Merebut Kembali Negara - --Tanggapan Atas uhuk="http://www.blogger.com/comment.g?blogID=20834551&postID=114104278628660900">Tanggapan
Syaiful Haq
ARTIKELA saya yang berjudul “ uhuk="http://indoprogress.blogspot.com/2006/02/liberalisasi-sektor-keamanan.html">Liberalisasi Sektor Keamanan,” telah mendapatkan uhuk="http://www.blogger.com/comment.g?blogID=20834551&postID=114104278628660900">tanggapan berbobot dari rekan Roysepta Abimanyu dan Philip Jusario Vermonte. Kiranya pantas buat saya untuk memberikan sebuah tanggapan atas tanggapan. Tujuannya untuk menjelaskan asumsi pemikiran saya dalam tulisan tersebut. Tulisan kali ini juga mencoba lebih maju dengan menyajikan bagaimana demokrasi, hak asasi manusia dan securitization, merupakan diskursus yang juga dipakai, bahkan kini didominasi oleh para pendukung neoliberalisme.
ahref name='more'>Tulisan saya sebelumnya bertumpu pada asumsi yang melihat agenda Global Security sebagai bagian tak terpisahkan dari agenda neoliberal. Sedangkan tulisan ini ditujukan untuk memeriksa atau dengan bahasa yang lebih ekstrem, mencoba mencurigai adanya hidden agenda dari negara-negara maju dalam persoalan global security. Hal lain, tulisan ini mencoba memotret persoalan keamanan tidak melulu dari persoalan pertentangan antar negara dengan negara tapi, mencoba menyajikan sisi lain yang tak terpisahkan dari gerakan neoliberalisme; dimana “perang” telah mengalami distorsi makna dari perang tradisional menjadi lebih luas ke arah ekspansi ekonomi; kata “agresi” diperhalus menjadi kompetisi, intervensi diganti menjadi mediasi, perampasan menjadi investasi dan masih banyak lagi. Dalam wilayah, ini saya mencurigai agenda-agenda tersebut.
Saya bukan orang yang menolak konsep Human Security tapi, saya mencurigai penggunaan konsep tersebut untuk kepentingan pasar. Noam Chomsky dalam bukunya uhuk="http://www.amazon.com/gp/product/080507967X/sr=8-9/qid=1144168172/ref=pd_bbs_9/102-2918835-2987346?%5Fencoding=UTF8">Imperial Ambition, dengan lugas menjelaskan bagaimana AS pasca peristiwa 11 September 2001, menerapkan dalam National Strategy-nya apa yang mereka namakan Preemptive War (pertahanan terbaik adalah menyerang). Konsep ini, menurut Chomsky, merupakan istilah baru dan sangat berbeda dengan istilah yang mendahuluinya Preventive War. Melalui strategi preemptive war ini, AS seolah mendapatkan legitimasi untuk menyerang suatu negara yang dinilainya membahayakan kepentingan nasionalnya. Afghanistan dan Irak adalah contoh utama bagaimana dengan alasan mendukung jaringan terorisme, keduanya diserang.
Saya juga menolak memisahkan antara persoalan keamanan dengan pertahanan. Dalam perang dingin, pembedaan itu mungkin masih relevan. Tapi, dalam era “perang melawan terorisme” batas antara keamanan dan pertahanan menjadi sangat kabur. Di Indonesia, yang baru mulai memisahkan antara peran keamanan oleh POLRI dan peran pertahanan oleh TNI malah kebingungan ketika menghadapi aksi terror dalam negeri; fungsi intelijen perang dan intelijen non perang seperti imigrasi, kepolisian dan BIN juga dibingungkan oleh pembagian kerja tersebut. Dari kekaburan itulah kemudian saya mencurigai bahwa issue Human Security, Human Rights dan Democatization ketika diletakkan bersandingan dengan strategi neoliberalisme, ketiganya hanya menjadi alat untuk melegitimasi intervensi sektor keamanan dalam negeri negara lain. Tentunya saya tidak menolak peran NGO dan Civil Society lainnya dalam ketiga isu tersebut. Yang saya tolak adalah pandangan yang tidak komperhensif pada ketiga isu itu ketika berbenturan dengan kepentingan negara maju. Mari kita lihat satu per satu.
Isu Democratization. Ketika AS dan sekutunya menyerang Irak, alasan yang di kedepankan karena Irak memiliki senjata penghancur massal (Weapon of Mass Destruction/WMD). Tapi, ketika senjata dimaksud tidak ditemukan, AS dan sekutunya serta-merta menyatakan bahwa agresi itu bertujuan untuk menjatuhkan rezim Saddam yang tidak demokratis. Tapi, dalam kasus lain, AS bersikap ambigu ketika memandang kemenangan HAMAS melalui pemilu yang demokratis di Palestina. Atau ketika mereka berusaha mendongkel kepemimpinan Hugo Chavez di Venezuela, yang juga berkuasa melalui pemilu yang demokratis.
Dalam isu Human Rights, AS dan sekutunya mengritik China, Myanmar, Iran, Palestina dan beberapa negara lainnya yang dinilainya tidak menghormati HAM. Tapi, di sisi lain mereka menolak mengritisi penegakan HAM dan hak perempuan di Arab Saudi dan negara penghasil minyak lainnya. Khusus Myanmar (tanpa mengesampingkan masalah pelanggaran HAM oleh rezim militer Myanmar) pertanyaannya, mengapa AS begitu ribut dengan masalah HAM di Myanmar? Ternyata sebabnya untuk menghalangi proyek pembangunan pipa supply minyak dan gas China dari bagian selatan.
Dalam isu human security, AS sebagai panglima perang melawan terrorisme melakukan intervensi di berbagai negara. Kebijakan anti terror ini cenderung dipaksakan, dimana pertimbangan keamanan lebih di kedepankan ketimbang isu human needs dan human liberty. Sejatinya, kebijakan anti teror di mana-mana malah mengurangi sebagian hak kebebasan warga negara. Ketika kebutuhan akan human security ditabrakkan dengan isu civilian rights, tak pelak kedua hak itu saling menegasi, padahal hak akan rasa aman dan hak untuk memperoleh kebebasan adalah sama-sama hak dasar yang tidak boleh saling menegasi. Kebijakan anti terror juga melahirkan diskriminasi rasial, dimana kelompok Islam menerima stigma negatif. Berbagai identitas teroris menjadi distereotipkan pada mereka. Di Indonesia, kelompok pesantren kini sedang diawasi oleh intelijen, bukan hanya kegiatannya tapi juga kurikulum pengajaran di pesantren tersebut.
Lalu mengapa saya menyebutnya sebagai Liberalisasi Sektor Keamanan? Keamanan yang dulunya merupakan urusan dalam negeri dan selalu dianggap wilayah Top Secret bagi masing-masing negara, dengan momentum perang melawan terorisme, wajah yang tadinya begitu tertutup rapat dengan paksa harus dibuka. Persepsi ancaman (threat perception), dimaknai sebagai ancaman tunggal yang berlaku untuk seluruh negara di dunia. Ancaman yang tadinya bersifat nasional berubah menjadi ancaman regional dan global. Dengan perubahan perspektif itu, seluruh infrastruktur keamanan dan pertahanan yang bersifat nasional harus disesuaikan, melalui kerjasama regional dan global.
Sampai di sini, saya teringat apa yang di sebut Ron Matthew, sebagai Defense Globalization. Menurut Matthew, dalam globalisasi sektor kemanan hukum yang berlaku layaknya hukum pasar bebas: “tidak ada kebaikan hati dalam pasar, yang ada yakni kompetisi dan kooperasi.” Negara yang tidak bisa bersaing dalam industri alat-alat pertahanan, teknologi dan produksi tidak memiliki pilihan lain selain menjadi konsumen dari negara-negara maju. Padahal kita tahu pasca perang dunia kedua, tak ada yang bisa menyaingi industri perang negara-negara Eropa dan AS. Masih menurut Matthew, globalisasi sektor pertahanan ini akan bekerja sebagaimana liberalisasi pasar bekerja, negara hanya sebagai konsumen untuk menandatangani kontrak, sementara yang berperan adalah industri-industri raksasa yang sudah lebih dulu bermain dalam industri ini. Lalu, adakah kompetisi? Tentu tidak. Kompetisi hanyalah mitos yang dihembuskan oleh para pendukung neoliberalisme. Kompetisi membutuhkan kapasitas yang sama, modal yang sama kuat, infrastruktur usaha yang seimbang, dan pengalaman serta dukungan korporasi internasional. Sementara itu adakah perusahaan di Indonesia yang punya kapasitas tersebut.
Pada titik ini yang paling penting menurut saya, bukanlah terburu-buru mengintegrasikan diri dalam apa yang Matthew sebut sebagai Defense Globalization itu. Tapi, harus ada penguatan pertahanan negara dengan cara yang lebih efesien dan murah, dimana lembaga penyelenggara pertahanan negara dan rakyat saling bahu membahu menciptakan sebuah sistem pertahanan yang kuat dan efesien. Yang sangat mendesak yang perlu dilakukan adalah pertama, merebut dan mempertahankan kembali negara untuk menjalankan fungsinya sebagai alat pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, budaya dan hak sipil politik warga negaranya. Kedua memastikan adanya mekanisme yang memberikan ruang bagi civil society untuk terlibat dalam menyusun strategi pertahanan dan keamanan. Bagaimanapun hal tersebut adalah hak dari masyarakat sipil. Ketiga tetap mencurigai, mengawasi dan melakukan kritik terhadap kebijakan negara yang berpihak terhadap kebijakan neoliberal. Keempat seiring yang dikatakan almarhum Mansour Faqih, yang terberat adalah melawan diskursus dominan dan melawan hegemoni diskursus neoliberal atas isu demokrasi, hak asasi manusia, good governance dan juga yang terakhir securitization.
Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana Studi Pertahanan ITB Bandung.
Syaiful Haq
ARTIKELA saya yang berjudul “ uhuk="http://indoprogress.blogspot.com/2006/02/liberalisasi-sektor-keamanan.html">Liberalisasi Sektor Keamanan,” telah mendapatkan uhuk="http://www.blogger.com/comment.g?blogID=20834551&postID=114104278628660900">tanggapan berbobot dari rekan Roysepta Abimanyu dan Philip Jusario Vermonte. Kiranya pantas buat saya untuk memberikan sebuah tanggapan atas tanggapan. Tujuannya untuk menjelaskan asumsi pemikiran saya dalam tulisan tersebut. Tulisan kali ini juga mencoba lebih maju dengan menyajikan bagaimana demokrasi, hak asasi manusia dan securitization, merupakan diskursus yang juga dipakai, bahkan kini didominasi oleh para pendukung neoliberalisme.
ahref name='more'>Tulisan saya sebelumnya bertumpu pada asumsi yang melihat agenda Global Security sebagai bagian tak terpisahkan dari agenda neoliberal. Sedangkan tulisan ini ditujukan untuk memeriksa atau dengan bahasa yang lebih ekstrem, mencoba mencurigai adanya hidden agenda dari negara-negara maju dalam persoalan global security. Hal lain, tulisan ini mencoba memotret persoalan keamanan tidak melulu dari persoalan pertentangan antar negara dengan negara tapi, mencoba menyajikan sisi lain yang tak terpisahkan dari gerakan neoliberalisme; dimana “perang” telah mengalami distorsi makna dari perang tradisional menjadi lebih luas ke arah ekspansi ekonomi; kata “agresi” diperhalus menjadi kompetisi, intervensi diganti menjadi mediasi, perampasan menjadi investasi dan masih banyak lagi. Dalam wilayah, ini saya mencurigai agenda-agenda tersebut.
Saya bukan orang yang menolak konsep Human Security tapi, saya mencurigai penggunaan konsep tersebut untuk kepentingan pasar. Noam Chomsky dalam bukunya uhuk="http://www.amazon.com/gp/product/080507967X/sr=8-9/qid=1144168172/ref=pd_bbs_9/102-2918835-2987346?%5Fencoding=UTF8">Imperial Ambition, dengan lugas menjelaskan bagaimana AS pasca peristiwa 11 September 2001, menerapkan dalam National Strategy-nya apa yang mereka namakan Preemptive War (pertahanan terbaik adalah menyerang). Konsep ini, menurut Chomsky, merupakan istilah baru dan sangat berbeda dengan istilah yang mendahuluinya Preventive War. Melalui strategi preemptive war ini, AS seolah mendapatkan legitimasi untuk menyerang suatu negara yang dinilainya membahayakan kepentingan nasionalnya. Afghanistan dan Irak adalah contoh utama bagaimana dengan alasan mendukung jaringan terorisme, keduanya diserang.
Saya juga menolak memisahkan antara persoalan keamanan dengan pertahanan. Dalam perang dingin, pembedaan itu mungkin masih relevan. Tapi, dalam era “perang melawan terorisme” batas antara keamanan dan pertahanan menjadi sangat kabur. Di Indonesia, yang baru mulai memisahkan antara peran keamanan oleh POLRI dan peran pertahanan oleh TNI malah kebingungan ketika menghadapi aksi terror dalam negeri; fungsi intelijen perang dan intelijen non perang seperti imigrasi, kepolisian dan BIN juga dibingungkan oleh pembagian kerja tersebut. Dari kekaburan itulah kemudian saya mencurigai bahwa issue Human Security, Human Rights dan Democatization ketika diletakkan bersandingan dengan strategi neoliberalisme, ketiganya hanya menjadi alat untuk melegitimasi intervensi sektor keamanan dalam negeri negara lain. Tentunya saya tidak menolak peran NGO dan Civil Society lainnya dalam ketiga isu tersebut. Yang saya tolak adalah pandangan yang tidak komperhensif pada ketiga isu itu ketika berbenturan dengan kepentingan negara maju. Mari kita lihat satu per satu.
Isu Democratization. Ketika AS dan sekutunya menyerang Irak, alasan yang di kedepankan karena Irak memiliki senjata penghancur massal (Weapon of Mass Destruction/WMD). Tapi, ketika senjata dimaksud tidak ditemukan, AS dan sekutunya serta-merta menyatakan bahwa agresi itu bertujuan untuk menjatuhkan rezim Saddam yang tidak demokratis. Tapi, dalam kasus lain, AS bersikap ambigu ketika memandang kemenangan HAMAS melalui pemilu yang demokratis di Palestina. Atau ketika mereka berusaha mendongkel kepemimpinan Hugo Chavez di Venezuela, yang juga berkuasa melalui pemilu yang demokratis.
Dalam isu Human Rights, AS dan sekutunya mengritik China, Myanmar, Iran, Palestina dan beberapa negara lainnya yang dinilainya tidak menghormati HAM. Tapi, di sisi lain mereka menolak mengritisi penegakan HAM dan hak perempuan di Arab Saudi dan negara penghasil minyak lainnya. Khusus Myanmar (tanpa mengesampingkan masalah pelanggaran HAM oleh rezim militer Myanmar) pertanyaannya, mengapa AS begitu ribut dengan masalah HAM di Myanmar? Ternyata sebabnya untuk menghalangi proyek pembangunan pipa supply minyak dan gas China dari bagian selatan.
Dalam isu human security, AS sebagai panglima perang melawan terrorisme melakukan intervensi di berbagai negara. Kebijakan anti terror ini cenderung dipaksakan, dimana pertimbangan keamanan lebih di kedepankan ketimbang isu human needs dan human liberty. Sejatinya, kebijakan anti teror di mana-mana malah mengurangi sebagian hak kebebasan warga negara. Ketika kebutuhan akan human security ditabrakkan dengan isu civilian rights, tak pelak kedua hak itu saling menegasi, padahal hak akan rasa aman dan hak untuk memperoleh kebebasan adalah sama-sama hak dasar yang tidak boleh saling menegasi. Kebijakan anti terror juga melahirkan diskriminasi rasial, dimana kelompok Islam menerima stigma negatif. Berbagai identitas teroris menjadi distereotipkan pada mereka. Di Indonesia, kelompok pesantren kini sedang diawasi oleh intelijen, bukan hanya kegiatannya tapi juga kurikulum pengajaran di pesantren tersebut.
Lalu mengapa saya menyebutnya sebagai Liberalisasi Sektor Keamanan? Keamanan yang dulunya merupakan urusan dalam negeri dan selalu dianggap wilayah Top Secret bagi masing-masing negara, dengan momentum perang melawan terorisme, wajah yang tadinya begitu tertutup rapat dengan paksa harus dibuka. Persepsi ancaman (threat perception), dimaknai sebagai ancaman tunggal yang berlaku untuk seluruh negara di dunia. Ancaman yang tadinya bersifat nasional berubah menjadi ancaman regional dan global. Dengan perubahan perspektif itu, seluruh infrastruktur keamanan dan pertahanan yang bersifat nasional harus disesuaikan, melalui kerjasama regional dan global.
Sampai di sini, saya teringat apa yang di sebut Ron Matthew, sebagai Defense Globalization. Menurut Matthew, dalam globalisasi sektor kemanan hukum yang berlaku layaknya hukum pasar bebas: “tidak ada kebaikan hati dalam pasar, yang ada yakni kompetisi dan kooperasi.” Negara yang tidak bisa bersaing dalam industri alat-alat pertahanan, teknologi dan produksi tidak memiliki pilihan lain selain menjadi konsumen dari negara-negara maju. Padahal kita tahu pasca perang dunia kedua, tak ada yang bisa menyaingi industri perang negara-negara Eropa dan AS. Masih menurut Matthew, globalisasi sektor pertahanan ini akan bekerja sebagaimana liberalisasi pasar bekerja, negara hanya sebagai konsumen untuk menandatangani kontrak, sementara yang berperan adalah industri-industri raksasa yang sudah lebih dulu bermain dalam industri ini. Lalu, adakah kompetisi? Tentu tidak. Kompetisi hanyalah mitos yang dihembuskan oleh para pendukung neoliberalisme. Kompetisi membutuhkan kapasitas yang sama, modal yang sama kuat, infrastruktur usaha yang seimbang, dan pengalaman serta dukungan korporasi internasional. Sementara itu adakah perusahaan di Indonesia yang punya kapasitas tersebut.
Pada titik ini yang paling penting menurut saya, bukanlah terburu-buru mengintegrasikan diri dalam apa yang Matthew sebut sebagai Defense Globalization itu. Tapi, harus ada penguatan pertahanan negara dengan cara yang lebih efesien dan murah, dimana lembaga penyelenggara pertahanan negara dan rakyat saling bahu membahu menciptakan sebuah sistem pertahanan yang kuat dan efesien. Yang sangat mendesak yang perlu dilakukan adalah pertama, merebut dan mempertahankan kembali negara untuk menjalankan fungsinya sebagai alat pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, budaya dan hak sipil politik warga negaranya. Kedua memastikan adanya mekanisme yang memberikan ruang bagi civil society untuk terlibat dalam menyusun strategi pertahanan dan keamanan. Bagaimanapun hal tersebut adalah hak dari masyarakat sipil. Ketiga tetap mencurigai, mengawasi dan melakukan kritik terhadap kebijakan negara yang berpihak terhadap kebijakan neoliberal. Keempat seiring yang dikatakan almarhum Mansour Faqih, yang terberat adalah melawan diskursus dominan dan melawan hegemoni diskursus neoliberal atas isu demokrasi, hak asasi manusia, good governance dan juga yang terakhir securitization.
Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana Studi Pertahanan ITB Bandung.
Title : Merebut Kembali Negara ► SEOer Mendem ►
URL : https://seomendem.blogspot.com/2006/04/merebut-kembali-negara_4.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Merebut Kembali Negara ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.