Dari Homo Moralis ke Homo Oeconomicus - Memahami Gagasan Manusia dalam Filsafat Ekonomi Adam Smith
Justinus Prastowo
Pengantar
ADAM Smith (1723-1790), adalah seorang filsuf moral sekaligus ekonom terkenal pada zamannya. Paparan berikut akan memusatkan perhatian dan analisis pada gagasan filsafat moral Smith, sebagaimana ditulis di The Theory of Moral Sentiments (1759), selanjutnya disingkat TMS), dan gagasan ekonomi yang ditulis di buku sesudahnya Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776, selanjutnya disingkat TWN).
Segera sesudah diterbitkan, TMS mengundang simpati dan kontroversi. Barangkali ini adalah sebuah sintesis dari corak pemikiran moral waktu itu yang lebih menekankan sentimen, yang tampak pada pemikiran Joseph Butler, Hutcheson, dan David Hume. Gagasan pokok TMS adalah untuk menjawab bagaimana manusia, dalam konteks self interest (kepentingan-diri), dapat memberikan penilaian moral? Smith meletakkan jawabannya pada kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada posisi ‘pihak ketiga’, seorang “impartial observer”, dan dalam cara itu terbentuklah gagasan simpatik sebagai lawan dari kepentingan-diri untuk melakukan penilaian.
ahref name='more'>Lain dari TMS yang berbicara mengenai filsafat moral, TWN memerikan gagasan ekonomi dan tak ayal lagi disebut sebuah mahakarya, yang meski tidak ‘orisinil’ tetapi tak disangkal merupakan sebuah masterpiece yang sangat memengaruhi corak pemikiran dan praksis ekonomi dan politik ekonomi di kemudian hari. Lebih dari itu gagasan Smith seringkali dibaca secara terpisah, terkesan TWN adalah reformulasi dan revisi dari TMS, khususnya gambaran mengenai manusia. Manusia moral (homo moralis) digantikan manusia ekonomi (homo oeconomicus).
Melalui tulisan ini, penulis mengajukan tesis bahwa TMS dan TWN dapat dibaca bersamaan tanpa harus dikontradiksikan satu sama lain, dan gambaran manusia di kedua buku itu tidak bertentangan sejauh ditempatkan dalam konteks yang tepat. Dalam menguraikan argumentasi akan ditempuh dalam tiga langkah. Pertama, menyajikan gambaran manusia (state of nature) dalam TMS dan konteks TMS ditulis. Kedua, memaparkan gagasan manusia dalam sistem ekonomi dalam TWN berikut konteksnya; dan ketiga, menarik kesimpulan berdasarkan terang revisi TMS pasca TWN ditulis untuk menemukan benang merah gambaran manusia Smith secara utuh. Pada bagian akhir diupayakan untuk mencari jalan keluar dari benang merah ini, yakni mengembalikan dimensi moral-etis pada ekonomi menurut perspektif Smithian.
Latar Belakang Filsafat Smith
Zaman Smith adalah era di mana pengaruh Newton sangat kental merasuki hampir seluruh bidang kehidupan. Terobsesi hukum gravitasi dalam alam semesta yang dirumuskan Newton, muncullah pertanyaan refleksi apa yang terjadi jika hidup manusia, gerak seluruh bangsa manusia, sejarah, hukum, dan ekonomi-politik juga berlangsung menurut dalil gravitasi. Di sini gema saintisme terdengar kuat sekali, akan tetapi itulah faktanya bahwa pencarian prinsip gerak gravitasi seperti itulah yang muncul dalam horison baru pemikiran zaman itu. Tak sekedar pada alam semesta, namun juga pada “jantung ibukota atau pusat ilmu-ilmu itu sendiri,” yaitu kodrat manusia. Pula Smith, sejawat Hume, sang tokoh skeptisisme Inggris. Ia juga terpana pada keteraturan dan terciptanya tatanan, bukan chaos. Kekaguman pada astonomi menghantar Smith menyimpulkan:
Lewat refleksi ini Smith akhirnya menemukan prinsip kinerja simpati untuk menjelaskan Filsafat Moralnya.
Pokok-pokok Gagasan mengenai Kodrat Manusia dalam TMS
Konsepsi ‘kodrat manusia’ (human nature) merupakan hal krusial dalam setiap Filsafat Moral. Kodrat manusia pada dasarnya adalah esensi manusia, yakni batas ekspektasi moral yang diandaikan akan dicapai, sebuah titik untuk menjawab pertanyaan “what human being really want,” dan selalu melibatkan tataran normatif (“what should be”). Maka untuk memahami sebuah teori moral atau Filsafat Moral, kita perlu memahami gambaran ‘human nature’ yang diandaikan. Tidak berhenti sebatas pada data empirik mengenai apa yang sesungguhnya dilakukan manusia, data tersebut harus ditafsirkan dengan berbagai dugaan, terbuka pada informasi mengenai apa yang mungkin dicari dan dicapai seseorang jika mereka memahami dirinya secara berbeda.
Dalam hal inilah Smith, mengikuti Hutcheson, memilih model ini. Berbeda dengan Hobbes dan Mandeville yang mendaku bahwa manusia itu makhluk self-interested murni, mereka cenderung menilai bahwa manusia memiliki tendensi untuk bersimpati dengan figur historis yang heroik. Hutcheson berpendapat bahwa dalam konteks ini motivasi tindakan atas dasar kebaikan hati (benevolence) sebanding dengan tindakan yang dilambari kepentingan diri (self-interest).
Sebelum lebih lanjut melihat gambaran kodrat manusia Smith, ada baiknya kita menengok ke belakang, latar belakang teori moral Smith. Mengikuti gurunya Hutcheson, Smith meyakini bahwa manusia sekaligus dimotivasi ‘cinta diri’(self-love) dan ‘kebaikan hati’ (benevolence), dan ia memiliki kemampuan dengan cara beragam untuk mengontrol emosi diri, dan berbagi emosi satu sama lain, melalui proses proyeksi imajinasi bernama “simpati.” Cinta diri atau kepentingan diri dalam gagasan Smith adalah dalam rangka memelihara kesehatan dan hidup kita, dan secara moral ini absah. Keutamaan dicapai ketika kita dapat menetralisasi ekspresi dari emosi kita dalam sikap ramah dan hormat, dan kita menunjukkan empati atau rasa persahabatan terhadap yang lain. Cinta diri dalam berbagai tingkatannya juga meliputi pengorbanan diri.
Dari sini kita dapat menilik dua moralitas menurut Smith. Pertama, moralitas keutamaan (virtue); dan kedua, moralitas sekedar kepantasan (mere propriety). Pada virtue kita mendapati standar moralitas pada orang-orang yang bijaksana dan akan menemukan diri kita tidak layak, karena standar ini mengacu pada kepantasan yang tepat dan sempurna. Sedangkan moralitas “sekedar pantas” lebih cenderung pada tidak memandang diri sendiri lebih hebat (unggul), memaklumi ketidaksempurnaan, dan sudi menghormati dan menghargai keunggulan orang lain. Meski digerakkan kepentingan diri, manusia harus selalu menyelaraskan setiap tindakannya dengan cara menempatkan diri pada posisi orang lain (simpati). Atau dalam bahasa Smith:
Kebaikan hati (benevolence) juga memiliki tingkatannya. Kebaikan hati semakin menurun bersamaan dengan semakin menjauhnya lingkaran sosial pada tiap-tiap individu. Sentimen akan cinta dan perhatian misalnya, akan lebih kuat dalam lingkaran keluarga terdalam, lalu ke tetangga, dan akan semakin menurun dalam masyarakat luas, terlebih lagi komunitas dunia yang asing.
Pun kebahagiaan. Bagi Smith kebahagiaan pertama-tama sangat tergantung pada kemampuan kita mengontrol diri sendiri (self-command), di sini benda-benda eksternal memainkan peran sekunder. Smith tidak memungkiri bahwa mencapai kebahagiaan adalah hal ultim yang dapat dan pantas didambakan setiap manusia. Namun perjalanan mencapai kebahagiaan itu tetaplah dibatasi oleh kepentingan dan persetujuan dari pihak lain.
Di sini, Smith menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi sebagai “impartial spectator,” sebuah posisi tidak memihak yang dapat dicapai jika kita melepaskan perasaan mementingkan kepentingan diri kita, menempatkannya pada posisi netral untuk sekaligus menilai tindakan kita dan tindakan orang lain, apakah layak atau tidak layak disetujui.
Gagasan “Manusia Ekonomi” (homo oeconomicus) dalam TWN
Setelah menelusuri secara singkat gagasan-gagasan pokok Smith dalam TMS mengenai moralitas dan konsepsi kodrat manusia (human nature), kita akan melihat kaitan pokok-pokok gagasan manusia dalam TMS dengan pemikiran Smith di TWN.
Sebagaimana telah sekilas disinggung di muka, Smith yang begitu terpukau pada fisika Newton, berkeinginan merumuskan sebuah “fisika sosial” dalam Filsafat Moralnya, dan menemukan kinerja simpati sebagai penggerak dan penjamin tata moral dalam masyarakat tetap teratur dan tidak terjadi chaos. Ketika merefleksikan hal serupa pada fakta ekonomi, Smith merasa perlu memodifikasi pengandaian antropologis dalam TMS secara analogis agar “tatanan masyarakat” menjadi dapat dijelaskan (explainable).
Smith menggeser penekanannya dari “simpati” ke “kepentingan diri.” Singkatnya, untuk menjelaskan tatanan dalam perdagangan yang ada, dibutuhkan asumsi antropologis tertentu. Artinya, homo oeconomicus harus ada ( sebagai syarat metodologis), agar kinerja perdagangan dapat dijelaskan. Lalu proposisi tersebut dapat dijelaskan lebih detail dalam kutipan dari Smith berikut:
Smith menunjukkan bahwa self-love (cinta diri) dan bukan benevolence (kebaikan hati) yang merupakan basis dari relasi ekonomi. Mengapa kebaikan hati hanya memainkan peran yang tidak penting dalam kegiatan ekonomi? Karena “kerja sama” dan “pertolongan” yang kita perlukan dari yang lain dalam mengamankan kekayaan material kita, berasal dari sangat banyak orang lain. Jejaring produksi dan pertukaran meluas melampaui batas masyarakat, bahkan seluas bangsa manusia berdiam. Mustahillah kiranya mengenal mayoritas warga kota, dan untuk mengharapkan “kebaikan hati partikular” mereka. Lantas jika pertukaran ekonomis didasarkan pada kebaikan hati, yakni “kebaikan hati umum” (general benevolence) atau kehendak baik yang diarahkan pada orang lain yang anonim (anonymous others), berarti ini sebuah sentimen yang sangat lemah. Atau dengan bahasa lain dapat dikatakan “bukan berarti kebaikan hati tidak ada dalam tindakan ekonomi, melainkan tindakan ekonomi tidak cukup kokoh didasarkan pada kebaikan hati.”
Namun, meski mengejar ‘kepentingan diri” masing-masing, manusia tetap terarah (intentionally) untuk bekerja sama. Yang membedakan dengan binatang adalah bahwa manusia tahu bahwa mereka memiliki tujuan akhir yang sama, dan bahwa kerja sama dapat meningkatkan kehidupan mereka ketimbang mengambil dari seseorang dan memberikannya kepada seorang yang lain. Faktanya, dalam sebuah kota dan negara, satu bangsa dan bangsa lainnya, atau satu industri dengan industri lainnya tidak berjuang ala Hobbesian dalam mencapai kemakmuran. Smith bahkan mengatakan, dengan mengikuti Montesquieu, bahwa keutamaan perdagangan tidak sekedar perdamaian antar bangsa-bangsa, melainkan juga sebagai basis moral dari kebebasan individu dan saling hormat.
Sebagaimana diketahui, kinerja perdagangan (trade) terjadi melalui pertukaran (exchange). Ini sesuai ungkapan masyhur Smith bahwa:
Dan menurut Smith, secara kodrati manusia memiliki hasrat untuk memperbaiki kondisi hidupnya (the desire of bettering own condition). Hal yang dikontraskan dalam teks di atas bukanlah diri kita sebagai pembeli/pelanggan dengan cinta-diri pembuat roti melainkan diri kita dengan kehidupan pengemis. Di sini berarti pertukaran (exchange) akan terjadi jika kita mengetahui bahwa kita dapat memeroleh daging dari pemotong daging dengan menawarkan sesuatu kepadanya sebagai penggantinya. Smith lalu memberi sebuah perbandingan, jika saya membeli rotimu karena saya peduli terhadapmu, atau karena saya percaya bahwa mendukung usaha rotimu adalah baik bagi masyarakat kita, lalu harga yang dibayarkan tidak mencerminkan berapa banyak saya, keluarga, atau teman saya, menginginkan rotimu, tidak ada pertukaran di sana.
Smith menganalogkan perdagangan (commerce) dengan speech, dan membedakan manusia dengan binatang yang sama-sama digerakkan self-interest (“kepentingan diri”) namun selalu berakhir dengan perkelahian akibat tidak ada persuasi melalui wicara (dialog) yang khas manusia. “Tak seorang pun pernah menyaksikan seekor binatang melalui gerak-gerik dan tangisan alaminya memberi tanda kepada yang lain, bahwa ini milikku dan itu milikmu; saya ingin menukar ini dengan itu,” demikian Smith,”Berbeda dengan manusia yang memberi tawaran kepada yang lain sekaligus mengatakan bahwa berilah saya yang saya inginkan dan Anda akan mendapatkan yang Anda inginkan”. Bahkan menurut Smith, manusia yang diliputi “kepentingan diri” dan bahkan sangat kekanak-kanakan sekalipun tetap akan memegang prinsip “ini milikku, dan itu milikmu; saya menginginkan milikku untuk ditukar dengan milikmu”. Menurut Smith ini adalah pertukaran yang fair dan dikehendaki.
Jelaslah bahwa Smith memang dalam banyak hal di TWN mengandaikan “kepentingan diri.” ”Perhatian terhadap keuntungan pribadi,” demikian Smith, ”adalah motif utama yang menentukan pemilik modal menanamkan modalnya pada sektor agrikultur, manufaktur, dan beberapa bidang perdagangan lain.”
‘Kepentingan diri” dalam TWN dapat dipahami dalam pokok-pokok berikut :
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa kinerja perdagangan (trade) mengandaikan adanya makhluk ekonomi (homo oeconomicus). Smith sendiri dengan tegas mengatakan bahwa homo oeconomicus yang ciri utamanya adalah self-interest, bukanlah gambaran keseluruhan manusia. Homo oeconomicus diandaikan karena ketakmemadaian kebaikan hati sebagai penjelas kinerja perdagangan.
Dari Homo Moralis ke Homo Oeconomicus
Untuk memahami apakah homo moralis sebagaimana digambarkan dalam TMS dan homo oeconomicus dalam TWN tidaklah berbeda, melainkan satu sosok yang diberi penekanan berbeda akibat kebutuhan sebuah penjelas, kita dapat melihatnya dalam kutipan berikut:
Homo moralis umumnya ditemukan dalam TMS dan homo oeconomicus ada di TWN. Tetapi terhadap tuduhan bahwa Smith memiliki dua gambaran kodrati manusia (human nature) timbul keberatan. Beberapa alasan kiranya mendasari:
Dalam terang TMS, Smith juga menempatkan bentuk lebih dalam dari self-betterment adalah pencapaian virtue. Di Bagian II.iii TWN Smith dengan lebih jelas menentang pendirian orang yang melulu meyakini pencarian dan pencapaian kesenangan sebagai berbahaya, bahkan ancaman bagi modal nasional. Sebaliknya, Self-betterment ini mendorong tindakan menabung. Di sini Smith melawan kaum materialis gelojoh dan hipokrit. Dalam pembacaan TMS IV.i dalam terang TWN, Fleischackher mengatakan bahwa homo moralis memerlukan homo oeconomicus, bahwa peremehan stoik terhadap hal-hal material tak dapat dibenarkan lagi.
Setidaknya dapat dicatat tiga hal pokok:
Catatan Akhir
Paparan ringkas ini mencoba menelusuri kemungkinan membaca dua mahakarya Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments dan The Wealth of Nations secara bersamaan. Pembacaan yang dilakukan menunjukkan bahwa pengandaian homo moralis dalam TMS dan homo oeconomicus tidaklah saling bertentangan. Homo moralis diandaikan dalam menjelaskan tata moral dalam masyarakat sedangkan homo oeconomicus adalah syarat metodologis untuk menjelaskan fakta perdagangan (exchange). Jika selama ini homo oeconomicus tampak semakin lolos dari refleksi moral dan menjadi “fakta” ontologis, strategi pembacaan yang dilakukan Samuel Fleischacker mungkin bermanfaat, setidaknya tidak dalam konteks mencangkokkan moralitas atau etika keutamaan terhadap kinerja ekonomi, melainkan dengan mengakhiri konfrontasi homo moralis vs homo oeconomicus, dan menimba prinsip-prinsip etis yang secara eksplisit diafirmasi Smith dalam keseluruhan gagasannya. Peluang itu tentu tetap terbuka.
Paparan singkat ini tetaplah tidak memadai untuk dapat merangkum keseluruhan debat, ketegangan, dan alternatif solusi, mungkin lebih bijak jika dipandang sekedar sebagai salah satu peta yang membantu agar kita tidak kembali salah arah dan tersesat, sebagaimana klaim kaum kapitalis dan neoliberal yang senantiasa mengasalkan teori dan prinsip mereka dari pemikiran Smith. Setidaknya sekedar mengingat apa: “For to what purpose,” tulis Smith dalam The Theory of Moral Sentiments, ”is all the toil and bustle of this world? What is the end of avarice and ambition, of the pursuit of wealth, of power, and pre-eminence?” The Wealth of Nations memberikan jawabannya: "all the grubby scrabbing for wealth and glory has its ultimate justification in the welfare of the common man."***
Daftar Pustaka:
Fleischacker, Samuel F. "On Adam Smith’s Wealth of Nations: A Philosophical Companion," Princeton: Princeton University Press,2004.
Heilbroner, Robert. The Worldly Philosophers: The Lives, Times and Ideas of the Great Economics Thinkers. London: Penguin Books, [1952] 2000.
Herry-Priyono,B. “Homo Oeconomicus: Dari Pengandaian ke Kenyataan” Dalam I. Wibowo & B. Herry-Priyono (eds), Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz Magnis-Suseno. Yogyakarta: Kanisius.2006, hlm. 87-132
Herry-Priyono,B. “Adam Smith dan Munculnya Ekonomi: Dari Filsafat Moral ke Ilmu Sosial. Dalam Jurnal Diskursus Vol. 6, No.1, April 2007, hlm. 1-40
Olssen, Mark, John Codd, Anne-Marie O’Neill, Education Policy, London: SAGE Publications, 2004.
Raphael, D.D. Adam Smith. Oxford: Oxford University Press, 1985
Smith, Adam. "The Theory of Moral Sentiments." Edited by: Knud Haakonssen. Cambridge: Cambridge University Press,[1759] 2002.
Smith, Adam. "The Wealth of Nations." Edited by: E.Cannan, New York: Modern Library, [1776] 2000.
Justinus Prastowo, kelahiran Jogjakarta, pernah belajar ekonomi, kini sedang menyelesaikan tesis tentang Karl Polanyi di Program Magister Ilmu Filsafat STF Driyarkara, aktif di Komunitas Filsafat AGORA, peminat kritik kapitalisme dan globalisasi.
Justinus Prastowo
Pengantar
ADAM Smith (1723-1790), adalah seorang filsuf moral sekaligus ekonom terkenal pada zamannya. Paparan berikut akan memusatkan perhatian dan analisis pada gagasan filsafat moral Smith, sebagaimana ditulis di The Theory of Moral Sentiments (1759), selanjutnya disingkat TMS), dan gagasan ekonomi yang ditulis di buku sesudahnya Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776, selanjutnya disingkat TWN).
Segera sesudah diterbitkan, TMS mengundang simpati dan kontroversi. Barangkali ini adalah sebuah sintesis dari corak pemikiran moral waktu itu yang lebih menekankan sentimen, yang tampak pada pemikiran Joseph Butler, Hutcheson, dan David Hume. Gagasan pokok TMS adalah untuk menjawab bagaimana manusia, dalam konteks self interest (kepentingan-diri), dapat memberikan penilaian moral? Smith meletakkan jawabannya pada kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada posisi ‘pihak ketiga’, seorang “impartial observer”, dan dalam cara itu terbentuklah gagasan simpatik sebagai lawan dari kepentingan-diri untuk melakukan penilaian.
ahref name='more'>Lain dari TMS yang berbicara mengenai filsafat moral, TWN memerikan gagasan ekonomi dan tak ayal lagi disebut sebuah mahakarya, yang meski tidak ‘orisinil’ tetapi tak disangkal merupakan sebuah masterpiece yang sangat memengaruhi corak pemikiran dan praksis ekonomi dan politik ekonomi di kemudian hari. Lebih dari itu gagasan Smith seringkali dibaca secara terpisah, terkesan TWN adalah reformulasi dan revisi dari TMS, khususnya gambaran mengenai manusia. Manusia moral (homo moralis) digantikan manusia ekonomi (homo oeconomicus).
Melalui tulisan ini, penulis mengajukan tesis bahwa TMS dan TWN dapat dibaca bersamaan tanpa harus dikontradiksikan satu sama lain, dan gambaran manusia di kedua buku itu tidak bertentangan sejauh ditempatkan dalam konteks yang tepat. Dalam menguraikan argumentasi akan ditempuh dalam tiga langkah. Pertama, menyajikan gambaran manusia (state of nature) dalam TMS dan konteks TMS ditulis. Kedua, memaparkan gagasan manusia dalam sistem ekonomi dalam TWN berikut konteksnya; dan ketiga, menarik kesimpulan berdasarkan terang revisi TMS pasca TWN ditulis untuk menemukan benang merah gambaran manusia Smith secara utuh. Pada bagian akhir diupayakan untuk mencari jalan keluar dari benang merah ini, yakni mengembalikan dimensi moral-etis pada ekonomi menurut perspektif Smithian.
Latar Belakang Filsafat Smith
Zaman Smith adalah era di mana pengaruh Newton sangat kental merasuki hampir seluruh bidang kehidupan. Terobsesi hukum gravitasi dalam alam semesta yang dirumuskan Newton, muncullah pertanyaan refleksi apa yang terjadi jika hidup manusia, gerak seluruh bangsa manusia, sejarah, hukum, dan ekonomi-politik juga berlangsung menurut dalil gravitasi. Di sini gema saintisme terdengar kuat sekali, akan tetapi itulah faktanya bahwa pencarian prinsip gerak gravitasi seperti itulah yang muncul dalam horison baru pemikiran zaman itu. Tak sekedar pada alam semesta, namun juga pada “jantung ibukota atau pusat ilmu-ilmu itu sendiri,” yaitu kodrat manusia. Pula Smith, sejawat Hume, sang tokoh skeptisisme Inggris. Ia juga terpana pada keteraturan dan terciptanya tatanan, bukan chaos. Kekaguman pada astonomi menghantar Smith menyimpulkan:
"Bukan untuk menemukan absurditas dan probabilitas, kesesuaian dan ketidaksesuaian dengan kebenaran dan realitas,…..(tetapi lebih) untuk menyejukkan dan melambungkan imajinasi, untuk membuat drama semesta menjadi lebih teratur, dan karena itu menjadi tata tampilan lebih menakjubkan daripada yang sebaliknya tampak."
Lewat refleksi ini Smith akhirnya menemukan prinsip kinerja simpati untuk menjelaskan Filsafat Moralnya.
Pokok-pokok Gagasan mengenai Kodrat Manusia dalam TMS
Konsepsi ‘kodrat manusia’ (human nature) merupakan hal krusial dalam setiap Filsafat Moral. Kodrat manusia pada dasarnya adalah esensi manusia, yakni batas ekspektasi moral yang diandaikan akan dicapai, sebuah titik untuk menjawab pertanyaan “what human being really want,” dan selalu melibatkan tataran normatif (“what should be”). Maka untuk memahami sebuah teori moral atau Filsafat Moral, kita perlu memahami gambaran ‘human nature’ yang diandaikan. Tidak berhenti sebatas pada data empirik mengenai apa yang sesungguhnya dilakukan manusia, data tersebut harus ditafsirkan dengan berbagai dugaan, terbuka pada informasi mengenai apa yang mungkin dicari dan dicapai seseorang jika mereka memahami dirinya secara berbeda.
Dalam hal inilah Smith, mengikuti Hutcheson, memilih model ini. Berbeda dengan Hobbes dan Mandeville yang mendaku bahwa manusia itu makhluk self-interested murni, mereka cenderung menilai bahwa manusia memiliki tendensi untuk bersimpati dengan figur historis yang heroik. Hutcheson berpendapat bahwa dalam konteks ini motivasi tindakan atas dasar kebaikan hati (benevolence) sebanding dengan tindakan yang dilambari kepentingan diri (self-interest).
Sebelum lebih lanjut melihat gambaran kodrat manusia Smith, ada baiknya kita menengok ke belakang, latar belakang teori moral Smith. Mengikuti gurunya Hutcheson, Smith meyakini bahwa manusia sekaligus dimotivasi ‘cinta diri’(self-love) dan ‘kebaikan hati’ (benevolence), dan ia memiliki kemampuan dengan cara beragam untuk mengontrol emosi diri, dan berbagi emosi satu sama lain, melalui proses proyeksi imajinasi bernama “simpati.” Cinta diri atau kepentingan diri dalam gagasan Smith adalah dalam rangka memelihara kesehatan dan hidup kita, dan secara moral ini absah. Keutamaan dicapai ketika kita dapat menetralisasi ekspresi dari emosi kita dalam sikap ramah dan hormat, dan kita menunjukkan empati atau rasa persahabatan terhadap yang lain. Cinta diri dalam berbagai tingkatannya juga meliputi pengorbanan diri.
Dari sini kita dapat menilik dua moralitas menurut Smith. Pertama, moralitas keutamaan (virtue); dan kedua, moralitas sekedar kepantasan (mere propriety). Pada virtue kita mendapati standar moralitas pada orang-orang yang bijaksana dan akan menemukan diri kita tidak layak, karena standar ini mengacu pada kepantasan yang tepat dan sempurna. Sedangkan moralitas “sekedar pantas” lebih cenderung pada tidak memandang diri sendiri lebih hebat (unggul), memaklumi ketidaksempurnaan, dan sudi menghormati dan menghargai keunggulan orang lain. Meski digerakkan kepentingan diri, manusia harus selalu menyelaraskan setiap tindakannya dengan cara menempatkan diri pada posisi orang lain (simpati). Atau dalam bahasa Smith:
“Mengingat kita tidak memiliki pengalaman langsung tentang apa yang dirasakan orang lain, kita tidak dapat mengerti dengan cara apa mereka dipengaruhi, selain dengan berimajinasi tentang aya yang kita sendiri seharusnya rasakan dalam kedaan sebagaimana dialami orang lain itu.”
Kebaikan hati (benevolence) juga memiliki tingkatannya. Kebaikan hati semakin menurun bersamaan dengan semakin menjauhnya lingkaran sosial pada tiap-tiap individu. Sentimen akan cinta dan perhatian misalnya, akan lebih kuat dalam lingkaran keluarga terdalam, lalu ke tetangga, dan akan semakin menurun dalam masyarakat luas, terlebih lagi komunitas dunia yang asing.
Pun kebahagiaan. Bagi Smith kebahagiaan pertama-tama sangat tergantung pada kemampuan kita mengontrol diri sendiri (self-command), di sini benda-benda eksternal memainkan peran sekunder. Smith tidak memungkiri bahwa mencapai kebahagiaan adalah hal ultim yang dapat dan pantas didambakan setiap manusia. Namun perjalanan mencapai kebahagiaan itu tetaplah dibatasi oleh kepentingan dan persetujuan dari pihak lain.
Di sini, Smith menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi sebagai “impartial spectator,” sebuah posisi tidak memihak yang dapat dicapai jika kita melepaskan perasaan mementingkan kepentingan diri kita, menempatkannya pada posisi netral untuk sekaligus menilai tindakan kita dan tindakan orang lain, apakah layak atau tidak layak disetujui.
Gagasan “Manusia Ekonomi” (homo oeconomicus) dalam TWN
Setelah menelusuri secara singkat gagasan-gagasan pokok Smith dalam TMS mengenai moralitas dan konsepsi kodrat manusia (human nature), kita akan melihat kaitan pokok-pokok gagasan manusia dalam TMS dengan pemikiran Smith di TWN.
Sebagaimana telah sekilas disinggung di muka, Smith yang begitu terpukau pada fisika Newton, berkeinginan merumuskan sebuah “fisika sosial” dalam Filsafat Moralnya, dan menemukan kinerja simpati sebagai penggerak dan penjamin tata moral dalam masyarakat tetap teratur dan tidak terjadi chaos. Ketika merefleksikan hal serupa pada fakta ekonomi, Smith merasa perlu memodifikasi pengandaian antropologis dalam TMS secara analogis agar “tatanan masyarakat” menjadi dapat dijelaskan (explainable).
Smith menggeser penekanannya dari “simpati” ke “kepentingan diri.” Singkatnya, untuk menjelaskan tatanan dalam perdagangan yang ada, dibutuhkan asumsi antropologis tertentu. Artinya, homo oeconomicus harus ada ( sebagai syarat metodologis), agar kinerja perdagangan dapat dijelaskan. Lalu proposisi tersebut dapat dijelaskan lebih detail dalam kutipan dari Smith berikut:
Dalam masyarakat beradab, manusia senantiasa ada dalam keadaan di mana setiap saat ia memerlukan kerjasama dan bantuan dari orang banyak, karena hidupnya jauh dari memadai untuk mendapatkan sedikit orang…..Manusia hampir senantiasa memerlukan bantuan saudaranya, dan sia-sialah baginya jika hanya mengharapkan kebaikan hati. Lebih mungkin baginya jika dapat memikat cinta diri mereka demi keuntungannya, dan menunjukkan kepada mereka bahwa melakukan apa yang ia minta adalah untuk kepentingan mereka sendiri.
Smith menunjukkan bahwa self-love (cinta diri) dan bukan benevolence (kebaikan hati) yang merupakan basis dari relasi ekonomi. Mengapa kebaikan hati hanya memainkan peran yang tidak penting dalam kegiatan ekonomi? Karena “kerja sama” dan “pertolongan” yang kita perlukan dari yang lain dalam mengamankan kekayaan material kita, berasal dari sangat banyak orang lain. Jejaring produksi dan pertukaran meluas melampaui batas masyarakat, bahkan seluas bangsa manusia berdiam. Mustahillah kiranya mengenal mayoritas warga kota, dan untuk mengharapkan “kebaikan hati partikular” mereka. Lantas jika pertukaran ekonomis didasarkan pada kebaikan hati, yakni “kebaikan hati umum” (general benevolence) atau kehendak baik yang diarahkan pada orang lain yang anonim (anonymous others), berarti ini sebuah sentimen yang sangat lemah. Atau dengan bahasa lain dapat dikatakan “bukan berarti kebaikan hati tidak ada dalam tindakan ekonomi, melainkan tindakan ekonomi tidak cukup kokoh didasarkan pada kebaikan hati.”
Namun, meski mengejar ‘kepentingan diri” masing-masing, manusia tetap terarah (intentionally) untuk bekerja sama. Yang membedakan dengan binatang adalah bahwa manusia tahu bahwa mereka memiliki tujuan akhir yang sama, dan bahwa kerja sama dapat meningkatkan kehidupan mereka ketimbang mengambil dari seseorang dan memberikannya kepada seorang yang lain. Faktanya, dalam sebuah kota dan negara, satu bangsa dan bangsa lainnya, atau satu industri dengan industri lainnya tidak berjuang ala Hobbesian dalam mencapai kemakmuran. Smith bahkan mengatakan, dengan mengikuti Montesquieu, bahwa keutamaan perdagangan tidak sekedar perdamaian antar bangsa-bangsa, melainkan juga sebagai basis moral dari kebebasan individu dan saling hormat.
Sebagaimana diketahui, kinerja perdagangan (trade) terjadi melalui pertukaran (exchange). Ini sesuai ungkapan masyhur Smith bahwa:
“Bukan dari kebaikan hati pemotong daging, pembuat minuman atau pembuat roti kita mengharapkan makanan kita, tetapi dari kecintaan mereka pada kepentingan mereka sendiri. Kita mengajukan kepentingan diri kita bukan pada rasa kemanusiaan mereka, tetapi kepada rasa cinta diri mereka, dan jangan pernah berbicara kepada mereka mengenai kebutuhan diri kita, melainkan bicaralah kepentingan diri mereka. Hanya seorang pengemislah yang menggantungkan dirinya pada kebaikan hati orang lain”
Dan menurut Smith, secara kodrati manusia memiliki hasrat untuk memperbaiki kondisi hidupnya (the desire of bettering own condition). Hal yang dikontraskan dalam teks di atas bukanlah diri kita sebagai pembeli/pelanggan dengan cinta-diri pembuat roti melainkan diri kita dengan kehidupan pengemis. Di sini berarti pertukaran (exchange) akan terjadi jika kita mengetahui bahwa kita dapat memeroleh daging dari pemotong daging dengan menawarkan sesuatu kepadanya sebagai penggantinya. Smith lalu memberi sebuah perbandingan, jika saya membeli rotimu karena saya peduli terhadapmu, atau karena saya percaya bahwa mendukung usaha rotimu adalah baik bagi masyarakat kita, lalu harga yang dibayarkan tidak mencerminkan berapa banyak saya, keluarga, atau teman saya, menginginkan rotimu, tidak ada pertukaran di sana.
Smith menganalogkan perdagangan (commerce) dengan speech, dan membedakan manusia dengan binatang yang sama-sama digerakkan self-interest (“kepentingan diri”) namun selalu berakhir dengan perkelahian akibat tidak ada persuasi melalui wicara (dialog) yang khas manusia. “Tak seorang pun pernah menyaksikan seekor binatang melalui gerak-gerik dan tangisan alaminya memberi tanda kepada yang lain, bahwa ini milikku dan itu milikmu; saya ingin menukar ini dengan itu,” demikian Smith,”Berbeda dengan manusia yang memberi tawaran kepada yang lain sekaligus mengatakan bahwa berilah saya yang saya inginkan dan Anda akan mendapatkan yang Anda inginkan”. Bahkan menurut Smith, manusia yang diliputi “kepentingan diri” dan bahkan sangat kekanak-kanakan sekalipun tetap akan memegang prinsip “ini milikku, dan itu milikmu; saya menginginkan milikku untuk ditukar dengan milikmu”. Menurut Smith ini adalah pertukaran yang fair dan dikehendaki.
Jelaslah bahwa Smith memang dalam banyak hal di TWN mengandaikan “kepentingan diri.” ”Perhatian terhadap keuntungan pribadi,” demikian Smith, ”adalah motif utama yang menentukan pemilik modal menanamkan modalnya pada sektor agrikultur, manufaktur, dan beberapa bidang perdagangan lain.”
‘Kepentingan diri” dalam TWN dapat dipahami dalam pokok-pokok berikut :
- Kekhawatiran utama Smith ada pada ranah kognitif bukan pada motivasi (psikis). Maka concern Smith adalah pada pertanyaan bagaimana “kepentingan diri” secara terpahami dapat bekerja, bukan apakah kita bertindak atas nama “kepentingan diri” atau motif lain.
- Alternatif pokok Smith terhadap “kepentingan diri” dalam TWN adalah spirit publik, bukan kebaikan hati pribadi (private benevolence), di mana Smith hendak mengatakan dalam jual-beli (transaksi) kita bersinggungan dengan sangat banyak orang tidak dikenal. Konsekuensinya kebaikan hati partikular, sentimen, cinta-diri, perasaan religius menjadi tidak relevan dalam transaksi ekonomis.
- Fakta bahwa kita tidak bertransaksi dengan tukang roti dan tukang minuman atas dasar kebaikan hati berarti pula memberi kita hal yang penting, yakni kebebasan. Kita mendapatkan apa yang kita inginkan, demikian pula lawan transaksi kita. Karena tidak didasarkan pada kebaikan hati, kita memiliki kebebasan untuk memiliki sekaligus mendistribusikan barang yang kita miliki.
- Smith memberi tekanan pada self interest di TWN bersamaan dengan kecurigaannya pada desain besar politisi di mana dikhawatirkan jika lokus tindakan ekonomi didasarkan pada kepentingan nasional atau spirit publik, para politisi yang sekaligus pembuat peraturan dapat melakukan tekanan kepada individu-individu atas nama kepentingan negara.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa kinerja perdagangan (trade) mengandaikan adanya makhluk ekonomi (homo oeconomicus). Smith sendiri dengan tegas mengatakan bahwa homo oeconomicus yang ciri utamanya adalah self-interest, bukanlah gambaran keseluruhan manusia. Homo oeconomicus diandaikan karena ketakmemadaian kebaikan hati sebagai penjelas kinerja perdagangan.
Dari Homo Moralis ke Homo Oeconomicus
Untuk memahami apakah homo moralis sebagaimana digambarkan dalam TMS dan homo oeconomicus dalam TWN tidaklah berbeda, melainkan satu sosok yang diberi penekanan berbeda akibat kebutuhan sebuah penjelas, kita dapat melihatnya dalam kutipan berikut:
“Manusia itu cinta-diri, tetapi juga baik hati;baik hati dalam tingkatan berbeda, seturut dengan seberapa baik ia mengerti orang lain; membutuhkan pengendalian diri untuk mempraktekkan baik cinta diri maupun kebaikan hati secara layak; dapat berdiri melampaui perasaannya sendiri dan orang lain untuk mencapai tataran tidak memihak; dapat melihat orang lain dalam terang imparsialitas dan memperlakukan yang lain secara sejajar; memiliki perasaan religius, sentimen, memiliki keberanian, dapat melayani sekaligus memberi kelegaan, merasa bahagia dalam keutamaan, ….akhirnya, semua itu adalah gambaran umum manusia.”
Homo moralis umumnya ditemukan dalam TMS dan homo oeconomicus ada di TWN. Tetapi terhadap tuduhan bahwa Smith memiliki dua gambaran kodrati manusia (human nature) timbul keberatan. Beberapa alasan kiranya mendasari:
- Smith melanjutkan pokok pikirannya dalam TMS setelah ditulisnya TWN,32 dan menunjukkan bahwa tidak ada perubahan dari homo moralis ke homo oeconomicus dalam TMS edisi revisi yang dilakukan setelah TWN diterbitkan. Pandangan standar terhadap Smith akan memahami homo oeconomicus berbeda secara radikal dari homo moralis. Bahkan pembaca Smith, khususnya pembaca pertama Smith baik di Inggris, Perancis, Jerman maupun Amerika tidak melihat perbedaan tajam antara TMS dan TWN. Baru pada abad ke-19 ketika TWN lebih populer dan luas dibaca, muncul kesan seolah berbeda dengan TMS.
- Pembacaan terhadap frase “memperbaiki kondisi hidup kita sendiri” seharusnya dibaca dalam konteks yang tepat. Bahwa frase: “kiranya yang mendorong kita berhemat adalah keinginan untuk memperbaiki kondisi hidup kita sendiri, keinginan yang umumnya tenang dan tak memihak, yang datang sejak dari kandungan, dan tidak akan meninggalkan kita hingga kita mati.”
- Padahal jika kita perhatikan konteksnya kita akan mengetahui bahwa keinginan ‘memperbaiki kondisi hidup kita” tidak berarti mengesampingkan hadirnya keinginan lain. Kutipan di atas memperjelas bahwa kekerasan dan ketenangan yang sulit diperoleh, perasaan pada kesenangan masa kini, sederhananya, dapat berjalan seiring dengan keinginan memperbaiki diri, meskipun terhadap kedua pendirian ini rawan terjadi konflik. Bahkan jauh dari memuji terhadap sikap kekanakan dalam mengumbar keinginan sekedar mendatangkan kesenangan, Smith sebaliknya mengatakan kemampuan manusia untuk berderma dan menunda keinginan konsumtif lebih kuat. Smith mengontraskan self-betterment dengan selfish, dan menolak bahwa self-betterment adalah oposisi dari sesuatu yang bersifat sosial dan mulia.
Dalam terang TMS, Smith juga menempatkan bentuk lebih dalam dari self-betterment adalah pencapaian virtue. Di Bagian II.iii TWN Smith dengan lebih jelas menentang pendirian orang yang melulu meyakini pencarian dan pencapaian kesenangan sebagai berbahaya, bahkan ancaman bagi modal nasional. Sebaliknya, Self-betterment ini mendorong tindakan menabung. Di sini Smith melawan kaum materialis gelojoh dan hipokrit. Dalam pembacaan TMS IV.i dalam terang TWN, Fleischackher mengatakan bahwa homo moralis memerlukan homo oeconomicus, bahwa peremehan stoik terhadap hal-hal material tak dapat dibenarkan lagi.
Setidaknya dapat dicatat tiga hal pokok:
- Mengapa manusia yang bijak juga mencari benda-benda material? Setidaknya setiap orang membutuhkan tiga kebutuhan pokok: sandang, pangan, papan. Dan kesehatan bagi Smith tidak saja secara moral diijinkan melainkan dibutuhkan. Penekanan Smith bahwa tidak mungkin sebuah masyarakat dapat maju dan bahagia jika sebagaian besar anggotanya miskin dan menderita, dan ia setidaknya menunjuk langsung sandang, pangan, dan papan sebagai kebutuhan mayoritas orang.
- Homo moralis Smithian juga dapat secara sah mencari benda-benda material yang tidak terkait kebutuhan fisikal. Manusia bijak model Smith bersuka ria bersama sahabat-sahabatnya, dalam keramahan membutuhkan perayaan secara periodik untuk berbagi kedermawanan. Smith mengakui kesenangan dan pendidikan moral ditemukan dalam puisi yang indah, musik, teater, dan sejenisnya.
- Smith memiliki sebuah ringkasan mengenai kebutuhan dan kemewahan, di mana dunia yang dipenuhi manusia bijak dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Bahwa kebutuhan tidak hanya kebutuhan fisikal untuk hidup melainkan terkait erat dengan kebiasaan sebuah negara khususnya kelas tertentu, misalnya memakai sepatu kulit, pakaian linen, dll.
Catatan Akhir
Paparan ringkas ini mencoba menelusuri kemungkinan membaca dua mahakarya Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments dan The Wealth of Nations secara bersamaan. Pembacaan yang dilakukan menunjukkan bahwa pengandaian homo moralis dalam TMS dan homo oeconomicus tidaklah saling bertentangan. Homo moralis diandaikan dalam menjelaskan tata moral dalam masyarakat sedangkan homo oeconomicus adalah syarat metodologis untuk menjelaskan fakta perdagangan (exchange). Jika selama ini homo oeconomicus tampak semakin lolos dari refleksi moral dan menjadi “fakta” ontologis, strategi pembacaan yang dilakukan Samuel Fleischacker mungkin bermanfaat, setidaknya tidak dalam konteks mencangkokkan moralitas atau etika keutamaan terhadap kinerja ekonomi, melainkan dengan mengakhiri konfrontasi homo moralis vs homo oeconomicus, dan menimba prinsip-prinsip etis yang secara eksplisit diafirmasi Smith dalam keseluruhan gagasannya. Peluang itu tentu tetap terbuka.
Paparan singkat ini tetaplah tidak memadai untuk dapat merangkum keseluruhan debat, ketegangan, dan alternatif solusi, mungkin lebih bijak jika dipandang sekedar sebagai salah satu peta yang membantu agar kita tidak kembali salah arah dan tersesat, sebagaimana klaim kaum kapitalis dan neoliberal yang senantiasa mengasalkan teori dan prinsip mereka dari pemikiran Smith. Setidaknya sekedar mengingat apa: “For to what purpose,” tulis Smith dalam The Theory of Moral Sentiments, ”is all the toil and bustle of this world? What is the end of avarice and ambition, of the pursuit of wealth, of power, and pre-eminence?” The Wealth of Nations memberikan jawabannya: "all the grubby scrabbing for wealth and glory has its ultimate justification in the welfare of the common man."***
Daftar Pustaka:
Fleischacker, Samuel F. "On Adam Smith’s Wealth of Nations: A Philosophical Companion," Princeton: Princeton University Press,2004.
Heilbroner, Robert. The Worldly Philosophers: The Lives, Times and Ideas of the Great Economics Thinkers. London: Penguin Books, [1952] 2000.
Herry-Priyono,B. “Homo Oeconomicus: Dari Pengandaian ke Kenyataan” Dalam I. Wibowo & B. Herry-Priyono (eds), Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz Magnis-Suseno. Yogyakarta: Kanisius.2006, hlm. 87-132
Herry-Priyono,B. “Adam Smith dan Munculnya Ekonomi: Dari Filsafat Moral ke Ilmu Sosial. Dalam Jurnal Diskursus Vol. 6, No.1, April 2007, hlm. 1-40
Olssen, Mark, John Codd, Anne-Marie O’Neill, Education Policy, London: SAGE Publications, 2004.
Raphael, D.D. Adam Smith. Oxford: Oxford University Press, 1985
Smith, Adam. "The Theory of Moral Sentiments." Edited by: Knud Haakonssen. Cambridge: Cambridge University Press,[1759] 2002.
Smith, Adam. "The Wealth of Nations." Edited by: E.Cannan, New York: Modern Library, [1776] 2000.
Justinus Prastowo, kelahiran Jogjakarta, pernah belajar ekonomi, kini sedang menyelesaikan tesis tentang Karl Polanyi di Program Magister Ilmu Filsafat STF Driyarkara, aktif di Komunitas Filsafat AGORA, peminat kritik kapitalisme dan globalisasi.
Title : Dari Homo Moralis ke Homo Oeconomicus ► SEOer Mendem ►
URL : https://seomendem.blogspot.com/2008/06/dari-homo-moralis-ke-homo-oeconomicus_15.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Dari Homo Moralis ke Homo Oeconomicus ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.