Ratusan KK Pengungsi Nias Terancam Kelaparan di Aceh Tenggara -
Kutacane (Analisa)
Ratusan pengungsi korban tsunami asal Kabupaten Nias terancam kelaparan di Aceh Tenggara. Selain berdomisili di daerah terisolir, mereka juga tidak pernah mendapatkan bantuan.
Para pengungsi yang berjumlah sebanyak 98 KK atau 245 jiwa itu kini berdiam di Kecamatan Leuser, sekitar 120 km dari kota Kutacane, yang akses transportasinya sulit sekali.
Menurut pantauan Analisa Kamis (26/1), terlihat keadaan para pengungsi yang sangat memprihatinkan dengan kondisi tempat tinggal tidak layak. Mereka umumnya tinggal di rumah berdinding kulit kayu dan beratap rumput ilalang yang sudah dikeringkan.
Untuk menuju ke pemukiman pengungsi itu harus melalui wilayah Kabupaten Tanah Karo, yakni Kecamatan Mardinding. Untuk sampai ke daerah paling ujung di Aceh Tenggara tersebut harus menggunakan kendaraan khusus.
Dalam seminggu hanya ada satu atau dua kendaraan menuju pemukiman mereka, itupun untuk membawa kebutuhan pengungsi sehingga jika ingin ke Mardinding mereka harus berjalan kaki selama delapan jam.
BARTER
Ironisnya lagi, pengungsi yang sudah tinggal lebih setahun di wilayah ini melakukan perdagangan mereka dengan tukar- menukar barang (barter) dan tidak menggunakan uang sama sekali.
Di sana tidak terdapat pelayanan kesehatan, penerangan listrik maupun sekolah, walaupun banyak anak usia sekolah ditemukan di perkampungan pengungsi itu.
Untuk berobat saja warga terpaksa menggotong jika ada warga yang sakit ke Puskesmas Kecamatan Mardinding, dengan waktu tempuh sekitar 9 jam berjalan kaki.
Seluruh pengungsi menggantungkan hidup mereka dari bertanam jagung dan ubi sebagai makanan sehari-hari, dalam seminggu mereka hanya makan nasi dua kali saja.
Beras yang dimasak adalah beras miskin (raskin) jatah dari Pemkab Aceh Tenggara dalam jumlah sangat terbatas yang dibawa angkutan khusus dengan sewa sekitar Rp700 ribu.
Bao Zebua, salah seorang tokoh masyarakat Dusun Gunung Nias Desa Lau Tawar mengemukakan, hampir seluruh pengungsi hingga saat ini masih hidup menderita. Mereka tetap bertahan hidup meski lebih sering mengonsumsi ubi dan jagung.
Menurutnya, setelah banjir dan tsunami meluluh-lantakkan desa mereka di Kabupaten Nias, para pengungsi terpaksa mencari lahan baru di Aceh Tenggara agar dapat mempertahankan hidup.
Awalnya, hanya ada sekitar 5 KK pengungsi yang tinggal di Dusun Gunung Nias itu, namun setelah tsunami jumlahnya secara drastis bertambah.
Masih menurut Bao, hingga saat ini mereka belum pernah menerima bantuan, baik dari LSM maupun pemerintah padahal mereka sangat mengharapkannya.
“Yang membantu kami selama ini hanya Pemkab Aceh Tenggara, sementara dari LSM lainnya belum pernah dan kami tidak mengetahuinya sama sekali ke mana harus mengadu”, katanya memelas.
Bupati Aceh Tenggara, Drs H Armen Desky yang dikonfirmasi membenarkan masih terdapat 100-an warga Nias berdiam di kawasan terisolir Kecamatan Leuser, seraya berjanji secepatnya akan membuka akses transportasi ke wilayah tersebut.
Bahkan menurut bupati, dalam 2006 ini pihaknya akan mengupayakan pembukaan jalan dari wilayah Aceh Tenggara dan tidak lagi harus masuk melalui Kabupaten Tanah Karo.
Begitu juga sarana kesehatan dan pendidikan akan diupayakan secepatnya bisa dibangun di daerah pengungsian korban bencana Nias itu. (shd)
Kutacane (Analisa)
Ratusan pengungsi korban tsunami asal Kabupaten Nias terancam kelaparan di Aceh Tenggara. Selain berdomisili di daerah terisolir, mereka juga tidak pernah mendapatkan bantuan.
Para pengungsi yang berjumlah sebanyak 98 KK atau 245 jiwa itu kini berdiam di Kecamatan Leuser, sekitar 120 km dari kota Kutacane, yang akses transportasinya sulit sekali.
Menurut pantauan Analisa Kamis (26/1), terlihat keadaan para pengungsi yang sangat memprihatinkan dengan kondisi tempat tinggal tidak layak. Mereka umumnya tinggal di rumah berdinding kulit kayu dan beratap rumput ilalang yang sudah dikeringkan.
Untuk menuju ke pemukiman pengungsi itu harus melalui wilayah Kabupaten Tanah Karo, yakni Kecamatan Mardinding. Untuk sampai ke daerah paling ujung di Aceh Tenggara tersebut harus menggunakan kendaraan khusus.
Dalam seminggu hanya ada satu atau dua kendaraan menuju pemukiman mereka, itupun untuk membawa kebutuhan pengungsi sehingga jika ingin ke Mardinding mereka harus berjalan kaki selama delapan jam.
BARTER
Ironisnya lagi, pengungsi yang sudah tinggal lebih setahun di wilayah ini melakukan perdagangan mereka dengan tukar- menukar barang (barter) dan tidak menggunakan uang sama sekali.
Di sana tidak terdapat pelayanan kesehatan, penerangan listrik maupun sekolah, walaupun banyak anak usia sekolah ditemukan di perkampungan pengungsi itu.
Untuk berobat saja warga terpaksa menggotong jika ada warga yang sakit ke Puskesmas Kecamatan Mardinding, dengan waktu tempuh sekitar 9 jam berjalan kaki.
Seluruh pengungsi menggantungkan hidup mereka dari bertanam jagung dan ubi sebagai makanan sehari-hari, dalam seminggu mereka hanya makan nasi dua kali saja.
Beras yang dimasak adalah beras miskin (raskin) jatah dari Pemkab Aceh Tenggara dalam jumlah sangat terbatas yang dibawa angkutan khusus dengan sewa sekitar Rp700 ribu.
Bao Zebua, salah seorang tokoh masyarakat Dusun Gunung Nias Desa Lau Tawar mengemukakan, hampir seluruh pengungsi hingga saat ini masih hidup menderita. Mereka tetap bertahan hidup meski lebih sering mengonsumsi ubi dan jagung.
Menurutnya, setelah banjir dan tsunami meluluh-lantakkan desa mereka di Kabupaten Nias, para pengungsi terpaksa mencari lahan baru di Aceh Tenggara agar dapat mempertahankan hidup.
Awalnya, hanya ada sekitar 5 KK pengungsi yang tinggal di Dusun Gunung Nias itu, namun setelah tsunami jumlahnya secara drastis bertambah.
Masih menurut Bao, hingga saat ini mereka belum pernah menerima bantuan, baik dari LSM maupun pemerintah padahal mereka sangat mengharapkannya.
“Yang membantu kami selama ini hanya Pemkab Aceh Tenggara, sementara dari LSM lainnya belum pernah dan kami tidak mengetahuinya sama sekali ke mana harus mengadu”, katanya memelas.
Bupati Aceh Tenggara, Drs H Armen Desky yang dikonfirmasi membenarkan masih terdapat 100-an warga Nias berdiam di kawasan terisolir Kecamatan Leuser, seraya berjanji secepatnya akan membuka akses transportasi ke wilayah tersebut.
Bahkan menurut bupati, dalam 2006 ini pihaknya akan mengupayakan pembukaan jalan dari wilayah Aceh Tenggara dan tidak lagi harus masuk melalui Kabupaten Tanah Karo.
Begitu juga sarana kesehatan dan pendidikan akan diupayakan secepatnya bisa dibangun di daerah pengungsian korban bencana Nias itu. (shd)
Sumber: Analisadaily Online, JUmat, 27 Januari 2006
Title : Ratusan KK Pengungsi Nias Terancam Kelaparan di Aceh Tenggara ► SEOer Mendem ►
URL : https://seomendem.blogspot.com/2006/01/ratusan-kk-pengungsi-nias-terancam_27.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Ratusan KK Pengungsi Nias Terancam Kelaparan di Aceh Tenggara ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.