Mengapa Demokrasi Melahirkan Kudeta?

Diposkan oleh Unknown on Monday, September 25, 2006

Mengapa Demokrasi Melahirkan Kudeta? - Coen Husain Pontoh

Setelah lebih dari satu dekade menjauhkan diri dari politik praktis, militer Thailand kembali beraksi. pada 19 September 2006, di bawah komando jenderal Sonthi Boonyaratglin, mereka mengudeta perdana menteri Thaksin Shinawatra yang terpilih secara demokratis.

Jika pemilu merupakan ukuran paling minimal dari demokrasi, kudeta jelas merupakan tindakan anti demokrasi yang tak bisa dibenarkan atas alasan apapun. Kudeta adalah tradisi politik barbarian, yang percaya bahwa stabilitas dan harmoni sosial bisa diterapkan secara paksa. Padahal kita tahu, korban pertama dan terakhir dari kudeta, selamanya adalah rakyat kebanyakan. Tetapi, mengapa pemerintahan yang terpilih secara demokratis itu dikudeta?

Berdasarkan pengalaman beberapa negara, jawaban bisa bermacam-macam. Di Brasil pada 1964 atau Chile 1973, kudeta militer terhadap pemerintahan hasil pemilu, sangat dipengaruhi oleh konteks perang dingin yang dilancarkan Amerika Serikat. Dalam kudeta di Thailand ini, komandan kudeta mengatakan, “belum pernah dalam sejarah Thailand, rakyat terpecah-belah seperti saat ini. Dan semua ini akibat perbuatan pemerintahan Thaksin.”

Jika pernyataan ini kita terima, maka ada pertanyaan penting di sini: pertama, mengapa demokrasi gagal menyelesaikan problem kesenjangan sosial, ekonomi, politik, dan budaya di msyarakat Thailand? Kedua, mengapa Thaksin baru bisa dijatuhkan melalui kudeta militer?

Dengan bersandar pada artikel Kasian Tejapira, yang berjudul “Toppling Thaksin” (New Left Review, 39 May/June 2006), tulisan pendek ini coba menjawab dua pertanyaan di atas. Tejapira adalah pengajar ilmu politik di Thammasat University, Bangkok, Thailand.

Kapitalisme Thailand

Untuk memahami kegagalan pemerintahan produk demokrasi dan rangkaian kudeta yang mengiringinya, ada baiknya kita melihat proses berkembangnya kapitalisme Thailand.

Menurut Kasian Tejapira, formasi ekonomi dari kapitalisme modern Thailand, dimulai pada awal dekade 1960an dan masa ketika Amerika Serikat (AS) melancarkan perang di Vietnam (Vietnam War). Proses pembangunan melalui jalan kapitalis ini mengambil bentuk strategi industrialisasi impor (ISI), yang pelaksanaannya dipandu oleh Bank Dunia serta kucuran dana besar-besaran dari AS.

Pada saat yang sama, raja Bhumibol Aduljadei, memaklumkan dirinya sebagai pejuang garis depan gerakan anti komunisme. Sistem politik pun di atur melalui tangan besi militer, atas nama perang melawan komunisme dan stabilitas sosial.

Hasil dari pembangunan kapitalisme dan politik tangan besi ini, dalam empat dekade setelahnya, pertumbuhan ekonomi Thailand meningkat rata-rata tujuh persen per tahun. Per kapita GDP meningkat dari $100 pada 1961 menjadi $2.750 pada 1995. Pada awal tahun 1980an, kontribusi sektor manufaktur menggeser kontribusi sektor pertanian pada ekspor dan GDP. Untuk menjaga momentum pertumbuhan, antara tahun 1980 dan 1984, perdana menteri jenderal Prem Tinsulanond, memberlakukan program penyesuaian struktural (SAP) besar-besaran menurut garis Bank Dunia. Program ini meliputi devaluasi mata uang Baht, pembangunan sektor manufaktur berorientasi ekspor khususnya garmen dan tekstil melalui pengintensifikasian tenaga kerja.

Tetapi, sebagaimana kisah di bagian dunia lainnya, pembangunan melalui jalan kapitalis ini melahirkan kesenjangan sosial yang luar biasa dalam masyarakat Thailand. Pada tahun 1996, dari pembagian kue pendapatan nasional, lima persen teratas populasi pendapatannnya meningkat sebesar 57 persen dari 49 persen pada 1976. Sementara itu, lima persen terbawah pendapatannya menurun dari enam persen menjadi empat persen dalam periode yang sama. Setelah empat dekade pertumbuhan cepat pembangunan kapitalisme, Thailand tumbuh sebagai salah satu negara paling timpang di dunia, lebih buruk ketimbang tetangganya di Asia Timur dan Tenggara.

Dari Kediktatoran Menuju Elektokrasi

Seperti biasanya, ketimpangan pembangunan secara perlahan menggerus basis legitimasi kediktatoran. Satu dua bara api perlawanan pun bermunculan. Yang terbesar adalah demonstrasi 6 Oktober 1973 yang kemudian ditindak brutal oleh militer. Brutalisme itu lantas memicu 3.000 mahasiswa, buruh dan aktivis lari ke hutan dan bergabung dengan gerakan gerilayawan komunis yang Maois. Inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah Thailand, kalangan intelektual radikal perkotaan, bergabung dengan organisasi petani pemberontak di daerah pinggiran.

Sejak saat itu, situasi politik Thailand kian meluruhkan dinding kokoh kediktatoran. Bersamaan dengan munculnya kelas borjuasi dan kelas menengah perkotaan sebagai hasil dari pembangunan kapitalisme, akhirnya pada 1980, di tengah kegagalan politik kediktatoran dan merajalelanya korupsi, keran keterbukaan diberikan secara terbatas. Sistem parlementarian kemudian diperkenalkan sebagai hasil kompromi antara partai-partai borjuis dan militer.

Pelan-pelan kediktatoran militer bergeser ke apa yang disebut Tejapira sebagai Elektokrasi. Yakni, mereka yang terpilih sebagai anggota parlemen atau menteri, biasanya adalah politisi dengan latar belakang pengusaha-cum bos mafia lokal yang tidak peduli dengan agenda nasional dan kebijakan ekonomi makro. Yang penting segera dapat untung secepat-cepatnya. Sekali terpilih, mereka ini segera bertindak layaknya pebisnis: memperjual-belikan kebijakan publik dan membagi konsesi-konsesi politik jangka pendek.

Demokrasi terbatas yang dikuasi oleh para elekokrasi ini berlanjut hingga terjadinya krisis moneter pada 1997, yang kemudian melahirkan reformasi konstitusi yang dikenal sebagai Konsitusti 1997. Sebelumnya, pada 1992 terjadi gerakan politik untuk melawan kekuasaan para elektokrat itu. Tetapi, gerakan ini gagal karena pada dirinya terbelah antara kalangan liberal dan demokrat reformis. Yang pertama, datang dari lapis atas masyarakat yang penuh percaya diri sebagai hasil dari pembangunan kapitalis. Mereka ini adalah para kelas pedagang baru, sebagian besar darinya adalah etnis Cina, yang melihat kalangan profesional CEO atau manajer-manajer keuangan lebih bisa dipercaya dalam mengurus kebobrokan birokrasi ketimbang para jenderal dan elektokrat, dan terutama dalam mengelola Thailand di era globalisasi.

Kelompok kedua, sebaliknya, lebih menekankan pada “people’s politics,” dan berharap akan bisa membangun jaringan kerja nasional dari aliansi organisasi-organisasi lokal, LSM developmentalis, dan intelektual publik di bawah platform egalitarian, komunitas-pedesaan yang berbasis ‘self-sufficient economy.’ Kelompok ini memahami politik seperti demonstrasi jalanan, bersifat langsung dan mengusung gagasan demokrasi partisipatoris. Pada saat yang sama, mereka bertujuan mentransformasikan birokrasi negara ke dalam forum publik menjadi negosiasi antara berbagai kelompok kepentingan.

Kekuasaan para elektokrat yang berkoalisi dengan militer itu, baru benar-benar goyah ketika terjadi krisis ekonomi pada 1997. Krisis ini menyebabkan kekuasaan lama gagal dalam melindungi kepentingan bisnis besar: investasi asing kabur, nilai mata uang Baht meluncur jatuh ke titik teredah, sepertiga dari kapitalis besar Thai jatuh bangkrut, ribuan perusahaan tutup, dua pertiga dari bank-bank komersial berpindah tangan, dan satu miliar buruh kehilangan pekerjaannya. Karena itu, krisis 1997 ini tak sekadar menghancurkan keajaiban pertumbuhan ekonomi tapi, juga berimbas pada reformasi politik yang bertujuan menyingkirkan kaum elektokrat yang ditandai dengan reformasi Konstitusi 1997.

Pada masa-masa krisis ini, Thailand semakin tergantung pada resep-resep ortodoksi-neoliberal yang didiktekan IMF untuk memulihkan krisis. Dalam masyarakat sendiri, muncul perbedaan cara pandang dalam pemulihan krisis. Borjuasi besar kini tak dapat lagi menjalankan usahanya tanpa menempel pada partner multinasionalnya; adapaun kalangan buruh menilai kini saatnya Thailand menjalankan strategi nasionalisme ekonomi untuk melawan kebuasaan mekanisme pasar yang terbukti telah menggiring ekonomi Thailand ke dalam krisis. Sementara kelas menengah bersifat mendua: di satu sisi mereka melihat peluang yang disediakan oleh ekonomi terbuka dan pasar bebas tapi, krisis 1997 juga telah menghantam peluang ekonomi yang sebelumnya mereka nikmati.

Pada masa-masa inilah Thaksin Shinawatra, sang konglomerat industri informasi menancapkan karir politiknya. Mula pertama ia bergabung dengan Partai Phalang Tham (Moral Force), dan tak lama kemudian mengambilalih kepemimpinan partai dari tangan mayor jenderal Chamlong Shrimuang. Pada Juli 1998, Thaksin mendirikan partainya sendiri yang dinamai Thai Rak Thai Party, dan memutuskan bertarung dalam pemilu pertama di bawah Konstitusi 1997, pada Januari 2002.

Untuk mendukung popularitasnya, Thaksin merekrut mantan 700 aktivis yang bertugas sebagai tim kampanye. Tim ini kemudian menelurkan program-program populis kepada rakyat, jika Thaksin terpilih sebagai perdana menteri. Hasilnya menakjubkan, TRT memenangi 11 juta suara dan 248 kursi di parlemen. Thaksin pun dilantik sebagai perdana menteri.

Guna mengamankan kekuasaannya, Thaksin menjalankan empat strategi sekaligus. Pertama, ia menjalankan proses neoliberalisasi ekonomi Thailand seperti, privatisasi dan liberalisasi besar-besaran. Dengan cara ini, ia aman dari rongrongan para spekulan pasar internasional. Kedua, ia membagi-bagi kekuasaannya di kalangan kapitalis kroni. Misalnya, ia merekrut Sondhi Limthongkul alias Li Ming Da, mantan aktivis kiri yang kemudian beralih menjadi konglomerat media di masa gelembung ekonomi. Sondhi pemilik Manager Media Group, memback-up habis-habisan kampanye Thaksin dengan mengerahkan seluruh armada industrinya. Hasilnya, ketika Thaksin menjadi PM, ia merekrut kaki tangan Sondhi ke dalam jabatan-jabatan strategis pemerintahannya. Misalnya, menteri perdagangan dan keuangan, Somkid Jatusripitak, adalah co-founder Manager Media Group. Atau kepala penasehat kebijakannya, Pansak Vinyaratn, adalah editor Asia Times, koran milik Sondhi.

Selanjutnya, untuk menjaga dukungan di tingkat bawah, khususnya di kalangan petani, Thaksin meluncurkan serangkaian kebijakan populis: pinjaman-mikro, bantuan uang bagi petani, pemangkasan sebesar 30 baht bagi setiap kunjungan ke rumah sakit. Ia juga membentuk the Village and Urban Community Fund, untuk membiayai sekitar 4000 komunitas perkoataan dan 7000 komunitas pedesaan di seluruh Thailand.

Keempat, ia menjalankan politik tangan besi terhadap kalangan oposisi, terutama dari kalangan muslim di Selatan Thailand.

Dengan kebijakan demikian, untuk sementara Thaksin berhasil mengamankan kekuasaannya, sekaligus mengamankan perilaku korup dari keluarganya. Ia bahkan bisa mendikte kekuasaan kehakiman yang mencoba mengusut dugaan korupsi, pemerasan, dan pencucian uang yang dilakukan oleh kroni-kroninya. Bahkan, ketika diadakan pemilu pada Februari 2005, TRT memenangkan 19 juta suara dan memenangkan kursi mayoritas di parlemen, 377 dari 500 kursi.

Fondasi Yang Rapuh

Tetapi, kekuasaan kuat Thaksin sesungguhnya berdiri di atas pondasi ekonomi yang sangat rapuh. Walaupun, kebijakan populisnya telah mendatangkan dukunga besar dari kaum tani tapi, sejatinya kebijakan tersebut tidak menambah tinggi tingkat pendapat kelompok tersebut. Hasil survey tahun 2002 menunjukkan, 500 ribu petani kehilangan tanahnya, 70 persen dari seluruh populasi tetap hidup di daerah pinggiran, dan 60 persen pendapatan mereka diperoleh dari pekerjaan di luar sektor pertanian.

Kesenjangan regional juga tetap tinggi. Pada 2004, Bangkok dengan populasi sebanyak 17 persen dari keseluruhan populasi Thailand, menikmati 44 persen dari GDP. Di kota-kota besar lainnya, dengan 17 persen populasi menikmati 27 persen GDP. Sebaliknya, di Selatan, dengan 14 persen populasi hanya menerima 9 persen dari GDP, di pegunungan dengan 34 persen populasi hanya menerima 11 persen dari GDP. Kesenjangan antar sektor juga tinggi: pertanian dengan menampung 42 persen tenaga kerja, hanya menerima 10 persen GDP. Sementara di perkotaan dengan 21 persen tenaga kerja menerima 41 persen GDP, dan sektor jasa dengan 37 persen tenaga kerja menerima 50 persen GDP.

Di kalangan rejim lama, khususnya militer, pelayan sipil dan teknokrat, intelektual liberal, pengacara, dan aktivis LSM, kebencian terhadap rejim Thaksin juga sangat tinggi. Gaya kepemimpinan khas pedagang, korupsi, kroniisme, nepotisme, pemerasan, pembunuhan ekstra-yudisial, dan penyalahguanaan kekuasaan secara sistematis, menjadi sumber utama kebencian kelompok ini. Barisan sakit hati ini pada akhirnya tiba pada kesimpulan: “Thaksin-Ok Pai, Thaksin Out.”

Tetapi, seperti ditulis Kasian Tejapiran, seluruh kalangan oposisi ini sesungguhnya memiliki pandangan politik yang sangat beragam. Sondhi Limthongkul, mantan kroni yang beralih menjadi oposan, misalnya, malah menyeru kepada raja agar mau mengambilalih tanggung jawab dari tangan Thaksin. Di kalangan gerakan sosial, LSM, misalnya, dukungan dari kelompok arus bawah sangatlah kecil. Kalangan akar rumput ini, terutama di pedesaan, malah merupakan basis utama pendukung Thaksin. Ini dibuktikan dengan hasil referendum pada 3 April 2006, dimana Thaksin memperoleh 56 persen suara dari 16 juta pemilih. Referendum ini digelar setelah serangkaian demonstrasi besar sejak September 2005, menuntut Thaksin agar mundur dari jabatannya.

Dengan demikian, hanya ada dua kekuatan yang mampu menandingi kekuatan Thaksin: raja yang merupakan simbol abadi kekuasaan rakyat Thailand, dan militer. Tetapi raja selalu mengambil jalan aman dari seluruh rangkaian pergolakan politik, yang menempatkan posisinya sebagai bapak bagi semua. Tinggal militer yang berpotensi menggulingkan Thaksin. Dan itulah yang mereka lakukan, ketika Thaksin tengah menghadiri sidang umum PBB di New York.








Title : Mengapa Demokrasi Melahirkan Kudeta?SEOer Mendem5
URL : https://seomendem.blogspot.com/2006/09/mengapa-demokrasi-melahirkan-kudeta_25.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Mengapa Demokrasi Melahirkan Kudeta? ini jika bermanfaat bagi sobat.

Posts related to Mengapa Demokrasi Melahirkan Kudeta?:

0 komentar | add komentar

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.