Seni Untuk Publik - sebuah pandangan tentang kesenian saat ini
Andre GB
DUNIA saat ini adalah kapitalisme. Tak terkecuali Indonesia. Telah banyak ekonom kritis memberi nama baru untuk sistem ini, dengan melihat perkembangannya yang semakin gila di akhir abad 20: neoliberalisme. Dari sudut pandang ekonomi-politik, kapitalisme dapat diartikan tentang bagaimana suatu aspek kehidupan, yang seharusnya diakses oleh semua orang, menjadi hanya milik segelintir orang yang beruntung (secara ekonomi dan politik). Dan kerja–kerja kesenian, semacam lukisan-lukisan, buku–buku puisi, kerajinan tangan ataupun ukiran-ukiran, lagu-lagu dan sebagainya, bukanlah pengecualian dari hukum umum ini.
ahref name='more'>Dewasa ini, kondisi tersebut telah menjadi suatu kenyataan di Indonesia. Kita bisa melihat, bagaimana lukisan-lukisan indah, patung-patung berestetika tinggi, sampai kerajinan-kerajinan tangan bermutu, dipajang dan dijual dengan harga melangit di galeri-galeri bonafit. Warga Sulawesi Utara (Sulut), khususnya di kota Manado, tentu masih ingat tragedi terjualnya lukisan Sonny Lengkong, ketika pameran tunggalnya diadakan di salah satu hotel mewah di kota Manado, mencapai total lebih dari Rp 300 juta beberapa waktu silam. Tentu saja akhirnya, para penikmat seni yang datang ke galeri ataupun pameran pun relatif mapan secara ekonomi. Tak jarang, sebuah karya seni mahal tersebut setelah laku terjual, dibawa pulang ke rumah, diletakkan dalam satu ruangan khusus yang hanya bisa diakses segelintir orang, atau untuk dinikmati oleh pribadi ataupun keluarganya. Sebuah karya seni telah kehilangan sifat publiknya.
Manusia sejatinya tidak dapat dipisahkan dari kesenian, termasuk menikmati karya seni. Tapi, kini karya seni telah semakin nyata teralienasi dari manusianya, seiring menguatnya neoliberalisme sebagai perkembangan tertinggi kapitalisme dunia. Sepertinya, tangan manusia semakin kurang panjang agar mampu menggapai karya–karya seni tersebut. Yang ironisnya, justru lahir dari bekal pengalaman yang kemudian lahir dan menemukan medianya dalam bentuk karya seni.
Namun setiap thesis tentu memiliki anti-thesis. Realitas kesenian di bawah imperum kapitalisme, pasti memiliki kontradiksi internal dalam dirinya. Untuk dapat membongkarnya, pertama-tama kita harus mengetahui dengan benar bagaimana wujud kerja kapitalisme dalam kesenian.
Mistifikasi Seni
Secara teori, perpustakaan, museum maupun galeri dimaksudkan untuk menjamin akses publik terhadap kesenian, menyediakan ruang tertentu agar nyaman dalam menikmatinya, dan memang sukses tetapi dalam derajat tertentu. Meskipun demikian, masih banyak apresian seni, terutama yang berkemampuan ekonomi lemah, telah terlanjur membenarkan dalam pikirannya, bahwa tempat–tempat semacam itu tidaklah mungkin dibuat untuk kalangan mereka. Suasana khidmat perpustakaan besar, museum dan galeri membuat mereka seperti terintimidasi. Sebagaimana kenyataan sekarang, tempat–tempat itu memang “ada” untuk kaum menengah maupun kelas atas. Dan sungguh sebuah kesialan yang sangat tepat untuk watak masyarakat kita, yang masih kurang percaya diri dalam mengapresiasi maupun untuk menghasilkan karya seni itu sendiri.
Seorang teoritikus seni terkenal, John Berger, menggambarkan proses yang sedang berlangsung ini sebagai sebuah bagian utuh dari kecenderungan umum mistifikasi terhadap kesenian di dalam dunia kapitalisme. Pierre Bourdieu, sosiolog Perancis, melakukan observasi yang mirip. Penelitian itu mengantarkannya pada sebuah fakta, terdapat perbedaan cara pandang terhadap kesenian untuk masing–masing kelas sosial yang berbeda tingkatannya. Secara hegemonis maupun ekonomis, kelompok masyarakat kelas bawah akan dipaksa untuk terus menganggap bahwa karya-karya seni yang tengah dipajang di galeri-galeri, adalah suatu hal yang sakral (bukan untuk kalangan mereka) dan tidak terjangkau.
Langkah kedua adalah tentang bagaimana upaya sistematis dari kapitalisme, untuk terus mencegah akses manusia secara luas terhadap kesenian, adalah dengan menjadikan karya seni sebagai komoditi mewah yang diperjual-belikan di pasar dengan harga yang sangat mahal. Seniman-seniman profesional didorong untuk tunduk dan membebek pada pola pasar, agar bisa terus bertahan hidup. Sedang sekelompok kecil individu yang kaya raya, memiliki dan menguasai karya–karya seni yang mashyur dan mahal.
Tak ketinggalan, institut-institut kesenian, sebagai alat ideologi formal penghasil seniman–seniman, secara seragam mengajarkan kepada semua anak didiknya bagaimana berkesenian agar mampu terjual dengan harga tinggi nantinya. Dan secara tak sadar, akhirnya mereka melakukan kerja kesenian dengan tidak menggunakan sense, melainkan logika pasar. Sayangnya, logika tersebut pada perjalanannya, semenjak lahirnya di abad 18, tak pernah seiring dengan logika mayoritas rakyat.
Seni Langsung Turun Ke Jalan
Bagaimana cara melawan arus kapitalisme dalam seni? Salah satu yang bisa dicoba adalah dengan mengeluarkan seni dari perpustakaan elit, museum ataupun galeri ke jalanan. Biarkan seluruh apresian seni, yang adalah rakyat, dari tua muda, kaya maupun miskin, agar menikmatinya. Galeri–galeri mewah itu terlalu sakral untuk masyarakat kita yang mayoritas miskin. Dengan meletakkan kesenian di jalanan, akan menghancurkan elitisme dari galeri-galeri, museum–museum, maupun perpusatakaan elit sekaligus, untuk mendapatkan kembali ruang publik dan menghambat upaya-upaya pengkomoditian kesenian.
Kegiatan ini telah banyak dilakukan oleh seniman-seniman muda di Sulawesi Utara. Di bidang seni pertunjukan, pentas teater jalanan yang diadakan oleh Teater Kronis Manado, selama rentang tahun 1997 sampai 2004, Komunitas Pekerja Sastra (KONTRA) Sulut sepanjang 2001 sampai 2005, lalu dilanjutkan Kolektif Kerja Budaya Rakyat (KKBR) Manado, selama rentang tahun 2005 - 2007, adalah anti thesis terhadap pertunjukan–pertunjukan teater yang digagas oleh lembaga–lembaga pemerintah (penguasa) seperti, Persatuan Artis Teater Sulut (PATSU) ataupun Dewan Kesenian Sulawesi Utara, yang hanya terus sembunyi di gedung–gedung mewah, sibuk dengan lomba–lomba yang lebih berorientasi pada kalah menang dan perebutan uang hadiah.
Di bidang seni rupa, bisa mencontoh apa yang pernah dilakukan oleh seniman Arie Tulus bersama Mawale Art Comunity pada tanggal 7 April 2007. Bersamaan dengan pentas dan musikalisasi puisi, ia memamerkan lukisan–lukisannya di ruang terbuka dan secara langsung menjemput apresiasi publik.
Di bidang sastra, penerbitan buku–buku puisi karya penyair lokal secara underground dan peluncurannya yang justru hanya di laksanakan di sekretariat–sekretariat komunitas ataupun kelompok seni, atau kedai kecil di fakultas Sastra UNSRAT (Universitas Sam Ratulangi). Sebuah ruang yang terbuka akan akses para apresian, tanpa harus menemukan kesulitan yang berarti. Buku–buku yang juga dicetak dan di publikasikan secara underground, menjadi tamparan telak bagi banyak seniman mapan yang ingin karya–karyanya diterbitkan oleh penerbit besar dan akhirnya secara sadar, menjebakkan diri dalam budaya mengemis. Dan ketika biaya menjadi hambatan, proses kreatifpun seringkali mandek atau bahkan berhenti sama sekali.
Di bidang seni musik, apa yang dilakukan oleh musisi Witho Bangsat Abadi (yang populer lewat hitsnya Maitua & Aku Bukan Dispenser), mungkin bisa dijadikan bukti nyata, bahwa menghasilkan seni yang kerakyatan, anti hegemoni dan anti privatisasi adalah mungkin. Lagu–lagu ciptaannya, yang kemudian populer di chart indie beberapa radio lokal seperti Radio Suara Minahasa (93.3 FM) dan SIP FM, tidaklah direkam di studio mewah yang penuh peralatan mahal. Dengan berbekal kemampuan memanfaatkan teknologi lalu mempublikasikannya lewat jaringan seni yang dipunyai (ingat, bahwa pacar, teman, ataupun keluarga termasuk jaringan seni kita yang paling dekat), Witho BA memberi bukti eksistensi musik indie di tengah gempuran major label yang hanya berorientasi pada akumulasi keuntungan. Dan tentu saja ada garansi akan kualitas karya musik tersebut.
Tentu saja berkesenian di jalanan, tidak secara otomatis menjadikan kesenian tersebut berwatak kerakyatan dan menghasilkan iklim apresiasi yang positif. Kita pasti ingat, para penguasa di negeri manapun, selalu membangun patung-patung atau monumen–monumen mengenai diri atau kekuasaan mereka, untuk ditampilkan di tempat–tempat publik. Tujuan bangunan–bangunan tersebut adalah untuk mengintimidasi rakyat dan agar kita terus menganggap bahwa kekuasaan mereka yang otoriter itu adalah hal yang alami. Tak perlu jauh mengambil contoh, para penguasa kerajaan-kerajaan di Nusantara pun tidak lupa melakukannya. Berbagai prasasti, patung-patung dan artefak lainnya peninggalan zaman mereka telah menunjukkan kecenderungan itu. Terlepas bahwa apa yang dihasilkan juga merupakan sebuah hasil dari tingkat kesenian pada saat itu.
Tapi konsep kesenian model penguasa yang saat ini dipraktekkan pada rakyat, jelas sangat jauh berbeda dari kesenian jalanan yang sejati. Mereka (karya–karya seni penguasa) tak lain merupakan alat agitasi dan propaganda penguasa pada rakyatnya, demi langgengnya kekuasaan. Sebaliknya, kesenian jalanan yang kerakyatan, menunjukkan suatu potensi bagi sebuah dunia di mana kesenian adalah bagian integral dari hidup kita. Sebuah perayaan atas kretivitas kita dan kekayaan atas imajinasi kita. Program–program kesenian yang bersifat massal (misal : program sejuta mural untuk rakyat) di seluruh kota, haruslah menjadi prioritas pertama untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni. Sehingga, nantinya, cita-cita masyarakat yang mengerti akan estetika dari sebuah karya seni bukan sekedar mimpi.***
Andre GB, adalah seniman muda berkebangsaan Nanusa, kelahiran Manado 12 Agustus 1986. Ia bisa dihubungi di http://sastra-nanusa.blogspot.com/.
Artikel ini sebelumnya dimuat di Jurnal Sastra Manado, versi online, http://jurnal-sastra-manado.blogspot.com/, Januari, 2008.
Andre GB
DUNIA saat ini adalah kapitalisme. Tak terkecuali Indonesia. Telah banyak ekonom kritis memberi nama baru untuk sistem ini, dengan melihat perkembangannya yang semakin gila di akhir abad 20: neoliberalisme. Dari sudut pandang ekonomi-politik, kapitalisme dapat diartikan tentang bagaimana suatu aspek kehidupan, yang seharusnya diakses oleh semua orang, menjadi hanya milik segelintir orang yang beruntung (secara ekonomi dan politik). Dan kerja–kerja kesenian, semacam lukisan-lukisan, buku–buku puisi, kerajinan tangan ataupun ukiran-ukiran, lagu-lagu dan sebagainya, bukanlah pengecualian dari hukum umum ini.
ahref name='more'>Dewasa ini, kondisi tersebut telah menjadi suatu kenyataan di Indonesia. Kita bisa melihat, bagaimana lukisan-lukisan indah, patung-patung berestetika tinggi, sampai kerajinan-kerajinan tangan bermutu, dipajang dan dijual dengan harga melangit di galeri-galeri bonafit. Warga Sulawesi Utara (Sulut), khususnya di kota Manado, tentu masih ingat tragedi terjualnya lukisan Sonny Lengkong, ketika pameran tunggalnya diadakan di salah satu hotel mewah di kota Manado, mencapai total lebih dari Rp 300 juta beberapa waktu silam. Tentu saja akhirnya, para penikmat seni yang datang ke galeri ataupun pameran pun relatif mapan secara ekonomi. Tak jarang, sebuah karya seni mahal tersebut setelah laku terjual, dibawa pulang ke rumah, diletakkan dalam satu ruangan khusus yang hanya bisa diakses segelintir orang, atau untuk dinikmati oleh pribadi ataupun keluarganya. Sebuah karya seni telah kehilangan sifat publiknya.
Manusia sejatinya tidak dapat dipisahkan dari kesenian, termasuk menikmati karya seni. Tapi, kini karya seni telah semakin nyata teralienasi dari manusianya, seiring menguatnya neoliberalisme sebagai perkembangan tertinggi kapitalisme dunia. Sepertinya, tangan manusia semakin kurang panjang agar mampu menggapai karya–karya seni tersebut. Yang ironisnya, justru lahir dari bekal pengalaman yang kemudian lahir dan menemukan medianya dalam bentuk karya seni.
Namun setiap thesis tentu memiliki anti-thesis. Realitas kesenian di bawah imperum kapitalisme, pasti memiliki kontradiksi internal dalam dirinya. Untuk dapat membongkarnya, pertama-tama kita harus mengetahui dengan benar bagaimana wujud kerja kapitalisme dalam kesenian.
Mistifikasi Seni
Secara teori, perpustakaan, museum maupun galeri dimaksudkan untuk menjamin akses publik terhadap kesenian, menyediakan ruang tertentu agar nyaman dalam menikmatinya, dan memang sukses tetapi dalam derajat tertentu. Meskipun demikian, masih banyak apresian seni, terutama yang berkemampuan ekonomi lemah, telah terlanjur membenarkan dalam pikirannya, bahwa tempat–tempat semacam itu tidaklah mungkin dibuat untuk kalangan mereka. Suasana khidmat perpustakaan besar, museum dan galeri membuat mereka seperti terintimidasi. Sebagaimana kenyataan sekarang, tempat–tempat itu memang “ada” untuk kaum menengah maupun kelas atas. Dan sungguh sebuah kesialan yang sangat tepat untuk watak masyarakat kita, yang masih kurang percaya diri dalam mengapresiasi maupun untuk menghasilkan karya seni itu sendiri.
Seorang teoritikus seni terkenal, John Berger, menggambarkan proses yang sedang berlangsung ini sebagai sebuah bagian utuh dari kecenderungan umum mistifikasi terhadap kesenian di dalam dunia kapitalisme. Pierre Bourdieu, sosiolog Perancis, melakukan observasi yang mirip. Penelitian itu mengantarkannya pada sebuah fakta, terdapat perbedaan cara pandang terhadap kesenian untuk masing–masing kelas sosial yang berbeda tingkatannya. Secara hegemonis maupun ekonomis, kelompok masyarakat kelas bawah akan dipaksa untuk terus menganggap bahwa karya-karya seni yang tengah dipajang di galeri-galeri, adalah suatu hal yang sakral (bukan untuk kalangan mereka) dan tidak terjangkau.
Langkah kedua adalah tentang bagaimana upaya sistematis dari kapitalisme, untuk terus mencegah akses manusia secara luas terhadap kesenian, adalah dengan menjadikan karya seni sebagai komoditi mewah yang diperjual-belikan di pasar dengan harga yang sangat mahal. Seniman-seniman profesional didorong untuk tunduk dan membebek pada pola pasar, agar bisa terus bertahan hidup. Sedang sekelompok kecil individu yang kaya raya, memiliki dan menguasai karya–karya seni yang mashyur dan mahal.
Tak ketinggalan, institut-institut kesenian, sebagai alat ideologi formal penghasil seniman–seniman, secara seragam mengajarkan kepada semua anak didiknya bagaimana berkesenian agar mampu terjual dengan harga tinggi nantinya. Dan secara tak sadar, akhirnya mereka melakukan kerja kesenian dengan tidak menggunakan sense, melainkan logika pasar. Sayangnya, logika tersebut pada perjalanannya, semenjak lahirnya di abad 18, tak pernah seiring dengan logika mayoritas rakyat.
Seni Langsung Turun Ke Jalan
Bagaimana cara melawan arus kapitalisme dalam seni? Salah satu yang bisa dicoba adalah dengan mengeluarkan seni dari perpustakaan elit, museum ataupun galeri ke jalanan. Biarkan seluruh apresian seni, yang adalah rakyat, dari tua muda, kaya maupun miskin, agar menikmatinya. Galeri–galeri mewah itu terlalu sakral untuk masyarakat kita yang mayoritas miskin. Dengan meletakkan kesenian di jalanan, akan menghancurkan elitisme dari galeri-galeri, museum–museum, maupun perpusatakaan elit sekaligus, untuk mendapatkan kembali ruang publik dan menghambat upaya-upaya pengkomoditian kesenian.
Kegiatan ini telah banyak dilakukan oleh seniman-seniman muda di Sulawesi Utara. Di bidang seni pertunjukan, pentas teater jalanan yang diadakan oleh Teater Kronis Manado, selama rentang tahun 1997 sampai 2004, Komunitas Pekerja Sastra (KONTRA) Sulut sepanjang 2001 sampai 2005, lalu dilanjutkan Kolektif Kerja Budaya Rakyat (KKBR) Manado, selama rentang tahun 2005 - 2007, adalah anti thesis terhadap pertunjukan–pertunjukan teater yang digagas oleh lembaga–lembaga pemerintah (penguasa) seperti, Persatuan Artis Teater Sulut (PATSU) ataupun Dewan Kesenian Sulawesi Utara, yang hanya terus sembunyi di gedung–gedung mewah, sibuk dengan lomba–lomba yang lebih berorientasi pada kalah menang dan perebutan uang hadiah.
Di bidang seni rupa, bisa mencontoh apa yang pernah dilakukan oleh seniman Arie Tulus bersama Mawale Art Comunity pada tanggal 7 April 2007. Bersamaan dengan pentas dan musikalisasi puisi, ia memamerkan lukisan–lukisannya di ruang terbuka dan secara langsung menjemput apresiasi publik.
Di bidang sastra, penerbitan buku–buku puisi karya penyair lokal secara underground dan peluncurannya yang justru hanya di laksanakan di sekretariat–sekretariat komunitas ataupun kelompok seni, atau kedai kecil di fakultas Sastra UNSRAT (Universitas Sam Ratulangi). Sebuah ruang yang terbuka akan akses para apresian, tanpa harus menemukan kesulitan yang berarti. Buku–buku yang juga dicetak dan di publikasikan secara underground, menjadi tamparan telak bagi banyak seniman mapan yang ingin karya–karyanya diterbitkan oleh penerbit besar dan akhirnya secara sadar, menjebakkan diri dalam budaya mengemis. Dan ketika biaya menjadi hambatan, proses kreatifpun seringkali mandek atau bahkan berhenti sama sekali.
Di bidang seni musik, apa yang dilakukan oleh musisi Witho Bangsat Abadi (yang populer lewat hitsnya Maitua & Aku Bukan Dispenser), mungkin bisa dijadikan bukti nyata, bahwa menghasilkan seni yang kerakyatan, anti hegemoni dan anti privatisasi adalah mungkin. Lagu–lagu ciptaannya, yang kemudian populer di chart indie beberapa radio lokal seperti Radio Suara Minahasa (93.3 FM) dan SIP FM, tidaklah direkam di studio mewah yang penuh peralatan mahal. Dengan berbekal kemampuan memanfaatkan teknologi lalu mempublikasikannya lewat jaringan seni yang dipunyai (ingat, bahwa pacar, teman, ataupun keluarga termasuk jaringan seni kita yang paling dekat), Witho BA memberi bukti eksistensi musik indie di tengah gempuran major label yang hanya berorientasi pada akumulasi keuntungan. Dan tentu saja ada garansi akan kualitas karya musik tersebut.
Tentu saja berkesenian di jalanan, tidak secara otomatis menjadikan kesenian tersebut berwatak kerakyatan dan menghasilkan iklim apresiasi yang positif. Kita pasti ingat, para penguasa di negeri manapun, selalu membangun patung-patung atau monumen–monumen mengenai diri atau kekuasaan mereka, untuk ditampilkan di tempat–tempat publik. Tujuan bangunan–bangunan tersebut adalah untuk mengintimidasi rakyat dan agar kita terus menganggap bahwa kekuasaan mereka yang otoriter itu adalah hal yang alami. Tak perlu jauh mengambil contoh, para penguasa kerajaan-kerajaan di Nusantara pun tidak lupa melakukannya. Berbagai prasasti, patung-patung dan artefak lainnya peninggalan zaman mereka telah menunjukkan kecenderungan itu. Terlepas bahwa apa yang dihasilkan juga merupakan sebuah hasil dari tingkat kesenian pada saat itu.
Tapi konsep kesenian model penguasa yang saat ini dipraktekkan pada rakyat, jelas sangat jauh berbeda dari kesenian jalanan yang sejati. Mereka (karya–karya seni penguasa) tak lain merupakan alat agitasi dan propaganda penguasa pada rakyatnya, demi langgengnya kekuasaan. Sebaliknya, kesenian jalanan yang kerakyatan, menunjukkan suatu potensi bagi sebuah dunia di mana kesenian adalah bagian integral dari hidup kita. Sebuah perayaan atas kretivitas kita dan kekayaan atas imajinasi kita. Program–program kesenian yang bersifat massal (misal : program sejuta mural untuk rakyat) di seluruh kota, haruslah menjadi prioritas pertama untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni. Sehingga, nantinya, cita-cita masyarakat yang mengerti akan estetika dari sebuah karya seni bukan sekedar mimpi.***
Andre GB, adalah seniman muda berkebangsaan Nanusa, kelahiran Manado 12 Agustus 1986. Ia bisa dihubungi di http://sastra-nanusa.blogspot.com/.
Artikel ini sebelumnya dimuat di Jurnal Sastra Manado, versi online, http://jurnal-sastra-manado.blogspot.com/, Januari, 2008.
Title : Seni Untuk Publik ► SEOer Mendem ►
URL : https://seomendem.blogspot.com/2008/04/seni-untuk-publik_6.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Seni Untuk Publik ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.