'Keluarga Besar' SBY, HMI Connection, dan Aktivis - uhuk="http://3.bp.blogspot.com/_9eHuZHq_LxY/TB8X0YPg96I/AAAAAAAAAM4/mPSN7V7GsNs/s1600/Foto+Anto.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}">ANALISA EKONOMI POLITIK
Anto Sangaji
Mahasiswa doktoral di York University, Kanada
SEMINGGU terakhir ini, halaman-halaman utama media massa, diramaikan oleh pemberitaan mengenai struktur baru kepengurusan Partai Demokrat, di bawah pimpinan Anas Urbaningrum. Ada tiga hal yang tampaknya ramai dipercakapkan dari kepengurusan baru ini, yakni masuknya gerbong ‘keluarga besar’ SBY, isyu mengenai HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) connection, dan masuknya sejumlah aktivis. Ketiga hal ini sebenarnya mewakili sebagian potret politik Indonesia dalam 40 tahun terakhir, di mana politik selalu dipercakapkan sebagai sesuatu yang elitis dan jauh dari soal-soal yang dihadapi rakyat kebanyakan.
ahref name='more'>
****
Politik Indonesia sejak Orde Baru ditandai menonjolnya politik ‘keluarga besar’. Masuknya keluarga besar SBY, membawa ingatan kita pada masa kejayaan Suharto, di mana partai-partai politik, terutama Golongan Karya secara leluasa mempraktikkan itu. Bukan saja di jajaran kepengurusan partai politik di tingkat pusat, tetapi praktik yang sama juga berlangsung sampai ke daerah-daerah, di mana para kepala daerah mengirim isteri, anak, menantu, dan kerabat dekatnya menjadi pengurus partai politik. Sejak reformasi partai-partai politik terus melanjutkan tradisi 'kekeluargaan' ini.
Sirkulasi elit politik pun ibarat kisah zaman kerajaan-kerajaan. Kekuasaan dialihkan dan diserahkan kepada anak atau sanak famili lainnya. Jika di zaman Suharto, ‘roh kekuasaan’ seolah berputar di sekitar Cendana, maka pada zaman reformasi, kekuasaan jadi identik dengan Teuku Umar dan Cikeas.
Tentu saja, politik berbasis ‘keluarga besar’ adalah penyakit. Anehnya, nepotisme justru menjadi salah satu senjata dalam penumbangan Orde Baru. Inilah satu kontradiksi dalam praktik demokrasi liberal belasan tahun ini. Bukannya menghilang, nepotisme malah semakin menjadi-jadi saja, dan berlangsung melalui mekanisme elektoral yang ‘demokratis’.
****
Lalu, isu HMI connection di tubuh Partai Demokrat. Ini jelas bukan perkara baru, karena, misalnya, ketika memimpin Partai Golkar, Akbar Tanjung (eks Ketua Umum PB HMI) juga disebut-sebut mempraktikkannya.
Sebenarnya, HMI adalah organisasi yang sangat longgar secara ideologis, dengan anggota/alumni yang bermacam-macam warnanya. Islam memang menjadi salah satu identitas organisasi ini, tetapi tidak dalam pengertian ketat. Anggota/alumni HMI punya pandangan keislaman yang sangat bervariasi, bahkan bertentangan, mulai dari yang paling fundamentalis sampai dengan yang sangat kontras dengan itu. Dan sejarah HMI dan alumninya selalu penuh dengan dinamika pertarungan dalam soal-soal itu. Oleh karena itu, pemunculan isu HMI connection lebih baik dipandang sebagai pertarungan di antara fraksi-fraksi pendukung rejim dengan kepentingan kekuasaan jangka pendek, di mana soal-soal sektarianisme laku dipermainkan, dari pada menganggapnya sebagai soal serius.
Ini kurang lebih sama di masa Suharto sejak 1970-an sampai akhir 1980an. Seolah-olah ada kelompok Katolik yang menguasai politik Indonesia, hanya karena seorang Benny Murdani yang sangat berpengaruh saat itu. Kalau Katolik mengapa Murdani harus menjadi salah satu arsitek dan pendudukan di Timor Leste, dengan membantai ratusan ribu warga sipil di sana yang notabene seiman dengannya? Duduk perkaranya sebenarnya telah jelas, bahwa ini bukan soal Katolik atau bukan Katolik, tetapi negara Orde Baru, dalam geopolitik global adalah bagian dari orbit kekaisaran Amerika Serikat, di mana logika pendudukan Timor Leste adalah turunan dari ‘Perang Dingin’.
Yang ingin digaris-bawahi adalah isu sektarianisme berlandaskan agama memang laku dalam politik modern Indonesia. Dan isu ini selalu dimanipulasi dalam politik elektoral oleh kelas yang berkuasa untuk melanggengkan kekuasaannya.
****
Jajaran kepengurusan baru Partai Demokrat juga diisi oleh the so-called "aktivis", seperti masuknya Rahland Nashidik di dalamnya. Sempat nama Usman Hamid, kordinator Kontras disebut-sebut juga, tetapi kemudian menarik diri pada menit-menit terakhir. Ini juga bukan barang baru, karena sejak reformasi 1998, telah terjadi diaspora para aktivis ke partai-partai politik, terutama partai-partai arus utama, seperti Partai Golkar dan PDI Perjuangan. Lebih ke belakang lagi, sebagian aktivis mahasiswa yang terlibat dalam penghancuran rejim Orde Lama dan komunis di akhir 1960an, kemudian berduyun-duyun masuk ke dalam lingkaran kekuasaan Orde Baru.
Bagaimana menjelaskannya? Orde Baru lah yang menjadi basis dari persemaian. Sebagian generasi aktivis anti-komunis yang tidak ikut kereta kekuasaan Orde Baru, membentuk beragam organisasi non-pemerintah (Ornop) generasi 1970an dan 1980an. Bukan berbasis pada organisasi massa, karakter Ornop-ornop ini adalah kritik reformis terhadap dampak-dampak strategi pembangunan Orde Baru di bidang ekonomi, hukum, lingkungan hidup, dan sebagainya.
Suara-suara kritis aktivis Ornop semakin meluas terhadap kediktatoran Suharto terutama sejak berakhirnya Perang Dingin. Negeri-negeri kapitalis maju, yang secara tradisional mensponsori dan mendukung rezim tangan besi ini, mulai secara bertahap meninggalkannya. Bantuan-bantuan dan pinjaman-pinjaman internasional mulai mensyaratkan soal-soal hak asasi manusia, demokrasi, dan lingkungan hidup, tiga area di mana Ornop-ornop memainkan peran cukup signifikan. Sejak akhir 1980an, Amerika Serikat, misalnya, mulai mematok hegemoninya di wilayah Asia Pasifik di bawah tema "keamanan, kesejahteraan, dan demokrasi". Sejak Bill Clinton menempati Gedung Putih, dia menekankan demokrasi dan pasar bebas sebagai dua sisi dari sekeping logam dalam agenda politik globalnya. Dari konteks inilah konsep "civil society" (masyarakat sipil) menjadi mantra yang diserap oleh Ornop dalam hubungan kritiknya terhadap Orde Baru.
Tetapi, generasi baru aktivis ayang muncul sejak akhir 1980an, yang berbasis mahasiswa, di mana kampus-kampus mereka mengalami proyek "depolitisasi" Orde Baru sejak akhir 1970an punya warna yang berbeda. Kalau merujuk ke ilmuwan politik Edward Aspinall, para aktivis ini secara "ideologi" bisa dikelompokkan ke dalam tiga kelompok: liberal-populist students, popular-radicalism, dan Islamic student activism. Kelompok yang pertama dan ketiga mungkin memiliki variasi ideologi yang sama dengan mahasiswa yang ikut menumbangkan Sukarno. Sementara popular-radicalism mencatatkan diri sebagai hal baru dalam politik gerakan mahasiswa sejak Orde Baru, yang mengombinasikan politik penyatuan dan mobilisasi mahasiswa dengan buruh dan petani. Tetapi, secara obyektif, reformasi pasar sejak 1980an melahirkan perkembangan kapitalisme dengan kontradiksi yang mendalam seperti tingginya angka pengangguran, tingkat eksploitasi buruh yang dalam, ledakan jumlah kaum miskin kota, dan berbagai bentuk akumulasi melalui perampasan merupakan latar dari kemunculan gerakan-gerakan mahasiswa dengan aneka ideologi itu. Dan kendati memiliki ideologi berlainan, tetapi semuanya memandang Suharto dan militer sebagai masalah yang harus diakhiri. Setelah sangat menonjol dalam penumbangan Suharto dan transisi awal reformasi, sebagian di antara generasi aktivis ini masuk ke dalam partai politik arus utama.
Setelah reformasi, aktivis berbasis Ornop terus berkembang pesat. Perkembangan ini bertemu dengan semangat global dalam mempromosikan neoliberalisme di bawah kata-kata kunci seperti "penguatan masyarakat sipil", "tata-kelola pemerintahan yang baik" dan "pemberantasan kemiskinan". Seperti di masa Orde Baru, fungsi aktivis Ornop tetap kurang lebih sebagai pengkritik reformis terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang sarat korupsi, pelanggaran HAM, dan aneka pelanggaran lainnya. Kritik mereka tidak menyentuh pada kritik kapitalisme sebagai sistem yang mendasari bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan itu. Olehnya, masuknya para aktivis Ornop ke dalam partai politik arus utama sebenarnya bukan kejutan, karena tidak ada persilangan kelas dan ideologis di sana.
****
Pelajaran yang bisa dipetik dari ketiga soal di atas adalah daur ulang cerita-cerita lama. Politik "keluarga besar", sektarianisme agama, dan aktivis adalah bagian dari proyek politik kelas yang berkuasa. Apa yang terjadi dengan Partai Demokrat, sebenarnya adalah gambaran dari partai politik nasional secara keseluruhan: beraneka warna tetapi menerima kapitalisme tanpa kecuali. Negara dengan tendensi neoliberal yang meluas hadir dengan kukuh, di mana sirkulasi pengisian aparat negara, yang di antaranya melalui partai-partai politik, berlangsung dalam skema ini.
Nepotisme, sektarianisme, dan aktivisme sepanjang terkelola dan tidak mengancam kelas yang berkuasa, ya lebih baik dipelihara.***
Anto Sangaji
Mahasiswa doktoral di York University, Kanada
SEMINGGU terakhir ini, halaman-halaman utama media massa, diramaikan oleh pemberitaan mengenai struktur baru kepengurusan Partai Demokrat, di bawah pimpinan Anas Urbaningrum. Ada tiga hal yang tampaknya ramai dipercakapkan dari kepengurusan baru ini, yakni masuknya gerbong ‘keluarga besar’ SBY, isyu mengenai HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) connection, dan masuknya sejumlah aktivis. Ketiga hal ini sebenarnya mewakili sebagian potret politik Indonesia dalam 40 tahun terakhir, di mana politik selalu dipercakapkan sebagai sesuatu yang elitis dan jauh dari soal-soal yang dihadapi rakyat kebanyakan.
ahref name='more'>
****
Politik Indonesia sejak Orde Baru ditandai menonjolnya politik ‘keluarga besar’. Masuknya keluarga besar SBY, membawa ingatan kita pada masa kejayaan Suharto, di mana partai-partai politik, terutama Golongan Karya secara leluasa mempraktikkan itu. Bukan saja di jajaran kepengurusan partai politik di tingkat pusat, tetapi praktik yang sama juga berlangsung sampai ke daerah-daerah, di mana para kepala daerah mengirim isteri, anak, menantu, dan kerabat dekatnya menjadi pengurus partai politik. Sejak reformasi partai-partai politik terus melanjutkan tradisi 'kekeluargaan' ini.
Sirkulasi elit politik pun ibarat kisah zaman kerajaan-kerajaan. Kekuasaan dialihkan dan diserahkan kepada anak atau sanak famili lainnya. Jika di zaman Suharto, ‘roh kekuasaan’ seolah berputar di sekitar Cendana, maka pada zaman reformasi, kekuasaan jadi identik dengan Teuku Umar dan Cikeas.
Tentu saja, politik berbasis ‘keluarga besar’ adalah penyakit. Anehnya, nepotisme justru menjadi salah satu senjata dalam penumbangan Orde Baru. Inilah satu kontradiksi dalam praktik demokrasi liberal belasan tahun ini. Bukannya menghilang, nepotisme malah semakin menjadi-jadi saja, dan berlangsung melalui mekanisme elektoral yang ‘demokratis’.
****
Lalu, isu HMI connection di tubuh Partai Demokrat. Ini jelas bukan perkara baru, karena, misalnya, ketika memimpin Partai Golkar, Akbar Tanjung (eks Ketua Umum PB HMI) juga disebut-sebut mempraktikkannya.
Sebenarnya, HMI adalah organisasi yang sangat longgar secara ideologis, dengan anggota/alumni yang bermacam-macam warnanya. Islam memang menjadi salah satu identitas organisasi ini, tetapi tidak dalam pengertian ketat. Anggota/alumni HMI punya pandangan keislaman yang sangat bervariasi, bahkan bertentangan, mulai dari yang paling fundamentalis sampai dengan yang sangat kontras dengan itu. Dan sejarah HMI dan alumninya selalu penuh dengan dinamika pertarungan dalam soal-soal itu. Oleh karena itu, pemunculan isu HMI connection lebih baik dipandang sebagai pertarungan di antara fraksi-fraksi pendukung rejim dengan kepentingan kekuasaan jangka pendek, di mana soal-soal sektarianisme laku dipermainkan, dari pada menganggapnya sebagai soal serius.
Ini kurang lebih sama di masa Suharto sejak 1970-an sampai akhir 1980an. Seolah-olah ada kelompok Katolik yang menguasai politik Indonesia, hanya karena seorang Benny Murdani yang sangat berpengaruh saat itu. Kalau Katolik mengapa Murdani harus menjadi salah satu arsitek dan pendudukan di Timor Leste, dengan membantai ratusan ribu warga sipil di sana yang notabene seiman dengannya? Duduk perkaranya sebenarnya telah jelas, bahwa ini bukan soal Katolik atau bukan Katolik, tetapi negara Orde Baru, dalam geopolitik global adalah bagian dari orbit kekaisaran Amerika Serikat, di mana logika pendudukan Timor Leste adalah turunan dari ‘Perang Dingin’.
Yang ingin digaris-bawahi adalah isu sektarianisme berlandaskan agama memang laku dalam politik modern Indonesia. Dan isu ini selalu dimanipulasi dalam politik elektoral oleh kelas yang berkuasa untuk melanggengkan kekuasaannya.
****
Jajaran kepengurusan baru Partai Demokrat juga diisi oleh the so-called "aktivis", seperti masuknya Rahland Nashidik di dalamnya. Sempat nama Usman Hamid, kordinator Kontras disebut-sebut juga, tetapi kemudian menarik diri pada menit-menit terakhir. Ini juga bukan barang baru, karena sejak reformasi 1998, telah terjadi diaspora para aktivis ke partai-partai politik, terutama partai-partai arus utama, seperti Partai Golkar dan PDI Perjuangan. Lebih ke belakang lagi, sebagian aktivis mahasiswa yang terlibat dalam penghancuran rejim Orde Lama dan komunis di akhir 1960an, kemudian berduyun-duyun masuk ke dalam lingkaran kekuasaan Orde Baru.
Bagaimana menjelaskannya? Orde Baru lah yang menjadi basis dari persemaian. Sebagian generasi aktivis anti-komunis yang tidak ikut kereta kekuasaan Orde Baru, membentuk beragam organisasi non-pemerintah (Ornop) generasi 1970an dan 1980an. Bukan berbasis pada organisasi massa, karakter Ornop-ornop ini adalah kritik reformis terhadap dampak-dampak strategi pembangunan Orde Baru di bidang ekonomi, hukum, lingkungan hidup, dan sebagainya.
Suara-suara kritis aktivis Ornop semakin meluas terhadap kediktatoran Suharto terutama sejak berakhirnya Perang Dingin. Negeri-negeri kapitalis maju, yang secara tradisional mensponsori dan mendukung rezim tangan besi ini, mulai secara bertahap meninggalkannya. Bantuan-bantuan dan pinjaman-pinjaman internasional mulai mensyaratkan soal-soal hak asasi manusia, demokrasi, dan lingkungan hidup, tiga area di mana Ornop-ornop memainkan peran cukup signifikan. Sejak akhir 1980an, Amerika Serikat, misalnya, mulai mematok hegemoninya di wilayah Asia Pasifik di bawah tema "keamanan, kesejahteraan, dan demokrasi". Sejak Bill Clinton menempati Gedung Putih, dia menekankan demokrasi dan pasar bebas sebagai dua sisi dari sekeping logam dalam agenda politik globalnya. Dari konteks inilah konsep "civil society" (masyarakat sipil) menjadi mantra yang diserap oleh Ornop dalam hubungan kritiknya terhadap Orde Baru.
Tetapi, generasi baru aktivis ayang muncul sejak akhir 1980an, yang berbasis mahasiswa, di mana kampus-kampus mereka mengalami proyek "depolitisasi" Orde Baru sejak akhir 1970an punya warna yang berbeda. Kalau merujuk ke ilmuwan politik Edward Aspinall, para aktivis ini secara "ideologi" bisa dikelompokkan ke dalam tiga kelompok: liberal-populist students, popular-radicalism, dan Islamic student activism. Kelompok yang pertama dan ketiga mungkin memiliki variasi ideologi yang sama dengan mahasiswa yang ikut menumbangkan Sukarno. Sementara popular-radicalism mencatatkan diri sebagai hal baru dalam politik gerakan mahasiswa sejak Orde Baru, yang mengombinasikan politik penyatuan dan mobilisasi mahasiswa dengan buruh dan petani. Tetapi, secara obyektif, reformasi pasar sejak 1980an melahirkan perkembangan kapitalisme dengan kontradiksi yang mendalam seperti tingginya angka pengangguran, tingkat eksploitasi buruh yang dalam, ledakan jumlah kaum miskin kota, dan berbagai bentuk akumulasi melalui perampasan merupakan latar dari kemunculan gerakan-gerakan mahasiswa dengan aneka ideologi itu. Dan kendati memiliki ideologi berlainan, tetapi semuanya memandang Suharto dan militer sebagai masalah yang harus diakhiri. Setelah sangat menonjol dalam penumbangan Suharto dan transisi awal reformasi, sebagian di antara generasi aktivis ini masuk ke dalam partai politik arus utama.
Setelah reformasi, aktivis berbasis Ornop terus berkembang pesat. Perkembangan ini bertemu dengan semangat global dalam mempromosikan neoliberalisme di bawah kata-kata kunci seperti "penguatan masyarakat sipil", "tata-kelola pemerintahan yang baik" dan "pemberantasan kemiskinan". Seperti di masa Orde Baru, fungsi aktivis Ornop tetap kurang lebih sebagai pengkritik reformis terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang sarat korupsi, pelanggaran HAM, dan aneka pelanggaran lainnya. Kritik mereka tidak menyentuh pada kritik kapitalisme sebagai sistem yang mendasari bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan itu. Olehnya, masuknya para aktivis Ornop ke dalam partai politik arus utama sebenarnya bukan kejutan, karena tidak ada persilangan kelas dan ideologis di sana.
****
Pelajaran yang bisa dipetik dari ketiga soal di atas adalah daur ulang cerita-cerita lama. Politik "keluarga besar", sektarianisme agama, dan aktivis adalah bagian dari proyek politik kelas yang berkuasa. Apa yang terjadi dengan Partai Demokrat, sebenarnya adalah gambaran dari partai politik nasional secara keseluruhan: beraneka warna tetapi menerima kapitalisme tanpa kecuali. Negara dengan tendensi neoliberal yang meluas hadir dengan kukuh, di mana sirkulasi pengisian aparat negara, yang di antaranya melalui partai-partai politik, berlangsung dalam skema ini.
Nepotisme, sektarianisme, dan aktivisme sepanjang terkelola dan tidak mengancam kelas yang berkuasa, ya lebih baik dipelihara.***
Title : 'Keluarga Besar' SBY, HMI Connection, dan Aktivis ► SEOer Mendem ►
URL : https://seomendem.blogspot.com/2010/06/besar-sby-hmi-connection-dan-aktivis_21.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel 'Keluarga Besar' SBY, HMI Connection, dan Aktivis ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.