh HP dan Dell, yang membangun sendiri jaringan distribusinya. Jika pada 2006 pangsa pasar Lenovo sebesar 36 persen, maka pada 2007 jatuh hingga tinggal 29 persen.
Kondisi megap-megap di pasar domestik ini, terefleksi pada sektor ekspor. Ketika Cina kini menjadi eksportir produk teknologi informasi terbesar di dunia, diperkirakan sekitar 80 persen kontribusi Cina dalam aktivitas ini hanya terbatas pada penyediaan tanah dan buruh murah. Eksportir rill adalah perusahaan komputer yang berbasis di Taiwan, yang memindahkan produksinya ke Cina Daratan. Jika pada 2001 perusahaan komputer Taiwan ini hanya mengerjakan empat persen komputer mereka di Cina, lima tahun kemudian 100 persen produksinya dibuat di Cina.
Potret ekspor seperti ini berimplikasi pada lemahnya kapasitas Cina untuk membangun teknologinya yang independen. Dalam bahasa ekonom Han Deqiang, “di Cina, setiap industri yang ingin membangun teknologi atau pasarnya sendiri, harus berhadapan dengan penghalang yang sangat besar.” Penghalang yang bukan berasal dari pemerintah (neoliberal), tapi dari ketidakmampuannya bersaing dengan korporasi multinasional.
Struktur Sosial
Kini, mari kita lihat siapa yang untung dan siapa yang buntung dari struktur ekonomi sedemikian.
Laporan organisasi perburuhan internasional (ILO) 2005 menyebutkan, total jumlah buruh manufaktur perkotaan yang bekerja secara reguler di Cina, turun dalam periode 1990-2002, yakni dari 53.9 juta menjadi 37,3 juta. Anehnya, terjadi peningkatan jumlah pekerja perkotaan dalam periode tersebut. Kontradiktif? Tidak, karena yang meningkat ini adalah buruh tidak tetap seperti pekerja bangunan, pelayan dan tukang bersih-bersih, pedagang eceran, pedagang kaki lima, pembantu rumah tangga, dsb. lebih spesifik, semikian Landsberg, dalam periode 13 tahun total pekerja perkotaan bertumbuh sebesar 81,7 juta, dimana 80 juta di antaranya adalah pekerja tidak tetap.
Sialnya, mereka yang bekerja tetap ini atau mereka yang baru memperoleh pekerjaan, gajinya sangat rendah dengan kondisi kerja yang buruk. Walaupun terjadi kenaikan upah dua kali lipat dalam periode 2002-2005, rata-rata upah manufaktur hanya sebesar $60 cent (Rp. 5.409) per jam, kalah dibanding dengan upah buruh Meksiko sebesar $2.46 per jam.
Jatuhnya tingkat kesejahteraan di pedesaan setelah reformasi ekonomi, menyebabkan migrasi internal (urbanisasi) besar-besaran di Cina. Setelah lebih dari 25 tahun reformasi, 150-200 juta penduduk pedesaan menyerbu kota. Walaupun urbanisasi ini berlangsung secara legal, tetapi dari segi ketrampilan kerja mayoritas dari mereka tidak tertampung di sektor formal. Selain itu sebagai pendatang di kota, mereka juga memperoleh perlakuan diskriminatif oleh pemerintah kota. Misalnya, mereka harus membayar setiap kali mendaftar untuk memperoleh ijin tinggal sementara, tidak memperoleh fasilitas publik seperti penduduk asli perkotaan (misalnya pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis atau murah dan jamin pensiun). Bahkan anak mereka yang lahir di kota pun tidak memperoleh fasilitas publik ini.
Membludaknya urbanisasi ini menjadi daya tawar utama bagi pemerintah dan korporasi untuk terus mempertahankan upah serendah mungkin. Pada saat yang sama, jam kerja yang panjang juga tetap berlangsung pada mereka yang tengah bekerja. Seperti yang terjadi pada perusahaan Foxconn, sebuah perusahaan subkontraktor besar milik Taiwan yang mengerjakan produk untuk Apple dan Dell di wilayah Senzhen. Perusahaan ini diketahui menggaji buruhnya sebesar $32 untuk waktu kerja selama 60 jam per seminggu.
Itulah kondisi mereka yang buntung. Lalu, siapa yang untung? Menurut studi Boston Consulting Group, pada 2005 Cina memiliki 250 ribu rumah tangga yang menggenggam jutaan dollar Amerika. Jumlah sebanyak itu hanya sebesar 0.4 persen dari total rumah tangga, tetapi menguasai 70 persen kekayaan negara. Laporan lain yang dikeluarkan Rupert Hoogewart yang setiap tahun merilis 1000 orang terkaya Cina, jumlah pemegang milyaran dollar Amerika berkembang dari nol pada 2003 menjadi 260 ada 2009. Jumlah ini adalah yang terbesar di banding negara manapun di dunia kecuali Amerika Serikat.
Jika ditelisik lebih jauh lagi, para superkaya itu adalah mereka yang berasal atau memiliki kedekatan dengan pejabat teras negara, partai, dan korporasi. Melalui penguasaan atau posisi-posisi kunci tersebut mereka membagi-bagi manfaat ekonomi di kalangan keluarga, kerabat, dan kenalan. Sebagian besar anak dari pejabat partai, yang dikenal dengan sebutan “princelings” diketahui menduduki posisi-posisi kunci di “sektor paling strategis dan industri yang paling menguntungkan: perbankan, transportasi, pembangkit listrik, sumberdaya alam, media, dan persenjataan. Ilmuwa politik Peter Kwong dari Hunter College City University of New York mengatakan, 90 persen dari 20 orang terkaya Cina memperoleh kekayaannya sebagai hasil dari hubungannya dengan pejabat-pejabat senior pemerintah dan partai komunis Cina.
Inilah sebabnya, mengapa pemerintah Cina tetap mempertahankan strategi pembangunan neoliberal saat ini, karena mereka, seperti juga korporasi nasional dan multinasional, adalah pihak yang paling diuntungkan.
Kesimpulan
Dengan mengetahui struktur ekonomi dan struktur sosial Cina kontemporer, ketika hendak membangun hubungan dengan Cina adalah naif jika menganggap kita sedang berhadapan dengan sebuah negara-bangsa dalam pengertian Keynesianisme atau sosial-demokrasi, yakni negara bangsa yang bisa bertindak otonom terhadap mekanisme pasar.
Negara Cina saat ini adalah sebuah negara neoliberal yang bersama-sama dengan korporasi transnasional serta lembaga-lembaga multilateral membangun aliansi, yang disebut oleh sosiolog William I. Robinson sebagai transnational state (TNS). Dengan adanya aliansi ini pembicaraan tentang negara bangsa yang kepentingannya dibatasi oleh cakupan teritorialnya, tidak tidak lagi relevan. Dalam formasi sosial yang baru ini, negara nasional bukannya lenyap tapi bertransformasi menjadi sebuah bentuk yang baru. Mereka tidak lagi terbatas memfasilitasi, memediasi, dan melindungi borjuasi nasional, tapi borjuasi keseluruhan; tidak lagi mengutamakan kepentingan ekonomi nasional melainkan kepentingan sistem kapitalisme-neoliberal. Dalam aliansi baru ini pula, tidak ada lagi borjuasi nasional yang progresif, yang berani menantang dominasi korporasi multinasional. Sebaliknya, borjuasinya menjadi lebih konservatif.
Sementara kepentingan rakyat pekerja, tetap menempati urutan paling buncit.***
Title : Belajar Sampai Ke Cina? ► SEOer Mendem ►
URL : https://seomendem.blogspot.com/2010/05/belajar-sampai-ke-cina_2.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Belajar Sampai Ke Cina? ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.