Rudi Hartono: Finansialisasi Tidak Menciptakan Nilai Baru (1) - uhuk="http://2.bp.blogspot.com/_9eHuZHq_LxY/S3n6LfmdXUI/AAAAAAAAACw/4airjOWrhxA/s1600-h/Snapshot+2010-02-15+21-08-11.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}">PADA tahun 2008, rakyat Amerika Serikat (AS) dan dunia, menyaksikan dua kejadian bersejarah dan monumental. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarahnya, rakyat AS memilih seorang warga keturunan kulit hitam,sebagai presiden di negara adikuasa itu. Pada saat bersamaan, rakyat AS dan dunia juga mengalami krisis ekonomi terparah sejak Depresi Ekonomi 1930an. Kedua peristiwa ini, di satu sisi menimbulkan harapan, di sisi lain menerbitkan kegelisahan dan ketakutan yang akut. Krisis ekonomi 2008, telah mengubur mantra-mantra kebijakan neoliberal yang diusung dan dipopulerkan oleh penganut ekonomi mazhab neo-klasik yang dominan sejak dekade 1970an.
Di AS, krisis ekonomi yang parah ini telah melahirkan perdebatan teoritik-ilmiah juga sumpah serapah. Bagaimana dengan Indonesia, khususnya kaum progresif memandang krisis ini? Untuk mengetahuinya, Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS melakukan perbincangan dengan Rudi Hartono dari Partai Persatuan Pembebasan Nasional/Partai Rakyat Demokratik (Papernas/PRD), Anwar Ma'ruf dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), dan Wahyu Susilo dan International NGO on Indonesia (INFID). Pada bagian pertama ini, kami turunkan perbincangan bersama Rudi Hartono. Berikut petikannya:
ahref name='more'>
IndoPROGRESS (IP): Menurut anda, apa penyebab krisis ekonomi yang dimulai pada 2008 kemarin?
Rudi Hartono (RH): Mengenai sifat krisis kapitalisme global saat ini, meskipun diberi label “krisis keuangan," tetapi sebenarnya mengandung dimensi yang lebih luas dari sekedar persoalan di institusi keuangan global. Ini bukan sekedar persoalan kebangkrutan lima bank raksasa di Wall Street karena persoalan likuiditas, seperti yang sering menjadi titik tolak ekonom arus utama di Indonesia. Ini adalah krisis yang bersifat struktural; kolapsnya sektor real, krisis bahan makanan, krisis energi, krisis ekologi, dan krisis sosial budaya. Pendek kata, kapitalisme sebagai sistim sedang mengalami krisis struktural. Ceritanya agak panjang, tapi saya akan memulai dengan alur perjalanan krisis ini.
Pada tahun 1950an hingga 1970an, ekonomi kapitalis secara global telah diperluas. Ekonomi global mengalami laju pertumbuhan sebesar 5 persen dari PDB dalam dua dekade dan nyaris tanpa interupsi. Ada resesi ringan tahun 1958, tetapi hanya sebatas di USA. Kemajuan ini sering dikaitkan dengan keberhasilan manajemen Keynesian. Namun, sebagian ekonom marxist melihat, bahwa perang dan peningkatan belanja militer-lah yang menjadi penghela kemajuan itu, bukan Keynesian.
Pada tahun 1970an, terjadi perubahan sangat mendasar dalam perekonomian dunia; tingkat investasi telah merosot karena jatuhnya tingkat keuntungan, perusahaan-perusahaan raksasa global telah berkembang menjadi sangat monopolis, jatuhnya tingkat permintaan, dan kapitalisme semakin sering berurusan dengan stagflasi.
Menghadapi ini, selain melakukan “serangan terbatas” terhadap serikat buruh dan kesejahteraan sosial rakyatnya, kapitalisme global telah mempromosikan integrasi ekonomi global ke negeri-negeri semi-kapitalis, non-kapitalis, atau pra-kapitalis. Ini dilakukan melalui liberalisasi perdagangan barang dan jasa, dengan menghilangkan segala bentuk rintangan terhadap mobilitas modal dan investasi asing. Dengan begitu, mengacu pada ciri imperialisme menurut Lenin, neoliberalisme telah menandai babak baru penjajahan terhadap dunia ketiga, untuk merampok bahan baku murah, tenaga kerja murah, menguasai pasar domestik, dan outlet baru bagi investasi asing.
Di negeri-negeri maju, kebijakan reformasi ekonomi untuk membongkar sistem kesejahteraan telah menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan dan meningkatnya pengangguran. Sementara di Dunia Ketiga, sebuah kemiskinan ekstrem telah tercipta dan seringkali berujung kepada letupan sosial. Kesenjangan ekonomi, seperti dikatakan Josef Steindl, Paul Baran, Paul Sweezy, distribusi pendapatan yang memihak kaum kaya memiliki efek negatif terhadap keseluruhan konsumsi dalam keseluruhan produksi karena orang kaya mengonsumsi lebih sedikit ketimbang orang miskin dalam proporsi pendapatan mereka.
Ada kontradiksi konstan antara pertumbuhan cepat dari kekuatan produksi dan kemampuan massa untuk mengonsumsi. Tentu saja ada iklan, sistem kredit, dan usaha lain untuk mempromosikan konsumerisme, semua itu terjadi, tetapi tidak selalu bekerja dengan baik.
Jalur lain yang ditempuh kapitalisme global adalah finansialisasi. Dengan begini, seorang kapitalis dapat melipatgandakan keuntungan dalam waktu singkat. Dengan mengklik mouse komputer, anda dapat memindahkan miliaran dolar di pasar keuangan di seluruh dunia. Persoalannya, model ini memang bisa menciptakan keuntungan dalam hitungan detik, iya, namun tidak pernah menciptakan nilai baru---hanya industri, pertanian, perdagangan dan jasa yang menciptakan nilai baru. Ini mendorong keterpisahan antara sistem finansial dan ekonomi riil. Karena finansialisasi sangat tergantung pada aksi spekulatif, maka tidak mengherankan kalau sektor finansial hinggap dari satu gelembung ke gelembung lainnya, dari krisis ke krisis.
IP: Mengapa krisis yang dipicu oleh krisis sektor perumahan itu bisa menyebabkan krisis ekonomi yang lebih parah?
RH: Analogi sederhananya begini: Bank menerima deposito dari anda dan saya, kemudian mereka meminjamkan kepada industri. Bank membayar anda dengan bunga tertentu. Dan para industrialis membayar tingkat bunga itu. Perbedaan antara kedua tingkat bunga adalah sumber keuntungan bank. Ini adalah model perbankan komersial tua. Setelah memasuki periode deregulasi keuangan, kita memasuki model baru. Analogi untuk bank komersial dulunya adalah model “museum.” Ketika orang mengambil pinjaman kepada bank, maka ia menciptakan asset bagi bank tersebut. Hal itu dimasukkan dalam rekening dan tetap seperti itu, tidak berubah. Sekarang ini, model “museum” ini telah hilang. Kita memasuki model “parkiran” sekarang. Perjanjian kredit antara peminjam dan bank bukanlah akhir dari segalanya. Bank mengkonversi pinjaman itu ke dalam sebuah asset keuangan yang dapat diperjual-belikan, melalui sebuah proses yang disebut sekuritisasi. Instrument ini kemudian diperjual-belikan dipasar keuangan. Orang atau entitas yang beroperasi di pasar keuangan dapat membeli dan menjualnya. Orang yang memperdagangkan asset ini berharap mendapat keuntungan, antara lain, melalui harga pembelian yang lebih rendah dan kemudian dijual dengan harga yang lebih tinggi.
Nah, bank yang mengambil kredit perumahan ini, telah mengubahnya menjadi asset yang "disekuritaskan" (securitized) dengan aset-aset lain menjadi produk-produk derivatif yang kompleks disebut "obligasi beragun aset" (collateralised debt obligations - CDOs). Orang-orang yang membeli obligasi itu melakukannya ketika pasar perumahan berkembang dan nilai asset perumahan naik, dan mereka berharap menjual obligasi itu dengan harga yang lebih tinggi. Ketika pinjaman ini mulai terasa kecut, misalnya, karena nilai rumah hancur akibat banyak peminjam yang default atau gagal dalam membayar angsuran, atau karena banyak orang menjual rumahnya untuk membayar utang, maka sekuritas itu segera kehilangan harganya. Nah, Bank atau orang yang menjual asset bermasalah ini seolah merasa telah terlepas dari resiko, namun, pada kenyataannya, mereka telah menyebarkan resiko ke dalam sistem, seperti tertular ke bank-bank investasi seperti Goldman Sachs dan Merril Lynch dan sebagainya. Ini membawa efek mematikan kepada sistim secara keseluruhan.
Pada kenyataannya, bahwa sistem kredit telah membiayai pertumbuhan ekonomi AS sepanjang dekade 1980an, sementara, pada sisi lain, deregulasi sektor keuangan juga menjadi solusi bagi kapitalisme global untuk mengembalikan tingkat keuntungan mereka. Ini merupakan gambaran buruk terhadap ekonomi secara umum. Ancaman terbesar di depan mata adalah hutang rumah tangga yang sudah membumbung tinggi. Pada tahun 1990an, utang rumah tangga sudah mencapai 95,6 persen dari keseluruhan pendapatan tersebut. Setelah jutaan orang kehilangan uang mereka dan tertekan oleh utang baru, bank-bank sekarang memiliki utang yang beresiko sangat buruk. Krisis subprime mortage merupakan bagian dari gambaran utang rakyat pekerja dan kalangan menengah. Pemompaan kredit dalam keuangan adalah cara kelas berkuasa untuk menunda krisis, tapi sebetulnya telah memperdalam derajat krisis kelebihan produksi itu sendiri.
IP: Mengapa krisis ini bisa meluas secara global? Faktor-faktor apa yang mempengaruhinya?
RH: Menurut saya, integrasi ekonomi global membuat dampak krisis saat ini sangat berbeda dengan 30-40 tahun lalu, dimana goncangan di negara maju belum tentu keras terasa di rumah kita. Namun sekarang ini, dengan integrasi ekonomi global tersebut, jika Amerika bersin, kita bukan hanya terkena cipratan air, tetapi kita akhirnya juga terkena demam.
Semenjak dua dekade yang lalu, para elit keuangan global telah memutuskan bahwa kerangka kerja bagi perekonomian globali dibagi menjadi; (1) pasar derivatif global—berbasiskan sistem keuangan, dikendalikan oleh US Federal Reserve Bank dan asosiasi bank-bank negara maju, (2) relokasi produksi barang dari barat ke timur, khususnya produksi barang, terutama ke China, India, Asia timur, dsb.
Yang pertama dibangun dengan prinsip sederhana, bahwa FED mengendalikan mata uang cadangan global yang akan menjadi mesin pertumbuhan untuk ekonomi global. Ini pada dasarnya adalah prinsip ekonomi imperialis. Mata-rantai dari sistem keuangan ini adalah unipolarisme mata uang-dollar. Ini adalah cara AS untuk mengontrol ekonomi dan keuangan global, namun menjadi bencana bagi negara-negara yang terikat dengan dollar.
Asia Timur dan khususnya Cina, bagi kapitalisme global dipandang sebagai “pintu keluar” bagi krisis saat ini, sekaligus menjadi “tanah penyelamatan” bagi krisis kelebihan produksi di negeri-negeri kapitalis maju. Akan tetapi, perkembangan pesat China bukan tanpa mengandung kontradiksi; (1) politik upah murah telah berkontribusi kepada pelebaran kesenjangan sosial di China, upah riil telah lama mandeg, dan kemampuan konsumsi massa benar-benar sudah tertinggal jauh dari pertumbuhan dan ekspansi ekonomi China. (2) kebijakan industrialisasi yang berorientasi ekspor turut menempatkan China sebagai penyumbang kritis dalam krisis kelebihan produksi global.
Sementara negara-negara lain, khususnya korban penyesuaian struktural di Asia, Afrika, Amerika Latin, dsb, kerusakan besar telah menempatkan negeri ini menjadi “korban terparah” dari kecelakaan ekonomi global. Untuk tetap melanjutkan penerimaan dari ekspor, kebanyakan negara dunia ketiga sendiri sudah men-devaluasi mata uang, termasuk China berencana melakukan ini, dan betul-betul mengkhawatirkan AS.
IP: Bagaimana kondisi perekonomian Indonesia dengan adanya krisis ini?
RH: Jauh sebelum krisis ini berlangsung, perekonomian Indonesia sebetulnya sudah diambang kebangkrutan; de-industrialisasi, berkembangnya ekonomi informal, kemiskinan, dan lain sebagainya. Jadi, pada dasarnya, krisis keuangan ini hanya “tambahan” bobot terhadap krisis yang sudah terjadi sebelumnya.
Baiklah, kita sekarang memperhitungkan pengaruhnya ke kita; pertama, krisis ekonomi ini akan berpengaruh terhadap negara yang perekonomiannya sangat bertumpu pada industri berorientasi ekspor, termasuk Indonesia. Karena krisis mendorong kontraksi permintaan negara maju, maka nilai eskpor kita pun akan merosot, sehingga berpengaruh pada kapasitas produksi perusahaan ekspor di dalam negeri. Ini akan mempercepat proses de-industrialisasi, berarti gelombang PHK massal, pengangguran, dan kejatuhan daya beli secara massif.
Industri manufaktur menderita serangan berantai. Belum selesai “sakit” akibat pengaruh krisis global, sektor manufaktur kembali dirugikan oleh krisis listrik, kemudian nanti penerapan perdagangan bebas melalui FTA ASEAN-China. Ini merupakan serangan mematikan, dan korban yang sudah diujung maut ini akan tewas kalau tidak ada “jeda” untuk menghentikan serangan ini.
Kedua, krisis ini, pertama sekali, akan berpengaruh pada sektor keuangan dan perbankan. Kita harus menyadari, bahwa pemain terbesar di pasar keuangan kita, terutama di pasar saham, adalah pemodal asing (portfolio). Sedangkan pemain pribumi di pasar saham hanya berkisar 1 persen. Meski begitu, ancaman sesungguhnya bukan pada kolapsnya “pemain 1 persen itu”, tetapi terjadinya pelarian modal besar-besaran. Karena pasar keuangan kita terderegulasi, belum lagi pemain utamanya adalah asing, maka setiap gejolak ekonomi global dapat memicu pelarian kapital besar-besaran. Hal itu berarti permintaan besar terhadap dollar, dan itu akan menekan rupiah. Kalau rupiah kita terus melemah, maka itu akan berpengaruh kepada kegiatan impor, sebab biaya impor kita akan semakin mahal. Akibatnya, kejadian ini bisa memicu terjadinya inflasi; biaya makanan dan kebutuhan pokok sewaktu-waktu bisa meroket. Pelarian modal berarti pasar modal menurun dan nilai rupiah akan merosot. Bagi masyarakat umum, ini dapat diterjemahkan sebagai perlambatan investasi, penurunan daya serap tenaga kerja, dan sebagainya.
IP: Apa jalan keluar yang organisasi anda tawarkan untuk mengatasi krisis ini?
RH: Karena krisis ini bersifat struktural, maka solusinya pun seharusnya melampaui kerangka sistem ini. Dan kelihatannya, seluruh organisasi progressif sudah sampai kepada kesimpulan semacam ini. Hanya saja, kami merasa bahwa persoalan ini akan lebih kompleks dan lebih rumit dibanding dengan apa yang diperkirakan. Selama ini, formula untuk menjawab persoalan masih dominan mengikuti petunjuk ekonom arus utama, sedangkan tawaran dari sisi kiri masih tersimpan di pinggiran, abstrak, dan sloganistik.
Karena itu, menurut kami, tantangan terbesar kaum pergerakan di Indonesia adalah bagaimana memasukkan usulan dan tawaran kaum kiri dalam ruang-ruang politik nasional, sehingga dapat menjadi acuan bagi masyarakat luas. Dalam kepentingan itu, masalahnya adalah bagaimana merumuskan kebijakan yang dapat disepakati secara luas, namun berhasil dalam merespon kebutuhan-kebutuhan mendesak rakyat.
Pada wilayah program, kami bergerak pada wilayah bagaimana melakukan penyelamatan mendesak terhadap ekonomi nasional, terutama dalam menghidupkan kembali ekonomi produktif dan memberi jaminan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Untuk itu kmi mengusulkan:
a. Mendorong untuk segera diterapkannya regulasi terhadap sektor keuangan. Segala upaya melakukan privatisasi perbankan dan dominasi modal asing di perbankan nasional harus dilawan. Selain itu, Arsitektur Perbankan Indonesia (API) harus diubah agar lebih mengutamakan fungsi intermediasi dengan sektor riil;
Di AS, krisis ekonomi yang parah ini telah melahirkan perdebatan teoritik-ilmiah juga sumpah serapah. Bagaimana dengan Indonesia, khususnya kaum progresif memandang krisis ini? Untuk mengetahuinya, Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS melakukan perbincangan dengan Rudi Hartono dari Partai Persatuan Pembebasan Nasional/Partai Rakyat Demokratik (Papernas/PRD), Anwar Ma'ruf dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), dan Wahyu Susilo dan International NGO on Indonesia (INFID). Pada bagian pertama ini, kami turunkan perbincangan bersama Rudi Hartono. Berikut petikannya:
ahref name='more'>
IndoPROGRESS (IP): Menurut anda, apa penyebab krisis ekonomi yang dimulai pada 2008 kemarin?
Rudi Hartono (RH): Mengenai sifat krisis kapitalisme global saat ini, meskipun diberi label “krisis keuangan," tetapi sebenarnya mengandung dimensi yang lebih luas dari sekedar persoalan di institusi keuangan global. Ini bukan sekedar persoalan kebangkrutan lima bank raksasa di Wall Street karena persoalan likuiditas, seperti yang sering menjadi titik tolak ekonom arus utama di Indonesia. Ini adalah krisis yang bersifat struktural; kolapsnya sektor real, krisis bahan makanan, krisis energi, krisis ekologi, dan krisis sosial budaya. Pendek kata, kapitalisme sebagai sistim sedang mengalami krisis struktural. Ceritanya agak panjang, tapi saya akan memulai dengan alur perjalanan krisis ini.
Pada tahun 1950an hingga 1970an, ekonomi kapitalis secara global telah diperluas. Ekonomi global mengalami laju pertumbuhan sebesar 5 persen dari PDB dalam dua dekade dan nyaris tanpa interupsi. Ada resesi ringan tahun 1958, tetapi hanya sebatas di USA. Kemajuan ini sering dikaitkan dengan keberhasilan manajemen Keynesian. Namun, sebagian ekonom marxist melihat, bahwa perang dan peningkatan belanja militer-lah yang menjadi penghela kemajuan itu, bukan Keynesian.
Pada tahun 1970an, terjadi perubahan sangat mendasar dalam perekonomian dunia; tingkat investasi telah merosot karena jatuhnya tingkat keuntungan, perusahaan-perusahaan raksasa global telah berkembang menjadi sangat monopolis, jatuhnya tingkat permintaan, dan kapitalisme semakin sering berurusan dengan stagflasi.
Menghadapi ini, selain melakukan “serangan terbatas” terhadap serikat buruh dan kesejahteraan sosial rakyatnya, kapitalisme global telah mempromosikan integrasi ekonomi global ke negeri-negeri semi-kapitalis, non-kapitalis, atau pra-kapitalis. Ini dilakukan melalui liberalisasi perdagangan barang dan jasa, dengan menghilangkan segala bentuk rintangan terhadap mobilitas modal dan investasi asing. Dengan begitu, mengacu pada ciri imperialisme menurut Lenin, neoliberalisme telah menandai babak baru penjajahan terhadap dunia ketiga, untuk merampok bahan baku murah, tenaga kerja murah, menguasai pasar domestik, dan outlet baru bagi investasi asing.
Di negeri-negeri maju, kebijakan reformasi ekonomi untuk membongkar sistem kesejahteraan telah menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan dan meningkatnya pengangguran. Sementara di Dunia Ketiga, sebuah kemiskinan ekstrem telah tercipta dan seringkali berujung kepada letupan sosial. Kesenjangan ekonomi, seperti dikatakan Josef Steindl, Paul Baran, Paul Sweezy, distribusi pendapatan yang memihak kaum kaya memiliki efek negatif terhadap keseluruhan konsumsi dalam keseluruhan produksi karena orang kaya mengonsumsi lebih sedikit ketimbang orang miskin dalam proporsi pendapatan mereka.
Ada kontradiksi konstan antara pertumbuhan cepat dari kekuatan produksi dan kemampuan massa untuk mengonsumsi. Tentu saja ada iklan, sistem kredit, dan usaha lain untuk mempromosikan konsumerisme, semua itu terjadi, tetapi tidak selalu bekerja dengan baik.
Jalur lain yang ditempuh kapitalisme global adalah finansialisasi. Dengan begini, seorang kapitalis dapat melipatgandakan keuntungan dalam waktu singkat. Dengan mengklik mouse komputer, anda dapat memindahkan miliaran dolar di pasar keuangan di seluruh dunia. Persoalannya, model ini memang bisa menciptakan keuntungan dalam hitungan detik, iya, namun tidak pernah menciptakan nilai baru---hanya industri, pertanian, perdagangan dan jasa yang menciptakan nilai baru. Ini mendorong keterpisahan antara sistem finansial dan ekonomi riil. Karena finansialisasi sangat tergantung pada aksi spekulatif, maka tidak mengherankan kalau sektor finansial hinggap dari satu gelembung ke gelembung lainnya, dari krisis ke krisis.
IP: Mengapa krisis yang dipicu oleh krisis sektor perumahan itu bisa menyebabkan krisis ekonomi yang lebih parah?
RH: Analogi sederhananya begini: Bank menerima deposito dari anda dan saya, kemudian mereka meminjamkan kepada industri. Bank membayar anda dengan bunga tertentu. Dan para industrialis membayar tingkat bunga itu. Perbedaan antara kedua tingkat bunga adalah sumber keuntungan bank. Ini adalah model perbankan komersial tua. Setelah memasuki periode deregulasi keuangan, kita memasuki model baru. Analogi untuk bank komersial dulunya adalah model “museum.” Ketika orang mengambil pinjaman kepada bank, maka ia menciptakan asset bagi bank tersebut. Hal itu dimasukkan dalam rekening dan tetap seperti itu, tidak berubah. Sekarang ini, model “museum” ini telah hilang. Kita memasuki model “parkiran” sekarang. Perjanjian kredit antara peminjam dan bank bukanlah akhir dari segalanya. Bank mengkonversi pinjaman itu ke dalam sebuah asset keuangan yang dapat diperjual-belikan, melalui sebuah proses yang disebut sekuritisasi. Instrument ini kemudian diperjual-belikan dipasar keuangan. Orang atau entitas yang beroperasi di pasar keuangan dapat membeli dan menjualnya. Orang yang memperdagangkan asset ini berharap mendapat keuntungan, antara lain, melalui harga pembelian yang lebih rendah dan kemudian dijual dengan harga yang lebih tinggi.
Nah, bank yang mengambil kredit perumahan ini, telah mengubahnya menjadi asset yang "disekuritaskan" (securitized) dengan aset-aset lain menjadi produk-produk derivatif yang kompleks disebut "obligasi beragun aset" (collateralised debt obligations - CDOs). Orang-orang yang membeli obligasi itu melakukannya ketika pasar perumahan berkembang dan nilai asset perumahan naik, dan mereka berharap menjual obligasi itu dengan harga yang lebih tinggi. Ketika pinjaman ini mulai terasa kecut, misalnya, karena nilai rumah hancur akibat banyak peminjam yang default atau gagal dalam membayar angsuran, atau karena banyak orang menjual rumahnya untuk membayar utang, maka sekuritas itu segera kehilangan harganya. Nah, Bank atau orang yang menjual asset bermasalah ini seolah merasa telah terlepas dari resiko, namun, pada kenyataannya, mereka telah menyebarkan resiko ke dalam sistem, seperti tertular ke bank-bank investasi seperti Goldman Sachs dan Merril Lynch dan sebagainya. Ini membawa efek mematikan kepada sistim secara keseluruhan.
Pada kenyataannya, bahwa sistem kredit telah membiayai pertumbuhan ekonomi AS sepanjang dekade 1980an, sementara, pada sisi lain, deregulasi sektor keuangan juga menjadi solusi bagi kapitalisme global untuk mengembalikan tingkat keuntungan mereka. Ini merupakan gambaran buruk terhadap ekonomi secara umum. Ancaman terbesar di depan mata adalah hutang rumah tangga yang sudah membumbung tinggi. Pada tahun 1990an, utang rumah tangga sudah mencapai 95,6 persen dari keseluruhan pendapatan tersebut. Setelah jutaan orang kehilangan uang mereka dan tertekan oleh utang baru, bank-bank sekarang memiliki utang yang beresiko sangat buruk. Krisis subprime mortage merupakan bagian dari gambaran utang rakyat pekerja dan kalangan menengah. Pemompaan kredit dalam keuangan adalah cara kelas berkuasa untuk menunda krisis, tapi sebetulnya telah memperdalam derajat krisis kelebihan produksi itu sendiri.
IP: Mengapa krisis ini bisa meluas secara global? Faktor-faktor apa yang mempengaruhinya?
RH: Menurut saya, integrasi ekonomi global membuat dampak krisis saat ini sangat berbeda dengan 30-40 tahun lalu, dimana goncangan di negara maju belum tentu keras terasa di rumah kita. Namun sekarang ini, dengan integrasi ekonomi global tersebut, jika Amerika bersin, kita bukan hanya terkena cipratan air, tetapi kita akhirnya juga terkena demam.
Semenjak dua dekade yang lalu, para elit keuangan global telah memutuskan bahwa kerangka kerja bagi perekonomian globali dibagi menjadi; (1) pasar derivatif global—berbasiskan sistem keuangan, dikendalikan oleh US Federal Reserve Bank dan asosiasi bank-bank negara maju, (2) relokasi produksi barang dari barat ke timur, khususnya produksi barang, terutama ke China, India, Asia timur, dsb.
Yang pertama dibangun dengan prinsip sederhana, bahwa FED mengendalikan mata uang cadangan global yang akan menjadi mesin pertumbuhan untuk ekonomi global. Ini pada dasarnya adalah prinsip ekonomi imperialis. Mata-rantai dari sistem keuangan ini adalah unipolarisme mata uang-dollar. Ini adalah cara AS untuk mengontrol ekonomi dan keuangan global, namun menjadi bencana bagi negara-negara yang terikat dengan dollar.
Asia Timur dan khususnya Cina, bagi kapitalisme global dipandang sebagai “pintu keluar” bagi krisis saat ini, sekaligus menjadi “tanah penyelamatan” bagi krisis kelebihan produksi di negeri-negeri kapitalis maju. Akan tetapi, perkembangan pesat China bukan tanpa mengandung kontradiksi; (1) politik upah murah telah berkontribusi kepada pelebaran kesenjangan sosial di China, upah riil telah lama mandeg, dan kemampuan konsumsi massa benar-benar sudah tertinggal jauh dari pertumbuhan dan ekspansi ekonomi China. (2) kebijakan industrialisasi yang berorientasi ekspor turut menempatkan China sebagai penyumbang kritis dalam krisis kelebihan produksi global.
Sementara negara-negara lain, khususnya korban penyesuaian struktural di Asia, Afrika, Amerika Latin, dsb, kerusakan besar telah menempatkan negeri ini menjadi “korban terparah” dari kecelakaan ekonomi global. Untuk tetap melanjutkan penerimaan dari ekspor, kebanyakan negara dunia ketiga sendiri sudah men-devaluasi mata uang, termasuk China berencana melakukan ini, dan betul-betul mengkhawatirkan AS.
IP: Bagaimana kondisi perekonomian Indonesia dengan adanya krisis ini?
RH: Jauh sebelum krisis ini berlangsung, perekonomian Indonesia sebetulnya sudah diambang kebangkrutan; de-industrialisasi, berkembangnya ekonomi informal, kemiskinan, dan lain sebagainya. Jadi, pada dasarnya, krisis keuangan ini hanya “tambahan” bobot terhadap krisis yang sudah terjadi sebelumnya.
Baiklah, kita sekarang memperhitungkan pengaruhnya ke kita; pertama, krisis ekonomi ini akan berpengaruh terhadap negara yang perekonomiannya sangat bertumpu pada industri berorientasi ekspor, termasuk Indonesia. Karena krisis mendorong kontraksi permintaan negara maju, maka nilai eskpor kita pun akan merosot, sehingga berpengaruh pada kapasitas produksi perusahaan ekspor di dalam negeri. Ini akan mempercepat proses de-industrialisasi, berarti gelombang PHK massal, pengangguran, dan kejatuhan daya beli secara massif.
Industri manufaktur menderita serangan berantai. Belum selesai “sakit” akibat pengaruh krisis global, sektor manufaktur kembali dirugikan oleh krisis listrik, kemudian nanti penerapan perdagangan bebas melalui FTA ASEAN-China. Ini merupakan serangan mematikan, dan korban yang sudah diujung maut ini akan tewas kalau tidak ada “jeda” untuk menghentikan serangan ini.
Kedua, krisis ini, pertama sekali, akan berpengaruh pada sektor keuangan dan perbankan. Kita harus menyadari, bahwa pemain terbesar di pasar keuangan kita, terutama di pasar saham, adalah pemodal asing (portfolio). Sedangkan pemain pribumi di pasar saham hanya berkisar 1 persen. Meski begitu, ancaman sesungguhnya bukan pada kolapsnya “pemain 1 persen itu”, tetapi terjadinya pelarian modal besar-besaran. Karena pasar keuangan kita terderegulasi, belum lagi pemain utamanya adalah asing, maka setiap gejolak ekonomi global dapat memicu pelarian kapital besar-besaran. Hal itu berarti permintaan besar terhadap dollar, dan itu akan menekan rupiah. Kalau rupiah kita terus melemah, maka itu akan berpengaruh kepada kegiatan impor, sebab biaya impor kita akan semakin mahal. Akibatnya, kejadian ini bisa memicu terjadinya inflasi; biaya makanan dan kebutuhan pokok sewaktu-waktu bisa meroket. Pelarian modal berarti pasar modal menurun dan nilai rupiah akan merosot. Bagi masyarakat umum, ini dapat diterjemahkan sebagai perlambatan investasi, penurunan daya serap tenaga kerja, dan sebagainya.
IP: Apa jalan keluar yang organisasi anda tawarkan untuk mengatasi krisis ini?
RH: Karena krisis ini bersifat struktural, maka solusinya pun seharusnya melampaui kerangka sistem ini. Dan kelihatannya, seluruh organisasi progressif sudah sampai kepada kesimpulan semacam ini. Hanya saja, kami merasa bahwa persoalan ini akan lebih kompleks dan lebih rumit dibanding dengan apa yang diperkirakan. Selama ini, formula untuk menjawab persoalan masih dominan mengikuti petunjuk ekonom arus utama, sedangkan tawaran dari sisi kiri masih tersimpan di pinggiran, abstrak, dan sloganistik.
Karena itu, menurut kami, tantangan terbesar kaum pergerakan di Indonesia adalah bagaimana memasukkan usulan dan tawaran kaum kiri dalam ruang-ruang politik nasional, sehingga dapat menjadi acuan bagi masyarakat luas. Dalam kepentingan itu, masalahnya adalah bagaimana merumuskan kebijakan yang dapat disepakati secara luas, namun berhasil dalam merespon kebutuhan-kebutuhan mendesak rakyat.
Pada wilayah program, kami bergerak pada wilayah bagaimana melakukan penyelamatan mendesak terhadap ekonomi nasional, terutama dalam menghidupkan kembali ekonomi produktif dan memberi jaminan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Untuk itu kmi mengusulkan:
a. Mendorong untuk segera diterapkannya regulasi terhadap sektor keuangan. Segala upaya melakukan privatisasi perbankan dan dominasi modal asing di perbankan nasional harus dilawan. Selain itu, Arsitektur Perbankan Indonesia (API) harus diubah agar lebih mengutamakan fungsi intermediasi dengan sektor riil;
b. Pemerintah harus memprogramkan pembiayaan (stimulus) untuk ekonomi sektor riil, pembangunan infrastruktur, dan pembiayaan yang lebih besar untuk pedesaan (petani), industri kecil, dan UKM;
c. Mendukung segala bentuk intervensi negara yang progressif, seperti penciptaan sistim jaminan sosial, perbaikan layanan publik, mengontrol harga sembako, melakukan proteksi terhadap sektor ekonomi (industri dan pertanian), dan penciptaan lapangan pekerjaan;
d. Pemerintah harus mengontrol produksi bahan makanan dan energi untuk kepentingan rakyat dan ekonomi dalam negeri. Seluruh kontrak pertambangan yang merugikan kepentingan nasional, harus ditinjau ulang. Kebijakan orientasi ekspor energi mentah (gas, BBM, Batubar) harus dirubah dan difokuskan kepada pemenuhan kebutuhan domestik;
e. Mendorong integrasi regional melalui kerjasama ekonomi, perdagangan, sosial, dan kebudayaan yang didasarkan kepada solidaritas, kesetaraan, dan kemakmuran bersama.
Kita harus menyadari, bahwa dalam sepuluh tahun terakhir ini, ideologi neoliberal telah tampil begitu hegemonik di tengah-tengah rakyat kita. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, terutama semenjak paska pemilihan presiden (Pilpres), ideologi neoliberalisme terus digerus oleh kegagalan mereka sendiri dan kebangkitan ideologi populisme.
Gagasan terbaik melawan neoliberalisme adalah menghidupkan kembali konsep demokrasi-ekonomi dan gagasan berdikari. Ini merupakan gagasan untuk mengakhiri unipolarisme yang dipimpin AS, dan menghidupan ekonomi nasional guna kesejahteraan rakyat.
Pada wilayah politik; kaum kiri sudah harus berfikir untuk memanfaatkan ruang-ruang politik formal untuk kepentingan proyek kiri, baik di tingkat nasional maupun lokal. Kita harus berusaha memperjuangkan tercitanya syarat-syarat untuk melakukan transformasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Ini hanya dimungkinkan jikalau tercipta sebuah perimbangan kekuatan yang menguntungkan golongan progressif. Konsekuensinya, setiap peluang untuk perimbangan kekuatan yang ada, harus dimanfaatkan; koalisi, front politik, pemilihan umum, dsb.***
Kita harus menyadari, bahwa dalam sepuluh tahun terakhir ini, ideologi neoliberal telah tampil begitu hegemonik di tengah-tengah rakyat kita. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, terutama semenjak paska pemilihan presiden (Pilpres), ideologi neoliberalisme terus digerus oleh kegagalan mereka sendiri dan kebangkitan ideologi populisme.
Gagasan terbaik melawan neoliberalisme adalah menghidupkan kembali konsep demokrasi-ekonomi dan gagasan berdikari. Ini merupakan gagasan untuk mengakhiri unipolarisme yang dipimpin AS, dan menghidupan ekonomi nasional guna kesejahteraan rakyat.
Pada wilayah politik; kaum kiri sudah harus berfikir untuk memanfaatkan ruang-ruang politik formal untuk kepentingan proyek kiri, baik di tingkat nasional maupun lokal. Kita harus berusaha memperjuangkan tercitanya syarat-syarat untuk melakukan transformasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Ini hanya dimungkinkan jikalau tercipta sebuah perimbangan kekuatan yang menguntungkan golongan progressif. Konsekuensinya, setiap peluang untuk perimbangan kekuatan yang ada, harus dimanfaatkan; koalisi, front politik, pemilihan umum, dsb.***
Title : Rudi Hartono: Finansialisasi Tidak Menciptakan Nilai Baru (1) ► SEOer Mendem ►
URL : https://seomendem.blogspot.com/2010/02/rudi-hartono-finansialisasi-tidak_7.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Rudi Hartono: Finansialisasi Tidak Menciptakan Nilai Baru (1) ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.