Partai Kiri Di Masa Transisi Demokrasi - Pengalaman Partai Buruh Brazil (2)
Coen Husain Pontoh
Mendirikan sebuah partai, jelas bukan perkara gampang. Tapi, bagaimana membuat partai berfungsi atau fungsi-fungsi partai (fungsi rekrutmen, fungsi mediasi kepentingan, fungsi sosialisasi politik, fungsi pemecah konflik, fungsi perebutan kekuasaan) berjalan, jauh lebih sulit. Luasnya cakupan fungsi inilah yang salah satunya membedakan partai dengan LSM, organisasi massa, atau gerakan sosial pada umumnya.
Agar fungsi-fungsi partai ini bisa bekerja, partai yang modern adalah partai yang bertindak atas dasar program guna mencapai tujuan-tujuan tertentu mereka.Mereka mengikuti sebuah kebijakan yang telah disepakati, dan mereka diorganisir berdasarkan prinsip-prinsip pokok yang didasarkan pada peraturan-peraturan, keanggotaan, organisasi-organisasi lokal, panitia-panitia, kongres-kongres, kewajiban-kewajiban, dan lain-lain (Yermakova & Ratnikov, 2002).
Untuk mencapai kategori partai modern tersebut, mutlak perlu dilakukan pembangunan partai (party building). Party building di sini tidak saja bermakna fisik (organisasi partai hadir di mana-mana) tapi juga bermakna kesadaran (pemahaman akan kesamaan nilai, tujuan, program dan demokrasi internal). Kedua hal ini selayaknya berjalan beririsan, interaktif. Partai yang besar minus kesadaran hanya menyebabkan anggota dan massa pendukung menjadi sumber dan alat manipulasi kepentingan elite. Demikian sebaliknya, partai yang semata mengandalkan kesadaran tanpa dukungan anggota dan masssa yang luas, tak lebih sebagai sekte. Keterpisahan inilah yang menjadi penyakit paling dikhawatirkan Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, dan lebih-lebih Robert Michels, mengenai kekuasaan kaum minoritas.
Hukum besi oligarki inilah, yang juga menjadi tantangan bagi Partai Buruh Brazil. Tulisan bagian ini hendak melihat, bagaimana PT membangun partainya. Ada beberapa hal yang secara khusus ingin disoroti, yang sekiranya boleh menjadi pelajaran bagi kita di Indonesia: (1) masalah rekrutmen; (2) masalah pembiayaan partai; (3) masalah faksionalisasi.
Masalah Rekrutmen
Sebagai sebuah partai yang terbuka, berideologi sosialis, dan berkecimpung dalam era demokrasi parlementarian, masalah rekrutmen partai sungguh-sungguh merupakan soal yang baru bagi PT. Ide tentang partai terbuka, revolusioner, dan terlibat dalam sistem demokrasi elektoral, hampir-hampir tak ditemukan jejaknya dalam partai kiri. Kalau bukan menjadi partai pelopor (vanguard party), sebaliknya partai kiri menjadi murni mesin elektoral yang tidak berbeda dengan partai lainnya.
Sedikit kekecualian adalah Partai Rakyat Bersatu (Unidad Popular Party) pimpinan Salvador Allende, di Chile. Unidad Popular (UP), bukan saja merupakan mesin pemilu bagi Allende tapi, juga mencanangkan aksi-aksi radikal dalam mewujudkan program-programnya. Dan bukan tanpa sadar, jika para pendiri PT sedikit banyak mengacu pada UP yang mengantarkan Allende ke jabatan presiden Chile, secara demokratis.
Masalahnya, bagaimana mengejawantahkan prinsip terbuka, sosialis, dan demokratis itu dalam proses rekrutmen keanggotaan partai? Pada partai pelopor, masalah rekrutmen keanggotaan ini lebih jelas ukurannya: misalnya, setelah melalui serangkaian pendidikan dan ujian oleh partai. Mereka yang direkrut sebagai anggota partai, dikategorikan sebagai kaum profesional revolusioner. Mereka ini menjadikan program dan aksi revolusioner sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Demikian juga pada partai sebagai mesin elektoral, semua orang boleh menjadi anggota partai tanpa kecuali.
Untuk menjawab soal ini, PT melakukan dua jenis atau dua pola rekrutmen. Pertama, sebagai partai terbuka dan terlibat dalam sistem demokrasi elektoral, PT membuka diri terhadap seluruh kalangan progresif dan tokoh-tokoh populer yang bersepakat dengan program partai. Mereka bisa berasal dari partai politik, gerakan sosial, gereja Katolik, individu, dan intelektual. Dengan prinsip ini, PT menjadi rumah baru bagi politisi-politisi progresif yang kenyang makan asam garam dengan politik elektoral yang selama itu bernaung di MDB (Movimento Democratico Brasileiro, sebuah partai oposisi legal di bawah rejim militer). Dengan masuknya politisi-politisi progresif dari negara bagian Sao Paolo, seperti Eduardo Suplicy, Irma Passoni, Marco Aurelio Ribeiro, dan Geraldo Siqueria, kemampuan PT dalam bermain di wilayah demokrasi elektoral sangat terbantu.
Di samping itu, PT juga sadar bahwa demokrasi elektoral pada akhirnya adalah soal jumlah suara. Dalam hal ini, PT harus bersaing dengan kontestan lainnya untuk memperebutkan suara mayoritas rakyat yang mengambang. Di sini, tak pelak sosok figur yang populer sangat menentukan. Pertimbangan inilah, misalnya, yang mendorong Lula bertemu dengan artis top semacam Chico Buarque, Simone, dan Gonzaguinha.
Tetapi, semata mengandalkan rekrutmen tahap pertama, jelas akan menimbulkan masalah internal yang besar pada PT. Seperti dikemukakan Keck (1992), rekrutmen model ini telah mendatangkan rasa tidak nyaman bagi para pemimpin serikat buruh yang tergabung dalam PT. Rekrutmen model ini, jelas tidak mencerminkan keterwakilan kepentingan kelas pekerja, yang justru merupakan dasar dan tujuan didirikannya PT. Untuk itu, sebagai jalan keluarnya, PT menetapkan sistem rekrutmen yang berbasis pada struktur terendah partai yang disebut nucleus. Struktur ini bekerja dalam bentuk sel yang terbuka.
Menurut pasal 6, point 1 tentang struktur partai, nucleus ini diorganisasikan atau bekerja di tingkat rukun warga, tempat kerja, atau gerakan sosial. Organ ini, juga menjadi ujung tombak bagi pendidikan politik bagi anggota partai dan para aktivis, menjamin demokrasi internal dalam partai, membangun aksi-aksi politik partai, serta memperkuat hubungan partai dengan gerakan sosial. Selain itu, organ ini menjadi saluran ekspresi politik, pendapat, dan isu-isu para anggotanya untuk kemudian disampaikan pada organ lebih tinggi (lokal, regional, nasional) dan dijadikan sebagai bahan diskusi yang luas bagi partai. Dalam pasal 72 disebutkan, perwakilan nucleus berhak menyampaikan pendapatnya dalam pertemuan regional dan nasional. Jumlah perwakilan dari nucleus pada tingkat regional, misalnya, ditentukan oleh pimpinan (diretorio) cabang regional berdasakan masukan dari pimpinan cabang lokal
Untuk menjamin tidak terjadinya manipulasi jumlah nucleus, setiap nucleus harus didaftarkan kepada cabang lokal PT terdekat, dimana nucleus tersebut berfungsi atau kepada cabang regional PT, jika cabang lokal belum eksis. Adapun nucleus yang bekerja di tempat kerja atau di gerakan sosial, harus terdaftar di cabang terdekat. Dalam pendaftaran itu, setiap nucleus harus menyebutkan nama-nama anggotanya, tempat dan waktu pertemuan, dan jumlah uang yang disumbangkan kepada partai. Dalam waktu enam hari, informasi ini harus dikirimkan kepada cabang regional dan nasional. Setiap nucleus minimum harus beranggotakan 21 orang, dengan kekecualian setelah melalui presentasi dan persetujuan dari cabang regional. Nucleus ini diharuskan mengadakan pertemuan sekali dalam sebulan dan harus memiliki koordinator, sekretaris, dan bendahara. Nucleus ini baru resmi didaftar jika telah sanggup memberikan sumbangan bulanan reguler kepada cabang regional. Setiap anggota PT tidak diperkenankan menjadi anggota di lebih dari satu nucleus.
Dua model rekrutmen ini, terbukti saling melengkapi sekaligus saling mengoreksi. Kritik terhadap struktur nucleus, bahwa struktur ini telah menjadi alat pertarungan bagi setiap tendensi atau aliran politik yang ada dalam PT. Tendensi yang kecil tapi militan, misalnya, telah menjadikan struktur nucleus sebagai kendaraan untuk memenangkan gagasan-gagasannya dalam partai. Selain itu, banyak kejadian di lapangan menyebutkan bahwa nucleus ini sebenarnya hanya eksis di atas kertas. Namun demikian, kelemahan ini tertutupi dengan model rekrutmen terbuka.
Masalah Pembiayaan Partai
Salah satu masalah paling krusial dalam pembangunan partai, adalah masalah pembiayaan. Partai boleh berisi kader-kader revolusioner yang tulus dan mau berkorban tapi, itu tidaklah cukup untuk menjalankan mesin partai. Terlebih untuk sebuah partai yang terbuka. Bagaimana pengadaan kantor partai dari pusat hingga cabang terkecil, bagaimana penerbitan partai, bagaimana soal pertemuan partai untuk tujuan konsolidasi. Semua ini membutuhkan dana tidak sedikit.
Begitu pentingnya masalah pembiayaan partai ini, sehingga ia tidak bisa diabaikan. Untuk soal ini, ada dua hal yang mesti diperhatikan: dari mana sumber pembiayaan dan kemana pembiayaan itu dikeluarkan. Masalah pertama, untuk mengatasi sumber pembiayaan dari kelompok-kelompok yang sesungguhnya anti pada program partai, misalnya, dari kalangan yang menghendaki terbentuknya oligarki di dalam partai atau menjadikan partai tergantung pada segelintir donatur, atau dari sumbangan haram (dirty money). Sedangkan soal kedua menyangkut transparansi dan pertanggungjawaban elit partai terhadap anggota dan simpatisan partai.
Dalam hal ini, pembiayaan PT datang dari tiga sumber: pertama, anggota PT yang terpilih sebagai anggota Kongres. Berdasarkan perkiraan yang dikeluarkan oleh eksekutif nasional, pada Juli 1985, sumbangan dari kalangan ini mengambil porsi dua pertiga pembiayaan organisasi nasional; kedua, pembiayaan yang diperoleh dari pemerintah karena keterlibatan PT dalam pemilu; dan ketiga, sumber yang datang dari iuran anggota PT sendiri, sebagaimana telah disinggung di atas.
Namun demikian, karena lemahnya kemampuan pengurus PT untuk mengoleksi dana dari anggota, menyebabkan sumbangan dari sumber ini relatif terbatas. Di samping itu, keterbatasan sumbangan dari anggota sebenarnya berkaitan dengan rendahnya pendapatan para anggota PT sendiri. Sebagian besar anggota dan pendukung PT hidup di bawah garis kemiskinan. Kelemahan mengoleksi dana anggota, juga disebabkan oleh kesulitan untuk membedakan mana anggota partai yang riil dan mana yang sekadar memberikan suaranya pada PT.
Kesenjangan soal sumber pembiayaan partai ini tentu saja bisa berakibat buruk bagi PT. Untuk mencegah soal tersebut sekaligus memotivasi anggota agar bersedia menyumbang bagi PT, eksekutif nasional melalui media partai mengeluarkan daftar nama penyumbang, daftar wilayah penyumbang terbesar, dan rincian soal alokasi dana. Publikasi ini berlangsung secara reguler, sehingga dengan demikian PT menjawab keraguan soal sumber pembiayaan, memotivasi anggota untuk menyumbang, dan mentradisikan keterbukaan dan pertanggungjawaban keuangan dalam partai. Kelak, tradisi ini sangat membantu PT ketika mereka menjalankan program Participatory Budgeting (PB) yang menuai sukses besar itu.
Masalah Faksionalisasi
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, PT bukanlah sebuah partai yang monolitik. Sebaliknya, PT adalah sebuah partai yang bertindak sebagai "an umbrella organization for the political participation of urban workers and all other who felt unrepresented by traditional politics" (Nylen, 2003).
Keragaman aliran politik dalam partai tercermin dari keberadaan kelompok-kelompok yang bergabung di dalamnya. Seperti ditulis Keck, kelompok-kelompok yang sejak awal mendukung pembentukan PT datang dari kalangan kiri (Convergencia Socialista, Workers Faction, Movement for the Emancipation of the Proletariat/MEP, Partido Comunistas Brasileiro Revolucionario/PCBR) dan Marxist-Leninist Popular Action/APML), kalangan gereja Katolik, khususnya sayap progresifnya yang tergabung dalam Communidades Eclesias de Base (CEB), serikat buruh, gerakan mahasiswa, gerakan sosial, dan intelektual. Secara ideologis, keragaman itu terlihat pada kelompok Gereja Katolik yang mengusung gagasan teologi pembebasan, kelompok sosial demokrat radikal dan kelompok-kelompok dalam tradisi Marxist-Leninist. Sebagian lagi adalah mereka yang berpaham Trotskys, Maoisme, dan berideolog campuran (Kowarick & Singar, 1994).
Bentuk sebagai sebuah organisasi payung ini, di satu pihak membantu PT berkembang dengan cepat. Tapi, di sisi lain, keragaman ideologi, sejarah perjuangan, dan bentuk organisasi ini menyebabkan tersendat-sendatnya proses konsolidasi di tubuh partai. Misalnya, bagaimana memadukan antara demokrasi internal dan sentralisme di dalam partai; bagaimana para partisipan ini memandang PT sebagai organisasi perjuangan; bagaimana identitas PT sesungguhnya; bagaimana supaya tidak timbul partai di dalam partai, dan bagaimana menghapuskan militansi ganda (dual militancy) yakni, sebagai anggota PT dan sebagai anggota faksi. Sebagai contoh, Workers Faction berpendapat, PT seharusnya bertransformasi menjadi partai revolusioner; sebaliknya, menurut kelompok MEP, PT sebaiknya menjadi front politik kaum buruh dan tak perlu bertransformasi menjadi partai revolusioner. Adapun kelompok PCBR dan APML melihat PT sebagai wadah taktikal untuk menciptakan gerakan front popular untuk menghancurkan kediktatoran.
Namun demikian, seluruh tendensi ini menyepakati bahwa PT harus sanggup menyediakan arena bagi setiap tendensi untuk mempromosikan perjuangan ideologi di kalangan kelas pekerja. Tapi, tidak mudah bagi sebuah partai baru untuk menyikapi keragaman ini. Pertama, karena masih dalam tahap awal masa transisi, maka PT harus lebih responsif terhadap tuntutan kebutuhan politik yang berubah sangat cepat; yang kedua, masalah mendesak bagi PT adalah mempersiapkan diri untuk menghadapi pemilu 1982. Tetapi, tuntutan untuk penyatuan visi, pembentukan identitas, penghapusan partai dalam partai dan militansi ganda, tak terelakkan.
Momentum itu datang ketika PT kalah telak dalam perhelatan Pemilu 1982. Kekalahan itu telah mendatangkan kritik tajam terhadap jajaran pimpinan partai. Untuk memfasilitasi perdebatan tersebut, pimpinan PT mengeluarkan tiga kebijakan: pertama, membentuk sebuah koalisi mayoritas dalam partai yang disebut Articulacao dos 113 (Group of 113), pada pertengahan 1983. Articulacao dos 113, kemudian menjelma sebagai faksi terbesar di dalam PT; kedua, pembentukan faksi-faksi dan persekutuan politik di dalam partai adalah sah; dan ketiga, membentuk aturan main tendensi faksional di dalam partai. Dengan adanya regulasi ini, PT menginginkan agar faksi-faksi tersebut terlembaga, tidak bergerak liar sehingga lebih merupakan sebuah adu konspirasi ketimbang adu argumentasi.
Dengan keluarnya tiga kebijakan ini, selain Articulacao dos 113, segera muncul faksi lain yang menamakan dirinya Popular Power and Socialism, PT na Capital, dan beberapa kelompok Trotskys. Pelembagaan faksi ini semakin mendesak ketika sebuah kelompok dari mantan anggota Partai Komunis Revolusioner Brazil (the Revolutionary Brazilian Communist party), yang mengaku sebagai anggota PT, merampok sebuah bank di Salvador, Bahia, untuk membantu revolusi Nikaragua. Aksi ini dengan cepat menjadi santapan empuk media-media arus utama Brazil, dengan menyudutkan PT sebagai sebuah organisasi anti-demokrasi. Respon PT terhadap aksi tersebut adalah memecat pelakunya dari keanggotaan PT. Tetapi, dampak terpenting dari aksi perampokan itu, bahwa masalah faksionalisasi dalam PT belumlah tuntas.
Dengan kesadaran ini, dalam pertemuan nasional keempat PT di Sao Paulo, pada 30 Mei-1 Juni 1986, dihasilkan sebuah resolusi mengenai tendensi faksional yang dimandatkan kepada direktorat nasional, agar segera dilakukan diskusi nasional. Resolusi ini dimaksudkan untuk mencegah agar peristiwa Salvador, tidak terulang di kemudian hari. Namun demikian, resolusi itu juga sekaligus menekankan bahwa perbedaan faksional tidak boleh mentoleransi pelanggaran terhadap integritas partai:
Proses selanjutnya, agar perdebatan menjadi konkret, para partisipan dalam debat diharuskan untuk mendaftakan nama organisasi faksinya, pimpinan faksi, anggota faksi yang terdaftar, dan isu-isu yang dianggap bertentangan dengan kebijakan partai.
Setelah itu seluruh partisipan diminta memfokuskan perdebatan pada tiga hal: (1) aturan main tendensi faksional; (2) demokrasi internal; dan (3) pandangan partai tentang sosialisme. Selanjutnya, agar perdebatan ini menjadi milik bersama, pada 1998, partai menerbitkan majalah teoritis empat bulanan yang disebut Teoria e Debate. Melalui majalah ini, seluruh anggota dan simpatisan partai bisa mengikuti jalannya perdebatan dan menetapkan pilihan politiknya pada faksi yang dianggap sesuai aspirasinya.
Kepustakaan:
1. Antonina Yermakova & Valentine Ratnikov, “Kelas dan Perjuangan Kelas,” Penerbit Sumbu, Yogyakarta, 2002, h. 20.
2. Michael Curtis, “The Great Political Theories,” Vol. 2, Avon Books, 1981.
3. Margaret E. Keck, “The Workers Party Anda Democratization in Brazil,” Yale University Press, 1992.
4. Luci Kowarick (ed)., “Social Struggles and The City The Case of Sao Paulo,” Monthly Review Press, New York, 1994.
5. William R. Nylen, “Participatory Democracy versus Elitist Democracy Lesson from Brazil,” Palgrave Macmillan, New York, 2003.
Coen Husain Pontoh
Mendirikan sebuah partai, jelas bukan perkara gampang. Tapi, bagaimana membuat partai berfungsi atau fungsi-fungsi partai (fungsi rekrutmen, fungsi mediasi kepentingan, fungsi sosialisasi politik, fungsi pemecah konflik, fungsi perebutan kekuasaan) berjalan, jauh lebih sulit. Luasnya cakupan fungsi inilah yang salah satunya membedakan partai dengan LSM, organisasi massa, atau gerakan sosial pada umumnya.
Agar fungsi-fungsi partai ini bisa bekerja, partai yang modern adalah partai yang bertindak atas dasar program guna mencapai tujuan-tujuan tertentu mereka.Mereka mengikuti sebuah kebijakan yang telah disepakati, dan mereka diorganisir berdasarkan prinsip-prinsip pokok yang didasarkan pada peraturan-peraturan, keanggotaan, organisasi-organisasi lokal, panitia-panitia, kongres-kongres, kewajiban-kewajiban, dan lain-lain (Yermakova & Ratnikov, 2002).
Untuk mencapai kategori partai modern tersebut, mutlak perlu dilakukan pembangunan partai (party building). Party building di sini tidak saja bermakna fisik (organisasi partai hadir di mana-mana) tapi juga bermakna kesadaran (pemahaman akan kesamaan nilai, tujuan, program dan demokrasi internal). Kedua hal ini selayaknya berjalan beririsan, interaktif. Partai yang besar minus kesadaran hanya menyebabkan anggota dan massa pendukung menjadi sumber dan alat manipulasi kepentingan elite. Demikian sebaliknya, partai yang semata mengandalkan kesadaran tanpa dukungan anggota dan masssa yang luas, tak lebih sebagai sekte. Keterpisahan inilah yang menjadi penyakit paling dikhawatirkan Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, dan lebih-lebih Robert Michels, mengenai kekuasaan kaum minoritas.
Hukum besi oligarki inilah, yang juga menjadi tantangan bagi Partai Buruh Brazil. Tulisan bagian ini hendak melihat, bagaimana PT membangun partainya. Ada beberapa hal yang secara khusus ingin disoroti, yang sekiranya boleh menjadi pelajaran bagi kita di Indonesia: (1) masalah rekrutmen; (2) masalah pembiayaan partai; (3) masalah faksionalisasi.
Masalah Rekrutmen
Sebagai sebuah partai yang terbuka, berideologi sosialis, dan berkecimpung dalam era demokrasi parlementarian, masalah rekrutmen partai sungguh-sungguh merupakan soal yang baru bagi PT. Ide tentang partai terbuka, revolusioner, dan terlibat dalam sistem demokrasi elektoral, hampir-hampir tak ditemukan jejaknya dalam partai kiri. Kalau bukan menjadi partai pelopor (vanguard party), sebaliknya partai kiri menjadi murni mesin elektoral yang tidak berbeda dengan partai lainnya.
Sedikit kekecualian adalah Partai Rakyat Bersatu (Unidad Popular Party) pimpinan Salvador Allende, di Chile. Unidad Popular (UP), bukan saja merupakan mesin pemilu bagi Allende tapi, juga mencanangkan aksi-aksi radikal dalam mewujudkan program-programnya. Dan bukan tanpa sadar, jika para pendiri PT sedikit banyak mengacu pada UP yang mengantarkan Allende ke jabatan presiden Chile, secara demokratis.
Masalahnya, bagaimana mengejawantahkan prinsip terbuka, sosialis, dan demokratis itu dalam proses rekrutmen keanggotaan partai? Pada partai pelopor, masalah rekrutmen keanggotaan ini lebih jelas ukurannya: misalnya, setelah melalui serangkaian pendidikan dan ujian oleh partai. Mereka yang direkrut sebagai anggota partai, dikategorikan sebagai kaum profesional revolusioner. Mereka ini menjadikan program dan aksi revolusioner sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Demikian juga pada partai sebagai mesin elektoral, semua orang boleh menjadi anggota partai tanpa kecuali.
Untuk menjawab soal ini, PT melakukan dua jenis atau dua pola rekrutmen. Pertama, sebagai partai terbuka dan terlibat dalam sistem demokrasi elektoral, PT membuka diri terhadap seluruh kalangan progresif dan tokoh-tokoh populer yang bersepakat dengan program partai. Mereka bisa berasal dari partai politik, gerakan sosial, gereja Katolik, individu, dan intelektual. Dengan prinsip ini, PT menjadi rumah baru bagi politisi-politisi progresif yang kenyang makan asam garam dengan politik elektoral yang selama itu bernaung di MDB (Movimento Democratico Brasileiro, sebuah partai oposisi legal di bawah rejim militer). Dengan masuknya politisi-politisi progresif dari negara bagian Sao Paolo, seperti Eduardo Suplicy, Irma Passoni, Marco Aurelio Ribeiro, dan Geraldo Siqueria, kemampuan PT dalam bermain di wilayah demokrasi elektoral sangat terbantu.
Di samping itu, PT juga sadar bahwa demokrasi elektoral pada akhirnya adalah soal jumlah suara. Dalam hal ini, PT harus bersaing dengan kontestan lainnya untuk memperebutkan suara mayoritas rakyat yang mengambang. Di sini, tak pelak sosok figur yang populer sangat menentukan. Pertimbangan inilah, misalnya, yang mendorong Lula bertemu dengan artis top semacam Chico Buarque, Simone, dan Gonzaguinha.
Tetapi, semata mengandalkan rekrutmen tahap pertama, jelas akan menimbulkan masalah internal yang besar pada PT. Seperti dikemukakan Keck (1992), rekrutmen model ini telah mendatangkan rasa tidak nyaman bagi para pemimpin serikat buruh yang tergabung dalam PT. Rekrutmen model ini, jelas tidak mencerminkan keterwakilan kepentingan kelas pekerja, yang justru merupakan dasar dan tujuan didirikannya PT. Untuk itu, sebagai jalan keluarnya, PT menetapkan sistem rekrutmen yang berbasis pada struktur terendah partai yang disebut nucleus. Struktur ini bekerja dalam bentuk sel yang terbuka.
Menurut pasal 6, point 1 tentang struktur partai, nucleus ini diorganisasikan atau bekerja di tingkat rukun warga, tempat kerja, atau gerakan sosial. Organ ini, juga menjadi ujung tombak bagi pendidikan politik bagi anggota partai dan para aktivis, menjamin demokrasi internal dalam partai, membangun aksi-aksi politik partai, serta memperkuat hubungan partai dengan gerakan sosial. Selain itu, organ ini menjadi saluran ekspresi politik, pendapat, dan isu-isu para anggotanya untuk kemudian disampaikan pada organ lebih tinggi (lokal, regional, nasional) dan dijadikan sebagai bahan diskusi yang luas bagi partai. Dalam pasal 72 disebutkan, perwakilan nucleus berhak menyampaikan pendapatnya dalam pertemuan regional dan nasional. Jumlah perwakilan dari nucleus pada tingkat regional, misalnya, ditentukan oleh pimpinan (diretorio) cabang regional berdasakan masukan dari pimpinan cabang lokal
Untuk menjamin tidak terjadinya manipulasi jumlah nucleus, setiap nucleus harus didaftarkan kepada cabang lokal PT terdekat, dimana nucleus tersebut berfungsi atau kepada cabang regional PT, jika cabang lokal belum eksis. Adapun nucleus yang bekerja di tempat kerja atau di gerakan sosial, harus terdaftar di cabang terdekat. Dalam pendaftaran itu, setiap nucleus harus menyebutkan nama-nama anggotanya, tempat dan waktu pertemuan, dan jumlah uang yang disumbangkan kepada partai. Dalam waktu enam hari, informasi ini harus dikirimkan kepada cabang regional dan nasional. Setiap nucleus minimum harus beranggotakan 21 orang, dengan kekecualian setelah melalui presentasi dan persetujuan dari cabang regional. Nucleus ini diharuskan mengadakan pertemuan sekali dalam sebulan dan harus memiliki koordinator, sekretaris, dan bendahara. Nucleus ini baru resmi didaftar jika telah sanggup memberikan sumbangan bulanan reguler kepada cabang regional. Setiap anggota PT tidak diperkenankan menjadi anggota di lebih dari satu nucleus.
Dua model rekrutmen ini, terbukti saling melengkapi sekaligus saling mengoreksi. Kritik terhadap struktur nucleus, bahwa struktur ini telah menjadi alat pertarungan bagi setiap tendensi atau aliran politik yang ada dalam PT. Tendensi yang kecil tapi militan, misalnya, telah menjadikan struktur nucleus sebagai kendaraan untuk memenangkan gagasan-gagasannya dalam partai. Selain itu, banyak kejadian di lapangan menyebutkan bahwa nucleus ini sebenarnya hanya eksis di atas kertas. Namun demikian, kelemahan ini tertutupi dengan model rekrutmen terbuka.
Masalah Pembiayaan Partai
Salah satu masalah paling krusial dalam pembangunan partai, adalah masalah pembiayaan. Partai boleh berisi kader-kader revolusioner yang tulus dan mau berkorban tapi, itu tidaklah cukup untuk menjalankan mesin partai. Terlebih untuk sebuah partai yang terbuka. Bagaimana pengadaan kantor partai dari pusat hingga cabang terkecil, bagaimana penerbitan partai, bagaimana soal pertemuan partai untuk tujuan konsolidasi. Semua ini membutuhkan dana tidak sedikit.
Begitu pentingnya masalah pembiayaan partai ini, sehingga ia tidak bisa diabaikan. Untuk soal ini, ada dua hal yang mesti diperhatikan: dari mana sumber pembiayaan dan kemana pembiayaan itu dikeluarkan. Masalah pertama, untuk mengatasi sumber pembiayaan dari kelompok-kelompok yang sesungguhnya anti pada program partai, misalnya, dari kalangan yang menghendaki terbentuknya oligarki di dalam partai atau menjadikan partai tergantung pada segelintir donatur, atau dari sumbangan haram (dirty money). Sedangkan soal kedua menyangkut transparansi dan pertanggungjawaban elit partai terhadap anggota dan simpatisan partai.
Dalam hal ini, pembiayaan PT datang dari tiga sumber: pertama, anggota PT yang terpilih sebagai anggota Kongres. Berdasarkan perkiraan yang dikeluarkan oleh eksekutif nasional, pada Juli 1985, sumbangan dari kalangan ini mengambil porsi dua pertiga pembiayaan organisasi nasional; kedua, pembiayaan yang diperoleh dari pemerintah karena keterlibatan PT dalam pemilu; dan ketiga, sumber yang datang dari iuran anggota PT sendiri, sebagaimana telah disinggung di atas.
Namun demikian, karena lemahnya kemampuan pengurus PT untuk mengoleksi dana dari anggota, menyebabkan sumbangan dari sumber ini relatif terbatas. Di samping itu, keterbatasan sumbangan dari anggota sebenarnya berkaitan dengan rendahnya pendapatan para anggota PT sendiri. Sebagian besar anggota dan pendukung PT hidup di bawah garis kemiskinan. Kelemahan mengoleksi dana anggota, juga disebabkan oleh kesulitan untuk membedakan mana anggota partai yang riil dan mana yang sekadar memberikan suaranya pada PT.
Kesenjangan soal sumber pembiayaan partai ini tentu saja bisa berakibat buruk bagi PT. Untuk mencegah soal tersebut sekaligus memotivasi anggota agar bersedia menyumbang bagi PT, eksekutif nasional melalui media partai mengeluarkan daftar nama penyumbang, daftar wilayah penyumbang terbesar, dan rincian soal alokasi dana. Publikasi ini berlangsung secara reguler, sehingga dengan demikian PT menjawab keraguan soal sumber pembiayaan, memotivasi anggota untuk menyumbang, dan mentradisikan keterbukaan dan pertanggungjawaban keuangan dalam partai. Kelak, tradisi ini sangat membantu PT ketika mereka menjalankan program Participatory Budgeting (PB) yang menuai sukses besar itu.
Masalah Faksionalisasi
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, PT bukanlah sebuah partai yang monolitik. Sebaliknya, PT adalah sebuah partai yang bertindak sebagai "an umbrella organization for the political participation of urban workers and all other who felt unrepresented by traditional politics" (Nylen, 2003).
Keragaman aliran politik dalam partai tercermin dari keberadaan kelompok-kelompok yang bergabung di dalamnya. Seperti ditulis Keck, kelompok-kelompok yang sejak awal mendukung pembentukan PT datang dari kalangan kiri (Convergencia Socialista, Workers Faction, Movement for the Emancipation of the Proletariat/MEP, Partido Comunistas Brasileiro Revolucionario/PCBR) dan Marxist-Leninist Popular Action/APML), kalangan gereja Katolik, khususnya sayap progresifnya yang tergabung dalam Communidades Eclesias de Base (CEB), serikat buruh, gerakan mahasiswa, gerakan sosial, dan intelektual. Secara ideologis, keragaman itu terlihat pada kelompok Gereja Katolik yang mengusung gagasan teologi pembebasan, kelompok sosial demokrat radikal dan kelompok-kelompok dalam tradisi Marxist-Leninist. Sebagian lagi adalah mereka yang berpaham Trotskys, Maoisme, dan berideolog campuran (Kowarick & Singar, 1994).
Bentuk sebagai sebuah organisasi payung ini, di satu pihak membantu PT berkembang dengan cepat. Tapi, di sisi lain, keragaman ideologi, sejarah perjuangan, dan bentuk organisasi ini menyebabkan tersendat-sendatnya proses konsolidasi di tubuh partai. Misalnya, bagaimana memadukan antara demokrasi internal dan sentralisme di dalam partai; bagaimana para partisipan ini memandang PT sebagai organisasi perjuangan; bagaimana identitas PT sesungguhnya; bagaimana supaya tidak timbul partai di dalam partai, dan bagaimana menghapuskan militansi ganda (dual militancy) yakni, sebagai anggota PT dan sebagai anggota faksi. Sebagai contoh, Workers Faction berpendapat, PT seharusnya bertransformasi menjadi partai revolusioner; sebaliknya, menurut kelompok MEP, PT sebaiknya menjadi front politik kaum buruh dan tak perlu bertransformasi menjadi partai revolusioner. Adapun kelompok PCBR dan APML melihat PT sebagai wadah taktikal untuk menciptakan gerakan front popular untuk menghancurkan kediktatoran.
Namun demikian, seluruh tendensi ini menyepakati bahwa PT harus sanggup menyediakan arena bagi setiap tendensi untuk mempromosikan perjuangan ideologi di kalangan kelas pekerja. Tapi, tidak mudah bagi sebuah partai baru untuk menyikapi keragaman ini. Pertama, karena masih dalam tahap awal masa transisi, maka PT harus lebih responsif terhadap tuntutan kebutuhan politik yang berubah sangat cepat; yang kedua, masalah mendesak bagi PT adalah mempersiapkan diri untuk menghadapi pemilu 1982. Tetapi, tuntutan untuk penyatuan visi, pembentukan identitas, penghapusan partai dalam partai dan militansi ganda, tak terelakkan.
Momentum itu datang ketika PT kalah telak dalam perhelatan Pemilu 1982. Kekalahan itu telah mendatangkan kritik tajam terhadap jajaran pimpinan partai. Untuk memfasilitasi perdebatan tersebut, pimpinan PT mengeluarkan tiga kebijakan: pertama, membentuk sebuah koalisi mayoritas dalam partai yang disebut Articulacao dos 113 (Group of 113), pada pertengahan 1983. Articulacao dos 113, kemudian menjelma sebagai faksi terbesar di dalam PT; kedua, pembentukan faksi-faksi dan persekutuan politik di dalam partai adalah sah; dan ketiga, membentuk aturan main tendensi faksional di dalam partai. Dengan adanya regulasi ini, PT menginginkan agar faksi-faksi tersebut terlembaga, tidak bergerak liar sehingga lebih merupakan sebuah adu konspirasi ketimbang adu argumentasi.
Dengan keluarnya tiga kebijakan ini, selain Articulacao dos 113, segera muncul faksi lain yang menamakan dirinya Popular Power and Socialism, PT na Capital, dan beberapa kelompok Trotskys. Pelembagaan faksi ini semakin mendesak ketika sebuah kelompok dari mantan anggota Partai Komunis Revolusioner Brazil (the Revolutionary Brazilian Communist party), yang mengaku sebagai anggota PT, merampok sebuah bank di Salvador, Bahia, untuk membantu revolusi Nikaragua. Aksi ini dengan cepat menjadi santapan empuk media-media arus utama Brazil, dengan menyudutkan PT sebagai sebuah organisasi anti-demokrasi. Respon PT terhadap aksi tersebut adalah memecat pelakunya dari keanggotaan PT. Tetapi, dampak terpenting dari aksi perampokan itu, bahwa masalah faksionalisasi dalam PT belumlah tuntas.
Dengan kesadaran ini, dalam pertemuan nasional keempat PT di Sao Paulo, pada 30 Mei-1 Juni 1986, dihasilkan sebuah resolusi mengenai tendensi faksional yang dimandatkan kepada direktorat nasional, agar segera dilakukan diskusi nasional. Resolusi ini dimaksudkan untuk mencegah agar peristiwa Salvador, tidak terulang di kemudian hari. Namun demikian, resolusi itu juga sekaligus menekankan bahwa perbedaan faksional tidak boleh mentoleransi pelanggaran terhadap integritas partai:
1. PT adalah sebuah partai demokratik, sosialis, dan berbasis massa. PT bukanlah sebuah organisasi front politik atau sebagai sebuah front pelembagaan massa yang bisa digunakan sebagai instrumen oleh setiap partai politik;
2. Sebagai sebuah partai demokratik, PT membela dan terus memperhatikan keinginan mayoritas, dan pada saat yang sama, memperkuat keberadaan minoritas dan hak-hak mereka agar terwakili dan terekspresikan dalam seluruh instansi partai;
3. Pertemuan nasional memperhatikan hak setiap tendensi dan selanjutnya diserahkan kepada direktorat nasional menyangkut pengaturannya. Tetapi, partai memahami bahwa hak ini tidak boleh diperluas kepada kelompok yang tidak mengadopsi program PT atau mereka yang tidak menerima demokrasi dan kedisiplinan. Pada saat bersamaan, hak tendensi tidak boleh mengesahkan militansi dalam partai kecuali terhadap PT (Keck, 2003).
Proses selanjutnya, agar perdebatan menjadi konkret, para partisipan dalam debat diharuskan untuk mendaftakan nama organisasi faksinya, pimpinan faksi, anggota faksi yang terdaftar, dan isu-isu yang dianggap bertentangan dengan kebijakan partai.
Setelah itu seluruh partisipan diminta memfokuskan perdebatan pada tiga hal: (1) aturan main tendensi faksional; (2) demokrasi internal; dan (3) pandangan partai tentang sosialisme. Selanjutnya, agar perdebatan ini menjadi milik bersama, pada 1998, partai menerbitkan majalah teoritis empat bulanan yang disebut Teoria e Debate. Melalui majalah ini, seluruh anggota dan simpatisan partai bisa mengikuti jalannya perdebatan dan menetapkan pilihan politiknya pada faksi yang dianggap sesuai aspirasinya.
Kepustakaan:
1. Antonina Yermakova & Valentine Ratnikov, “Kelas dan Perjuangan Kelas,” Penerbit Sumbu, Yogyakarta, 2002, h. 20.
2. Michael Curtis, “The Great Political Theories,” Vol. 2, Avon Books, 1981.
3. Margaret E. Keck, “The Workers Party Anda Democratization in Brazil,” Yale University Press, 1992.
4. Luci Kowarick (ed)., “Social Struggles and The City The Case of Sao Paulo,” Monthly Review Press, New York, 1994.
5. William R. Nylen, “Participatory Democracy versus Elitist Democracy Lesson from Brazil,” Palgrave Macmillan, New York, 2003.
Title : Partai Kiri Di Masa Transisi Demokrasi ► SEOer Mendem ►
URL : https://seomendem.blogspot.com/2006/07/partai-kiri-di-masa-transisi-demokrasi_20.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Partai Kiri Di Masa Transisi Demokrasi ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.